Kamis, 03 Maret 2011

semua terpana tak tau harus berkata apa lagi. Ibu amalia berdiri lalu mengajak amalia pulang. Tante laras dan om beno mengantar amalia dan ibunya hingga ke beranda, papa menyusul mama masuk kedalam kamar. Odie merangkul bahuku dan mengajak aku ke kamar, om sebastian dan tante sukma tetap duduk membicarakan masalah kak faisal.
Aku tau keputsan mama tak terbantah, kalau mama sudah memutuskan begitu, maka akan begitu, kak faisal tak bisa membantah karena tak ada celah membela diri untuk kesalahan besar yang ia lakukan. Arti dari kata kata mama tadi bahwasannya mama telah membuang kak faisal dan amalia.
Aku bingung harus bagaimana, tak ada yang bisa aku lakukan untuk membantu kak faisal, kesalahan kak faisal sudah terlalu besar bagi mama. Sekarang konsekuensinya harus ia tanggung sendiri. Kak faisal harus siap menjalani arti kehidupan yang sesungguhnya. Tak ada fasilitas, mobil, uang berlimpah. Ia harus mulai belajar mencari hidup dan menghidupi amalia serta anaknya nanti. Aku hanya bisa berharap nanti mama akan berubah. Seiring waktu berjalan, mama bisa menerima amalia.
Aku sedang membahas kejadian tadi bersama odie di kamar saat kak faisal mengetuk pintu dan masuk.
“dek, boleh kan kakak masuk…”
kak faisal membuka pintu dengan ragu.
“masuk aja kak.. Ada apa?”
aku berdiri menghampiri kak faisal, ia berjalan lesu lalu duduk di kursi belajar.
“kakak tak menyangka akan begini jadinya dek.
.”
keluh kak faisal sedih.
“kakak tak pernah berpikir sebelum bertindak, semua kakak lakukan atas ego dan kesenangan sendiri..”
aku betul betul kecewa dengan sikap kak faisal yang pengecut.
“kakak khilaf dek…”
“kalau sudah sering bukan khilaf namanya kak..”
aku mendengus.
“bahkan adek pun menyalahkan kakak..”
suara kak faisal begitu sedih, airmata kak faisal mengalir, tak kusangka kak faisal bisa menangis juga.
“kak, semua sudah terlambat untuk disesali, jangan lagi kakak berharap nasi yang sudah menjadi bubur akan kembali jadi beras..”
aku jadi kasihan juga dengan kak faisal.
“kakak tau dek, yang bikin kakak sedih, kakak akan segera berpisah dengan adek, dengan mama dan papa..”
isakan kak faisal membuat suaranya menjadi sengau.
“sudahlah kak, jalani saja… Aku yakin nanti mama akan terenyuh..”
aku menasehati.
“sampai berapa lama dek, mama kalau sudah memberi keputusan jarang mengubahnya..”
sesal kak faisal.
“aku yakin mama akan mengubah keputusannya kak, berdoa saja ya..”
aku menguatkan kak faisal.
“kakak memang bodoh..sekarang semuanya telah kacau, terus terang kakak belum siap menikah sekarang dek.. Kakak belum siap..”
kak faisal memelukku dan menangis lagi.
Aku mengusap punggung kak faisal.
“jangan menangis kak, kuatlah! Masalah tak akan selesai dengan tangisan..”
“kakak tak sanggup membayangkan hari hari ke depan nanti dek..”
kak faisal mencurahkan perasaanya.
“aku janji akan sering menemui kakak.”
hiburku ikut sedih, rasanya ingin ikut menangis bersama kak faisal, hampir delapan tahun aku tinggal dirumah ini, dari masa remaja yang indah, hingga saat beranjak dewasa, begitu banyak kenangan manis yang mengisi hari hariku, bersama kak faisal dirumah ini, terasa cepat waktu berlalu bagaikan berlari, semua tinggal kenangan, kak faisal yang dulu aku banggakan, dan aku sayangi, kini harus segera meninggalkan rumah ini, dua minggu kak faisal tak pulang saja aku sudah merasa begitu kesepian, apalagi kak faisal harus pindah ke rumah amalia. Rasanya aku ingin mengulangi waktu agar kembali ke masa sma dulu, kak faisal masih merupakan teman bermain yang asik, sekarang kak faisal lebih sibuk dengan kekasihnya amalia, banyak perubahan pada kak faisal, dan aku tak mampu untuk menghalangi perubahan itu.
Setelah melepaskan semua beban yang menyesakkan baginya, kak faisal keluar dari kamarku. Seharian kak faisal tak keluar dari kamar, bahkan saat keluarga berunding menetapkan tanggal pernikahannya pun, kak faisal tak bergeming. Aku duduk mendengarkan keputusan papa. Kak faisal akan menikah pada hari jumat ini juga. Dan malamnya langsung selamatan dirumah amalia. Aku menghela nafas, dadaku terasa sesak, tak ada pernikahan yang meriah, tak ada pesta, kasihan kak faisal dan amalia. Tante laras mengetuk pintu kamar kak faisal, tak lama kemudian kak faisal membuka pintu, tante laras masuk. Mungkin tante laras ingin menghibur kak faisal serta ingin menyampaikan hasil keputusan tadi.
Keesokan harinya. Papa beserta kak faisal, tante laras dan om beno pergi ke rumah amalia tepat jam tujuh malam untuk acara lamaran, seluruhnya tante laras yang mengatur, dari soal hantaran hingga cincinnya. Mama bahkan tak keluar kamar. Seolah enggan untuk melihat semua ini. Sebetulnya aku diajak papa untuk menyertai kak faisal, namun tadi pagi mama sudah melarangku, jadi aku merasa serba salah. Akhirnya aku memutuskan tak ikut.
Jam sembilan kak faisal pulang bersama papa dan tante laras, kak faisal mengetuk pintu kamar mama.
“ma.. Boleh faisal masuk?”
kak faisal memanggil mama, namun tak ada sahutan.
“ma, faisal ingin bicara sama mama..”
suara kak faisal begitu memohon, namun tak juga ada suara jawaban.
“ma.. Faisal minta maaf ma, tapi tolong jangan diamkan faisal seperti ini ma, faisal mohon..”
kak faisal makin keras menggedor pintu kamar mama. Aku menghampiri kak faisal.
“mama masih marah kak, percuma saja, tunggu besok siapa tau mama sudah bisa menerima kak..”
aku mencoba memberikan pengertian.
“nggak dek, dua hari lagi kakak menikah, kakak tak bisa membayangkan pernikahan kakak tanpa mama dek, kalau hanya tak ada pesta, kakak ikhlas asalkan mama mau merestui.

Asalkan Mama mau mendampingi kakak..”
kak faisal memelas, airmatanya mengambang di pelupuk mata.
“nanti besok aku coba bicara sama mama, semoga mama luluh.. Mama sangat menyayangi kak fai, mama pasti tak ingin melewatkan kesempatan ini kak,.. Pernikahan kakak..”
ujarku tak yakin, namun aku tak ingin kak faisal tambah sedih.
Dengan lesu kak faisal menjauh dari kamar mama. Aku mengikuti kak faisal, ia keluar rumah dan duduk disamping kolam.
“kakak sudah merusak semuanya ya dek.. Kakak bukan contoh yang baik untuk ditiru..”
desah kak faisal tertunduk ke arah kolam, entah memandang ikan yang berenang atau tengah menerawang.
“sudahlah kak, tak baik terus terusan disesali..”
“sekarang kakak sudah menerima akibatnya..”
kak faisal bicara pelan seolah berbisik.
“kak, mungkin kita bisa mengambil hikmah dari kejadian ini, sekarang kakak udah lebih berpikiran dewasa kan..kakak sudah mau menikah dan tak lama lagi menjadi ayah”
aku memandangi kolam, sesak rasanya dadaku, pernikahan yang seharusnya menjadi kebahagiaan seisi rumah, yang sering mama ceritakan andai aku atau kak faisal menikah, akan membuat pesta meriah, namun itu hanya mimpi.
Justeru pernikahan itu bagaikan duri yang menyakiti mama.
“kakak takut dek, pernikahan kakak tak direstui mama, apakah akan membawa berkah nantinya, kakak mencintai amalia, dan kakak telah menyakiti dia, kakak berpikiran untuk lari meninggalkannya, namun kakak sadar tak mungkin terus terusan lari dari kenyataan.”
kak faisal terlihat betul betul menyesal. Aku menggenggam tangan kak faisal.
“sabar ya kak, aku yakin kakak bisa melewati semua ini, yang penting terus berdoa…”
ujarku sedih, kak faisal meremas tanganku erat erat.
“makasih dek, kakak beruntung punya adek seperti kamu, kakak jadi ingat waktu adek dulu baru datang, sikap kakak begitu buruk, padahal jujur dek, kakak senang sekali waktu itu, cuma kakak tak mau menunjukkannya, kakak bangga punya adek… Kakak sayang sama adek..”
kak faisal memelukku. Airmataku mengalir mendengar pengakuan kak faisal, sungguh aku sudah melupakan masa itu, aku begitu menyayangi kak faisal, bagiku kak faisal adalah kakakku, yang sudah lama aku impikan, punya saudara lelaki, dan kak faisal adalah jawaban atas keinginanku. Aku sadar sebetulnya tuhan begitu baik padaku, memberikan begitu banyak kebahagiaan.
“dek…”
“iya kak…”
“maafkan kakak ya..”
kak faisal mempererat pelukannya.
“kak faisal nggak bersalah padaku kak…”
aku mengusap punggung kak faisal.
“makasih dek.. Masuk yok dek, sudah larut, kakak minta adek temani kakak tidur malam ini untuk yang terakhir kalinya dek.”
kak faisal melepaskan pelukannya.
“kakak jangan ngomong gitu, kita kan masih bisa bertemu… Walaupun nanti kakak udah tinggal dirumah amalia, aku akan sering sering mengunjungi kakak..”
jawabku sedih, seolah olah aku betul betul kehilangan kak faisal.
Aku mengikuti kak faisal ke dalam rumah.
“kak, ada odie… Aku nggak enak ninggalin dia sendirian di kamar..”
aku baru teringat kalau ada odie.
“nggak apa apa dek, odie nggak masalah tidur sendirian, lagipula ia pasti udah tidur..”
“ya udah kalau gitu aku temani kakak tidur dikamar kakak..”
jawabku sambil masuk ke dalam kamar kak faisal, lama sekali kak faisal memandangi seisi kamarnya.
“tak lama lagi kakak akan meninggalkan semua ini..”
desis kak faisal.
“kalau mama udah luluh nantinya, aku yakin ia akan memaksa kakak kembali kesini kak..”
“semoga dek..”
kak faisal naik ke tempat tidur dan berbaring. Aku menyusul kak faisal berbaring disampingnya. Kak faisal bercerita selama dua minggu ia tak pulang ternyata ia menginap dirumah sepupu rizal yang juga adalah teman kak faisal. Temannya itu tinggal di daerah sekayu. Ia banyak dinasehati oleh sepupu rizal agar bersikap dewasa dan bertanggung jawab. Dan nasehat yang membuat kak faisal mau pulang adalah temannya itu mengatakan kasihan mama kalau kak faisal meninggalkan rumah, ia takut mama sedih. Tapi ternyata kepulangannya malah membuat mama kecewa. Bertepatan hari ia pulang, semua rahasia terbongkar. Kak faisal merasa begitu menyesal.
“dek, bagaimana hubungan adek dengan rian?”
tanya kak faisal tiba tiba. Aku terkejut dan refleks menoleh ke kak faisal.
“maksud kakak apa kak?”
tanyaku bingung.
“kakak sudah tau semuanya dek, adek bukan sekedar berteman dengan rian.. Diantara kalian ada hubungan yang lebih, kalian pacaran kan dek?”
deg! Jantungku terasa mau copot, bagaikan tersambar petir aku langsung bangun dan duduk. Bingung harus menjawab apa, darimana kak faisal mengetahui itu.
“kak.. Aku..”
“sudahlah dek, tak apa apa kok.. Santai aja dek, kakak udah lama tau mengenai itu, dan bagi kakak tak ada masalah dek…”
kata kata kak faisal semakin membuat aku terkejut.
“kak maaf.. Aku tak bermaksud.. Tapi..”
aku betul betul gugup.
“pasti adek heran kakak tau darimana, tenang aja dek, kakak sudah lama tau mengenai itu, dan kakak diam saja, selama adek bahagia.. Kakak ikut bahagia.”
kak faisal tersenyum, senyum seorang kakak yang menyayangi adiknya. Tak ada nada marah atau kecewa, yang ada hanyalah perhatian seorang kakak.
Aku menangis, aku tak menyangka kak faisal tau. Dan ia tak sekalipun menyinggung tentang itu, ia bisa menerima keadaanku. Aku tau tak gampang bagi keluarga untuk menerima ada salah satu anggota keluarga yang melenceng seperti aku. Namun kak faisal memberikan pengertiannya. Aku menyesal kemarin kemarin sempat kasar dan tak perduli pada kak faisal, aku marah padanya ketika ia mengaku bahwa amalia hamil, aku bukan menenangkannya malah aku kecewa. Padahal kak faisal melakukan hubungan yang wajar.
“kak.. Apakah setelah kakak tau kakak jijik padaku?”
tanyaku sedih.
Kak faisal tersenyum dan menggeleng.
“kakak sangat menyayangi adek, asalkan itu membuat adek bahagia, kakak ikut bahagia, namun satu nasehat kakak, sejauh apapun adek melangkah, ingatlah adek punya masa depan, jangan hancurkan masa depan seperti yang telah kakak lakukan. Adek harus lebih baik dari kakak..”
nasehat kak faisal. Aku terdiam, aku malu sekali pada kak faisal.
“bagi kakak, adek tetaplah adek, tak mungkin kakak jijik, itu adalah pilihan adek, ada beberapa teman kakak yang juga seperti adek, kakak bisa mengerti karena kakak tau dari mereka, menjadi gay bukanlah hal yang mudah, adek pasti merasa tersiksa, kakak tak mau membuat adek semakin tersiksa.. Kalau adek tanyakan apakah kakak kecewa, jujur kakak kecewa.. Tapi sekali lagi itu adalah hak adek, adek yang menjalani semua. Dan adek tau apa yang terbaik untuk adek.. Kakak tak akan menyalahkan adek.. Yang penting rian bisa membahagiakan adek, kalau kakak dengar ia menyakiti adek, kakak orang pertama yang akan membuat perhitungan dengannya..”
ujar kak faisal panjang lebar.
“makasih kak.. Makasih banyak untuk pengertian kakak..”
aku menyusut air mata dengan lengan baju.
“adek jangan menangis lagi..”
kak faisal membelai rambutku.
“dulu waktu kakak tau odie menyukai sesama jenis, tapi reaksi kakak beda..”
aku bertanya.
“itu dulu dek.. Sekarang kakak sudah lebih mengerti, mungkin karena pergaulan yang membuat kakak bisa membuka mata, asalkan adek tak menjual diri..”
kak faisal tertawa.
“enak aja! Uang dari mama lebih dari cukup kak, tak mungkin aku jual diri, gila..!”
aku mencubit kak faisal. Ia mengaduh dan tertawa. Lalu menimpuk aku dengan bantal. Aku berlari turun dari tempat tidur menghindari timpukannya. Kami berkejar kejaran dalam kamar sambil tertawa.
Setelah capek bercanda, kak faisal membuka bajunya yang basah oleh keringat lalu merebahkan diri di tempat tidur. Aku berbaring disamping kak faisal.
“adek ada nafsu nggak sama kakak?”
tanya kak faisal tiba tiba. Aku memejamkan mata, bingung harus menjawab apa.
“jujur aja dek..”
kak faisal penasaran.
“dulu iya kak, diam diam aku mencintai kakak, namun itu dulu, kalau sekarang Hoeeek..!”
aku pura pura muntah.
“huh dasar..!”
kak faisal menowel keningku.
“wajar aja adek naksir, kakak kan ganteng, banyak yang tergila gila..!”
“huh narsis… Dasar kepedean.. Sok ganteng..”
sungutku sebal.
“lah emang betul kan, buktinya adek sendiri mengakui kegantengan kakak, sampe pake naksir lagi sama kakak!”
ejek kak faisal menjadi jadi.
“iiiih kakak..”
aku mencubit kak faisal manja.
“ya udahlah dek, nggak apa apa kok.. Lupakan saja, yang penting sekarang kakak harus fokus untuk pernikahan nanti.”
kak faisal memejamkan matanya.
“kak… Tolong jaga rahasia ini ya..”
aku memelas.
“tenang aja dek, udah setahun kakak bisa jaga rahasia dan akan tetap begitu dek.”
kak faisal menepuk dadaku pelan. Aku mengangguk sambil menerawang menatap langit langit kamar. Aku semakin menyayangi kak faisal, ia betul betul kakak yang baik, ia tak menghujat aku meskipun tau kekuranganku.
Kak faisal berbalik dan memelukku.
“kak…”
bisikku.
“iya dek…”
jawab kak faisal tetap memejamkan mata.
“kakak kok meluk aku, kakak nggak takut?”
tanyaku heran.
“nggak.. Emangnya adek makan orang, kenapa kakak harus takut..”
jawab kak faisal mantap.
“tapi kakak kan tau kalau aku..”
“ssstt… Kakak tau adek mencintai rian, adek gay bukan berarti kakak harus menjauhi adek kan…”
kak faisal memotong ucapanku.
“udah larut dek, tidurlah.. Besok adek kan kuliah.”
aku mengangguk tak bersuara. Aku memejamkan mata namun sulit untuk tidur. Kak faisal mendengkur pelan. Memeluk punggungku dengan kaki tertumpu pada pinggangku seolah aku ini guling. Air mataku mengalir lagi, aku ingin sekali bisa membantu kak faisal, aku harus membantunya. Kak faisal tak boleh menderita, aku menyayangi kak faisal dan harus berusaha sekuat mungkin membelanya. Seperti ia membelaku. Besok aku akan bicara sama mama, aku akan merayu mama semampuku. Aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku agar mama bisa mengubah keputusannya. Andai mama tak bisa menerima aku akan terus berusaha. Kasihan kak faisal kalau sampai pernikahannya tak ada pesta, pasti kak faisal begitu sedih, ia berhak untuk bahagia walaupun ia telah bersalah. Itu adalah khilafnya dan tak harus di hukum terus terusan.
.
Bangun tidur pagi sekali, aku turun dari tempat tidur, kak faisal masih nyenyak. Aku mencuci muka dan menyikat gigi. Sudah jam enam. Biasanya jam segini bik tin sudah bersiap siap di dapur. Aku mencomot roti selai diatas meja dan menuang kopi ke dalam cangkir. Aku duduk di kursi makan. Merenungi perkataan kak faisal semalam. Aku tak menyangka kak faisal sudah mengetahui hubunganku dengan rian, aku sadar kak faisal pergaulannya luas dan banyak teman, barangkali ada yang mengetahui hubunganku dengan rian dan menyampaikan pada kak faisal. Atau apakah kak faisal melihat sendiri, bukankah rian terkadang tak bisa menahan diri untuk mencium pipiku atau memelukku di depan umum. Tapi aku melakukannya selalu jauh dari rumah maupun kampus, aku juga berusaha menjaga agar jangan sampai banyak yang tau. Terkadang rian keterlaluan juga. Namun aku tak kuasa melarangnya. Soalnya rian suka cemburuan tak beralasan, kalau aku menolak untuk ia cium, maka ia akan curiga kalau aku selingkuh. Tapi aku bersyukur kak faisal tak melakukan tindakan ekstrim. Misalnya mengadukan pada mama atau memukul aku. Sekarang aku harus bisa membalas kebaikan kak faisal, meskipun ia tak menyuruh, namun aku akan membantunya agar mama bisa menerima pernikahan mereka. Aku ingin kak faisal bahagia.
Tepat jam tujuh mama keluar kamar. Masih mengenakan daster panjang untuk tidur. Mama menghampiriku.
“tumben sayang udah bangun..”
sapa mama sambil menarik kursi dan duduk disampingku.
“iya ma.. Semalam nggak nyenyak jadi bangunnya cepat.”
jawabku sambil menuang kopi untuk mama.
“terimakasih sayang..”
mama mengangkat cangkir yang sudah penuh dan meminum sedikit.
“ma, rio mau bicara..”
aku tak mau menunda nunda lagi.
“kenapa, mau ganti mobil, atau mau beli lagi gitar elektrik yang baru..?”
tanya mama sambil tersenyum.
“mama… Aku serius ma..”
aku cemberut.
“ya mama juga serius, kan katanya kamu mau mobil audi buildup itu, mama tak keberatan kok, nanti kapan mama ada waktu kita cari sama sama..”
jawab mama sambil membelai rambutku penuh sayang.
“itu bisa nanti ma..”
“lalu mau ngomong apa?”
tanya mama heran.
“mengenai kak faisal ma..”
aku langsung pada intinya. Mama terdiam, meletakkan cangkir dengan keras lalu berdiri meninggalkanku.
“mama… Mau kemana ma.. Rio mau bicara, penting ma..”
aku menyusul mama.
“mama malas membahas hal itu, jangan coba coba merayu mama.. Apapun yang kamu minta akan mama turuti asalkan kamu tak menyuruh mama mengubah keputusan terhadap faisal!”
ujar mama dengan tegas.
“kasihan ma kak faisal, masa mama tega sih?”
aku memelas.
“anak mama bukan cuma dia.. Tak tau terimakasih.. Mama masih punya kamu dan itu sudah cukup… Jangan kecewakan mama seperti yang dia lakukan..”
tandas mama.
“kak faisal tak bermaksud mengecewakan mama..”
“bukan baru sekali yo dia begitu, dan kali ini kesabaran mama telah habis, sudahlah kamu jangan bikin mama pusing..”
ujar mama tajam.
“kak faisal sedih ma, dia sedih bikin mama kecewa..”
aku mencoba membujuk. Mama berbalik menghadapku dan menatapku dingin.
“apa kamu kira mama tak kecewa, mama tak sedih, mama tak sakit, tapi apa dia pernah berpikir kesitu, tak ada gunanya lagi menyesali perbuatan yang telah ia lakukan itu, sekarang ia sudah dewasa, sudah mampu menikah jadi untuk apa mama repot repot..”
jawab mama keras kepala. Aku bingung sekali, mama begitu keras.
“siang ini kita beli mobil kamu, mama mau mandi dulu, dan jangan coba coba menyuruh mama memaafkan faisal..!”
mama meninggalkanku.
Aku mematung memandang mama yang masuk ke kamar.

___



Saat sarapan pagi kami semua makan dalam diam, tak seperti biasa ada obrolan di meja makan. Mama tak selera dengan sarapannya, terlihat dari sikapnya yang tanpa semangat, hanya memain mainkan sendok dan garpu mengaduk aduk nasi. Papa sesekali melihat mama namun tak berkomentar mungkin papa tak mau membuat mama marah, tante laras, om beno dan odie menyadari situasi ini, mereka pura pura sibuk dengan sarapannya padahal aku tau mereka juga sedang gelisah. Kak faisal tak ikut sarapan bersama, padahal tadi aku sudah mengajaknya. Kak faisal menolak dengan alasan tak ingin membuat mama kehilangan selera makan kalau ada dia, padahal tanpa ada kak faisal pun mama tak selera makan. Karena keadaan ini aku jadi ikut ikutan kehilangan selera, tanpa menambah lagi aku menyelesaikan sarapan. Aku ke kamar kak faisal sambil membawa segelas besar teh hangat.
Aku mengetuk pintu sekali dan membukanya. Kak faisal langsung menoleh ketika aku masuk.
“kak minum teh dulu..”
aku menaruh gelas diatas meja belajar kak faisal.
“makasih ya dek, mama mana dek?”
tanya kak faisal.
“mama mungkin lagi siap siap ke kantor kak, papa juga gitu.. Kenapa sih kakak seperti orang asing dirumah sendiri, santai aja kak, kalau kakak terus menghindar bagaimana mau damai dengan mama?”
aku membujuk kak faisal.
“nanti aja dek, kalau amarah mama sudah reda, saat ini bukan waktu yang tepat.”
bantah kak faisal, sudah dua hari ini wajah kak faisal murung, bagaikan terhukum yang divonis berat. Aku tak tega.
“sebentar lagi mama ke kantor, kakak bisa sarapan..”
“iya dek.. Oh ya dek, kakak boleh pinjam mobil adek nggak?”
“untuk apa kak, mobil kakak kan ada?”
tanyaku bingung.
“iya dek, tapi kunci mobil kakak sudah disita mama, adek tau sendiri mama tak pernah main main..”
desah kak faisal sedih.
“ya udah, pake aja kak, lagian mobil itu udah mau dijual kok,”
“dijual, kenapa dek?”
kak faisal heran.
“mama mau ganti mobil aku kak..”
aku berterus terang.
“mama mau ganti mobil adek? Tumben…”
hela kak faisal. Aku jadi tak enak hati, kak faisal sedang berkasus dan di boikot mama, sedangkan aku akan mendapatkan mobil mewah.
“iya kak, tempo hari aku bilang sama mama pengen ganti mobil, padahal aku cuma bercanda, mama tanya aku mau mobil apa, aku iseng aja jawab audi, rupanya mama menanggapi serius.”
aku menjelaskan apa adanya. Kak faisal tersenyum dan merangkul bahuku.
“kakak ikut senang dek, wah pasti bakalan banyak yang kagum kalo adek pake mobil itu…”
aku terdiam, kalau dulu reaksi kak faisal tak akan begini, ia akan menutut mobil yang sama, kak faisal yang ugal ugalan dan selalu bisa menghabiskan uang mama dengan bermacam cara bisa berubah drastis dalam waktu yang begitu singkat. Kak faisal bahkan tak sedikitpun protes, padahal dia juga berhak untuk mendapatkan mobil yang sama.
“emangnya kakak mau kemana?”
tanyaku ingin tau.
“ada sedikit urusan dek, kakak usahakan tak lama kok, sebelum mama pulang dari kantor, kakak udah dirumah…”
tegas kak faisal.
“iya kak tak masalah kok, pake aja, nanti kuncinya kakak ambil didalam laci meja belajar. Aku mau mandi dulu ya kak..”
aku berdiri kemudian keluar dari kamar kak faisal.
Didalam kamar mandi aku berpikir, kak faisal begitu berubah, menjadi lebih dewasa dalam waktu singkat, andaikan dengan perubahannya kak faisal masih tinggal dirumah ini alangkah senangnya. Tapi hikmah dari segala masalah yang terjadi tak seperti yang aku harapkan. Alangkah sepinya rumah ini nantinya. Kenapa kak faisal bisa ceroboh seperti itu, dan amalia juga kenapa jadi perempuan tak bisa menjaga kesucian hingga pernikahan nanti. Usia kak faisal yang baru 24 tahun masih terlalu dini untuk menikah. Andaikan waktu bisa diulangi. Agar segalanya bisa diatur lebih baik.
Aku menyiramkan air ke seluruh tubuhku. Terasa dingin hingga tubuhku menggigil. Cepat cepat aku menyabuni tubuhku. Aku menyelesaikan mandi dan mengeringkan badan.
Keluar dari kamar mandi ternyata kak faisal sedang duduk di karpet depan televisi di kamarku.
“kuncinya ada dalam laci meja belajar kak..”
kak faisal menoleh.
“iya dek..”
kak faisal sudah mandi, dia sudah rapi. Memakai baju kemeja warna putih serta celana jeans warna putih.
“wah kakak pake serba putih, mau kemana sih, tumben.. Biasanya kakak kan paling nggak suka pake warna putih..?”
aku menggoda kak faisal.
Ia nyengir sedikit malu.
“iya nih dek, tadi kakak mau pake baju kemeja kotak kotak, tapi entah kenapa waktu lihat kemeja putih ini, kakak jadi pengen pake yang putih. Tapi cocok kan dek..?”
tanya kak faisal sambil berdiri dan membentangkan tangannya.
“kakak pake baju apa aja tetap ganteng kak, apalagi putih seperti itu..”
jawabku sejujurnya.
“adek bisa aja hehehe.. Tapi kakak percaya, soalnya kalau adek bilang cocok pasti cocok, adek kan tau sama cowok ganteng..”
ledek kak faisal kembali usil.
“dasar.. Udah dipuji malah ngejek..!”
aku bersungut pura pura marah.
“adek juga ganteng kok.. Buktinya banyak teman teman cewek kakak yang ngirim salam..”
kak faisal tertawa.
“nggak ah.. Nggak doyan hahaha…”
“huuu.. Pasti selama ini adek suka melirik teman teman kakak yang cowok kan!”
“nggak, teman kakak semuanya jelek, nggak ada yang berkualitas, mirip preman, malas ah..”
aku ngeles.
Kak faisal cemberut.
“meskipun preman tapi baik dek, mereka semua setia kawan, ketimbang berteman dengan yang lain, kebanyakan sombong, dan munafik, kakak malas..”
kak faisal membela teman temannya.
“tapi gara gara mereka kan kak faisal jadi ikut ikutan bandel..”
aku membantah.
“enak saja, jangan nyalahin orang lain dek, emang dasarnya kakak udah bandel dari dulu kok..nggak usah mereka pengaruhi juga kakak udah gitu..”
aku menggeleng gelengkan kepala mendengar jawaban kak faisal yang tak mau mengalah. Aku membuka lemari lalu mengambil baju dan celana serta celana dalam. Aku ganti baju didepan kak faisal.
“sebetulnya adek itu banyak yang naksir, adek ganteng, nggak sulit untuk mendapatkan cewek yang adek mau, kalau mereka tau adek nggak suka cewek, pasti banyak yang patah hati…”
goda kak faisal. Aku tertawa terbahak bahak, kak faisal memang paling bisa memuji tapi ujung ujungnya menjatuhkan, dasar kebiasaan…!
“dek kakak mau pergi dulu ya, pinjam mobilnya..”
“iya kak, hati hati di jalan, ingat jangan sampe pulang keburu sore, ntar kalo mama tau bakalan marah..”
aku mengingatkan.
“tenang aja adekku yang manis..”
kak faisal mencubit daguku gemas.
“sana pergi..!”
“oke adek sayang..”
tiba tiba kak faisal memelukku. Erat sekali ia memeluk.
“kakak kok aneh… Idih risih ah pake peluk peluk gini.. Entar dikira orang kita incest lagi!”
aku pura pura tak suka, padahal sebetulnya aku sukaaaaaaaa banget.
“loh.. Kita kan saudara tiri dek.. Mana bisa incest, kalo sampe kejadian ya paling namanya khilaf..”
kak faisal ngeyel.
“sudah sudah.. Pergi sana..”
aku mengusir kak faisal. Ia melepaskan pelukannya sambil cengengesan tak jelas.
“oke dek, abang pergi.. Abang ada kejutan buat adek dan mama..”
kak faisal tersenyum penuh misteri.
“kejutan apa kak? Bilang dong jangan bikin aku penasaran..”
aku mendesak kak faisal.
“adaaaa aja.. Kalau di bilang sekarang namanya bukan kejutan dek..yang jelas adek pasti bakalan suka banget, mama juga dek”
kak faisal sengaja membuat aku semakin penasaran.
“idih.. Kakak bikin penasaran aja..ya udah cepetan pergi, jadi kejutannya juga cepet aku tau.”
aku mendelik kepada kak faisal.
“oke dek..”
kak faisal memeluk aku lagi, malah sambil cengengesan ia mencium pipiku dengan bibirnya.
Aku terdiam tak memberikan reaksi. Kak faisal betul betul tak seperti biasanya.
“kak faisal sayang sama adek..”
ujar kak faisal melepaskan pelukan dan berjalan ke meja belajarku, membuka laci untuk mengambil kunci mobil.
“hati hati di jalan kak..”
aku berteriak pada kak faisal yang sudah di depan pintu kamar.
“iya adek cerewet… Kakak pergi dulu ya dek..”
kak faisal melambaikan kunci lalu berlalu dari kamarku.
Setelah kak faisal pergi aku meraba pipiku di tempat kak faisal tadi mencium. Kak faisal betul betul telah berubah. Aku tersenyum lebar. Kak faisal manis juga kalau bersikap seperti tadi. Semoga saja akan selalu begitu. Aku akan selalu berdoa untuk kak faisal.
Sudah jam tiga sekarang, sudah enam jam kak faisal pergi, tadi katanya tak lama, sebetulnya kak faisal kemana sih, jangan sampai kak faisal telat, aku takut mama semakin marah, semoga kak faisal ingat waktu. Aku jadi teringat dengan sikap kak faisal yang aneh tadi. Aku tersenyum sendiri. Tiba tiba aku jadi kangen sama kak faisal. Aku tak sabar menunggunya pulang. Kejutan apakah yang mau ia berikan padaku. Dadaku berdebar debar tak sabar dengan kejutan kak faisal itu.
Jam merangkak ke angka empat, dan kak faisal belum juga pulang, aku ambil handphone lalu menelpon kak faisal. Belum sempat aku menekan tombol call, tiba tiba telpon rumah berdering.
Aku hampiri meja telpon lalu mengangkat telpon.
“halo.. Kediaman pak suharlan atmaja ini dengan anaknya..”
“ya halo.. Ini rio ya, yo aku rizal.. Buruan ke simpang charitas,. Yo gawat..!”
suara rizal panik.
“ada apa zal kenapa disana?”
“faisal yo.. Faisal.. Dia kecelakaan.. Mobilnya di tabrak truk yang bersebarangan.. Cepet yo..”
kakiku langsung lemas.

+++

Tanpa berpikir panjang aku bergegas mengambil kunci mobil, jantungku berdebar kencang selama perjalanan menuju simpang charitas, ku kebut mobil secepat mungkin tanpa memperdulikan apa apa lagi. Jantungku rasanya mau copot saat melihat kerumunan orang yang ramai, ada mobil polisi juga, sebuah truk terbalik di sisi jalan dalam keadaan kaca pecah, barang barang yang berhamburan dipunguti orang orang yang memanfaatkan situasi. Aku meminggirkan mobil dengan terburu buru, kakiku rasanya lemas sekali melangkah ke mobilku yang bentuknya tak bisa aku gambarkan lagi. Bagian depannya penyok hampir seperempat badan mobil, pecahan kaca kecil kecil berserakan menimbulkan bunyi gemeretak waktu terinjak.
“rio.. Syukurlah kamu sudah datang..!”
pekik agus, ia berlari mendekatiku, wajahnya pucat pasi.
“gus, mana kak faisal! Dimana gus?”
aku menggoncang tubuh agus keras.
“tenang yo, faisal sudah dibawa rizal dan teman teman lain ke rumah sakit..!”
jelas agus terbata bata.
“bagaimana keadaannya gus, kak faisal tak parah kan?”
tanyaku tak yakin, melihat kondisi mobilku rasanya sulit untuk percaya kalau kak faisal tak apa apa.
“sebaiknya kamu segera menyusul kerumah sakit, kami bisa mengurusi mobil ini, buruan yo, aku takut kamu terlambat.”
desak agus membuat aku semakin kuatir.
“oke gus, aku kesana sekarang..”
aku berlari tanpa banyak bertanya. Aku tak perduli dengan mobil yang rusak parah, keadaan kak faisal yang membuat aku sesak nafas. Semoga Allah melindunginya. Tak putus putus aku berdoa sepanjang perjalanan menuju kerumah sakit.
Mama dan papa belum tau tentang semua ini, aku harus mengabari mereka secepatnya. Pertama tama aku menelpon mama. Reaksi mama sudah bisa ditebak, mama langsung panik, mama bilang langsung kerumah sakit. Aku menyuruh mama yang mengabari papa. Setelah selesai menelpon mama, aku bergegas ke unit gawat darurat.
Aku bertemu dengan rizal, anto dan beberapa teman kak faisal yang lain.
Tanpa membuang waktu aku mendekati rizal.
“zal, bagaimana keadaan kak faisal?”
tanyaku langsung.
“rio.. Sukurlah kamu sudah datang, yo gawat yo.. Faisal betul betul parah.. Tubuhnya hancur yo.. Faisal.. Dia..”
rizal tak sanggup menyelesaikan kata katanya.
“zal.. Kak faisal selamat kan?”
jantungku seolah berhenti berdetak. Aku tak berani mendengar jawaban rizal. Saat ia menggelengkan kepalanya, duniaku seolah olah langsung runtuh. Sesaat aku merasa agak limbung seolah seluruh kekuatanku lenyap.
“yo kamu kenapa?”
tanya rizal kuatir.
Aku menggeleng hampa. Waktu seolah berhenti bagiku saat ini, tanpa terasa airmataku mengalir jatuh, tuhan tak menjawab doa dan harapanku. Dengan langkah terseret aku mendekati pintu unit gawat darurat. Tanganku gemetaran hebat waktu membuka handle pintu bercat putih ini. Aku tak yakin apa aku mampu melihat tubuh kak faisal, melihatnya dalam keadaan seperti itu. Rizal mendorong tubuhku pelan agar aku segera masuk. Abu obat menyeruak menyentuh indra penciumanku hingga membuat kepalaku agak pusing. Bau alkohol yang menyengat semakin melemahkan semangatku. Dokter dan perawat memberi isyarat agar aku mendekat. Tubuh kak faisal terbujur diatas tempat tidur tertutupi selimut putih yang berlumuran darah. Perlahan aku sibak selimut yang menutupi kepala kak faisal. Aku menarik nafas dan langsung membuang muka. Ingin pingsan rasanya. Aku tak sanggup melihatnya. Andai itu bukan kak faisal mungkin aku sudah muntah. Rizal merangkulku, ia menahan tubuhku yang hampir rebah.
“sabar yo.. Sabar ya.. Itu semua sudah kehendak yang diatas.. Kamu yang tabah ya..”
rizal menghiburku. Aku menggeleng, dadaku sakit seolah terhimpit batu besar. Bahuku terguncang guncang tanpa dapat ku tahan bersama tangisan yang pecah.
Kata kata rizal tak lagi jelas terdengar. Aku menepis tangan rizal yang hendak memelukku, lalu aku bersimpuh disisi jasad kak faisal. Aku menangis tanpa suara, walaupun rasanya ingin menjerit sekeras kerasnya.
“kak kenapa bisa begini, kenapa kakak pergi secepat ini kak..”
aku terisak sambil memegang tangan kak faisal yang dililit perban, dingin sekali tangan itu. Kaku bagaikan batu.
“kak faisal janji akan memberikan kejutan untukku, tapi mana kak.. Ayo kak bangun kak, jangan meninggalkan masalah.. Kakak tak boleh pergi dulu…”
aku meratapi jenazah kak faisal. Rizal meremas bahuku, tangannya gemetaran.
“sudahlah yo.. Tenangkan dirimu.. Ikhlaskan kepergian kakakmu.”
bujuk faisal dengan suara parau. Aku tak memperdulikan rizal, aku menunduk diatas tubuh kak faisal, kemudian menempelkan pipiku di perutnya. Bau amis darah bercampur alkohol tak aku perdulikan. Airmataku membasahi kain putih yang menyelubungi tubuh kak faisal.
“kak.. Ini tak lucu, bangun kak…bangun.. Jangan tinggalkan aku, kak aku sayang kak faisal.. Aku sayang kak faisal..aku sayang..”
suaraku semakin melemah karena tenagaku habis, sesak dan sakit membuat aku lemas. Aku memukul dan menggoyang goyang tangan kak faisal berharap kak faisal mau bergerak walaupun cuma sebentar.
“rio.. Sudahlah rio..”
faisal mencoba menarikku agar berdiri, aku berontak menepis tangan rizal kasar. Rizal memandangku kasihan, ia tertunduk, airmatanya juga tergenang di pipinya.
“kak bangun dong.. Ayo kak.. Demi amalia, demi calon anak kak faisal.. Demi rio kak.. Ayo kak bangun.. Bangun… Bangun..!”
aku menggoncang tubuh kak faisal semakin keras, namun tubuh itu tetap terbujur kaku. Matanya tetap terpejam. Luka memenuhi wajahnya. Bagian kening hingga keatas rambut tertutup oleh perban yang berwarna merah karena darah. Wajah kak faisal nyaris tak bisa aku kenali lagi. Hatiku betul betul hancur melihat kondisi kak faisal. Bibirnya sobek hingga ke pertengahan pipi, bekas jahitan yang masih baru membuat bagian itu berkerut. Sobekan sobekan pada wajah dan tulang pipinya sangat parah hingga dokter mungkin tak bisa melakukan apa apa lagi untuk memperbaikinya. Aku sangat berharap semua ini cuma mimpi. Mimpi buruk yang akan hilang bila aku terbangun. Berkali kali aku menampar pipiku dengan keras namun aku tak terbangun. Ini bukan mimpi, ini nyata. Ini betul betul terjadi. Batinku terguncang aku meremas seprei dengan gemetaran.
Tiba tiba pintu terbuka. Mama berlari masuk bersama papa menghampiri aku.
“faisal…..”
desis mama tak percaya. Aku menoleh ke mama, ia menatapku seolah ingin aku meyakinkan semua ini. Aku mengangguk dengan berat hati, mama kembali melihat kak faisal yang terbaring tegak diatas tempat tidur. Ekspresi mama tak dapat ditebak, bibirnya bergetar mendesiskan nama kak faisal. Dokter menghampiri kami dan menutup kembali wajah kak faisal dengan selimut. Aku merosot dan terduduk saat melihat mama terhempas jatuh di lantai.
“mamaaaaaaaa”
aku bergerak seolah baru tersadar. Papa yang tak siap hanya terdiam tanpa melihat mama, pandangan papa hanya ke kak faisal. Wajah papa tanpa ekspresi bagai patung.

+++

Dalam sekejab seisi ruangan ini jadi panik, anto dan rizal membantuku mengangkat mama, papa masih saja mematung seolah kehilangan kesadaran hanya menatap tubuh kak faisal yang terbujur kaku. Anto memberikan minuman yang diberikan seorang perawat untuk mama.
Aku tahu betapa hancurnya hati mama hingga ia tak sanggup menanggungnya. Aku bingung dengan keadaan ini, disaat ini semua betul betul kacau, aku tak tahu siapa yang harus lebih dulu aku utamakan, mama yang pingsan, papa yang shock atau jenazah kak faisal. Aku bagaikan orang linglung yang tak tau harus melakukan apa menyikapi situasi seperti ini. Rizal dan anto masih sibuk mengipasi mama, menyeka keringat yang mengalir dari keningnya. Dadaku betul betul sesak, aku tak siap dengan semuanya, betul betul tak siap. Masalah yang datang terus menerus tanpa henti membuat aku tertekan. Perlahan aku menghampiri papa, ku rangkul papa menjauhi kak faisal, namun papa tak bergeming sedikitpun. Ia menggelengkan kepalanya lalu mendekati kak faisal, mengusap kening kak faisal seolah olah kak faisal sedang tertidur, papa bergumam tak jelas. Bersimpuh disisi kak faisal dan mencium kening kak faisal. Aku menyentuh bahu papa. Ia menoleh dan menatap mataku. Belum pernah aku melihat pandangan papa sekosong ini, seolah tak ada gairah dan semangat hidup. Aku mengangkat tubuh papa namun ia kembali menggeleng lemah. Papa menyelimuti kak faisal lagi.
“dia telah pergi yo, dia telah pergi…”
gumam papa parau. Aku mengangguk memaksakan senyum.
“iya pa.. Kak faisal telah kembali pada yang kuasa.. Kak faisal telah tiada..”
kesedihanku kembali membuncah seolah ingin menyeruak keluar dari dada ini. Ku gigit bibir keras keras agar aku tak menangis lagi, melihat keadaan kak faisal yang seperti ini sangat menyakitkan.
“faisal anakku..faisal…kenapa kamu harus meninggalkan papa secepat ini.. Kenapa harus begini caranya…kenapa…”
ratap papa pilu sambil mendekap kak faisal seolah tak ikhlas kak faisal meninggal.
Tiba tiba mama terbangun dan langsung duduk cepat seolah terbangun dari mimpi buruk, mama langsung turun dari kursi, berlari menghampiri kami tanpa memperdulikan rizal dan anto.
“anakku… Anakku… Ya Allah.. Anakku..!!”
mama memeluk jenazah kak faisal dengan histeris, suara raungan mama membuat bulu kudukku merinding.
“tidaaaaaaaak…!! Tidak mungkiiiiiin… Ini tidak mungkiiiiin….!”
lengking mama beradu dengan tangisnya. Mama mengguncang guncang tubuh kak faisal seolah dengan begitu kak faisal akan bangun. Aku tak kuasa menghentikan mama, mataku nanar memandang semua ini.
“maafkan mama nak… Maafkan mamaaaa…… Oh… Tuhan.. Anakkuuu… Maafkan mamaaaa”
ratap mama bergetar. Mama berteriak sambil bersimpuh memeluk perut kak faisal. Mata kak faisal terpejam, wajahnya pucat bagai kertas, bibirnya yang biru mengecil karena dijahit, kemeja putih yang ia pakai dipenuhi noda darah yang mengering, kemeja putih itu, celana putih yang kak faisal pakai, apakah ia memberikan isyarat itu padaku. Ataukah ini hanya sekedar kebetulan, aku teringat dengan sikap kak faisal sebelum berangkat, ia sempat memelukku sebelum berangkat, dan semalam kak faisal mengatakan ingin tidur bersamaku untuk yang terakhir kali, aku mengira itu hanyalah sekedar perkataan yang ia ucapkan karena menimbang ia akan meninggalkan rumah setelah menikah, ternyata itu memang menjadi kebersamaan kami untuk yang terakhir kalinya. Mama masih meraung raung bagaikan orang gila, mama terus memeluk kak faisal seolah enggan untuk melepaskannya walaupun teman teman kak faisal berusaha untuk menenangkannya. Papa walaupun tak seperti mama, namun aku tahu betapa hancurnya hati papa, entah seberapa hancur batinnya. Mata papa merah dan penuh air mata. Sulit bagiku untuk tetap tegar dengan keadaan ini. Aku ikut bersimpuh dengan mereka, meratapi kak faisal.
“kamu menghukum mama.. Kamu membenci mama nak… Mama minta maaf.. Mama minta maaf… Ya Allah.. Ya Allah…astaghfirullah ya allah…”
raung mama sambil memukul mukul kasur tempat kak faisal terbaring. Mama sebentar sebentar membungkuk ditubuh kak faisal, kemudian tegak lalu membungkuk lagi, air matanya deras menganak sungai. Tubuh papa terguncang guncang menahan isakan. Aku mengigit bibir hingga luka tubuhku pun ikut terguncang hebat. Aku memegang dadaku kuat kuat meremas bajuku hingga kusut. Tak ada siapapun yang berani mendekati kami walaupun sekedar untuk menghibur karena mereka tau semua itu sia sia.

Kenangan masa lalu melintas dalam otakku bagaikan proyektor yang memainkan kembali rekaman rekaman kebersamaanku dengan kak faisal, delapan tahun yang lalu aku datang ke palembang, menjadi bagian dari keluarga ini, kak faisal yang gagah tak menyambut kedatanganku dengan gembira, ia bahkan mengatai aku gembel, namun tak lama ia sudah bisa menerimaku. Kenangan waktu aku dia ajak berkumpul dirumah agus, kami minum minuman keras dan menghisap ganja. Awal dimana hubunganku dengan kak faisal semakin dekat, kenangan waktu ada yang menggangguku di sekolah, kak faisal memukul teman sekelasku itu hingga kak faisal harus menghadapi guru yang berakhir dengan kak faisal di skors selama empat hari, kenangan waktu ia mengajari aku menonton film dewasa dan onani, kenangan waktu aku sakit malaria kak faisal dengan setia menungguiku hingga aku sembuh dan keluar dari rumah sakit walaupun karena itu ia harus membolos. Dan juga waktu aku baru lulus sma, kak faisal mengajak aku ke sekayu bersama teman temannya untuk merayakannya. Kak faisal begitu baik dan perhatian padaku. Begitu banyak kenangan kenangan indah bersama kak faisal, aku tak sanggup membayangkan bagaimana hari hariku ke depan nanti tanpa ada kak faisal lagi. Kak faisal yang sangat perhatian. Walaupun ia nakal namun kak faisal begitu menyayangi dan selalu melindungiku. Meskipun aku cuma sekedar adik tirinya namun kak faisal bersikap melebihi seorang kakak kandung sekalipun. Ia selalu berusaha untuk membuat aku senang, hingga semua teman temannya segan padaku. Kak faisal bahkan memberikan pengertiannya saat tau aku seorang gay. Kak faisal tak marah atau menghakimiku, malah ia mengancam akan membuat perhitungan dengan siapa saja yang berani menyakiti aku. Bahkan disaat dia lagi dilanda masalah besar pun, kak faisal masih sempat untuk memberikan aku kejutan. Entah apa yang dipersiapkan kak faisal sebagai kejutan untuk aku dan mama. Allah keburu memanggil kak faisal. Kesedihan semakin menyeruak dalam dadaku. Aku menangis. Tangisan sedih kehilangan yang mendalam. Berkali kali aku melafaskan inalillahi wa ina illahi rojiun.. Berkali kali aku menggetarkan asma Allah.. Bukan aku tak mengikhlaskan kepergian kak faisal, namun aku belum siap menghadapinya secepat ini. Tiba tiba bahuku dipegang dari belakang. Aku menoleh. Koko tersenyum lemah menganggukan kepalanya. Aku memeluk koko dan menumpahkan semua kesedihanku.
Mama masih menangis tanpa henti disisi jenazah. Papa memeluk mama mencoba menenangkan mama walaupun air mata papa juga mengalir dengan deras. Dingin dalam ruangan ini sedimih perasaan hatiku yang ikut mati bersama kak faisal. Kakiku terasa lumpuh tak sanggup lagi berdiri. Rizal menahanku agar tak terjatuh. Aku tak tahu lagi saat dibawa keluar dari ruangan itu. Begitu aku sadar sudah banyak teman temanku mengelilingiku, menghibur aku. Bahkan aku melihat amalia juga. Ia sedang duduk di kursi paling pojok sambil menggigit kuku jarinya. Aku tak berani menatap amalia, aku tau saat ini amalia pasti kebingungan dan sedih. Masa depannya yang ia impikan bersama kak faisal telah sirna.

+++

PELAMINAN DIATAS PUSARA.
“rio, lebih baik kamu pulang dulu, lagian tak ada yang bisa kamu lakukan disini..”
ajak koko. Sebetulnya itu benar juga, tapi aku tak ingin meninggalkan kak faisal, aku ingin kak faisal merasakan bahwa ada aku bersamanya.
“tidak ko.. Aku mau disini saja..”
aku menggeleng, kerongkonganku terasa sakit, airmata telah membuat mata dan hidungku bengkak.
“aku turut berduka cita yo, memang berat kehilangan seorang kakak.. Aku pernah mengalami dan merasakan sendiri…”
desis koko penuh keharuan. Ia menuntunku duduk ditempat yang agak sepi. Beberapa orang teman kak faisal berkumpul didepan pintu UGD. Mereka penasaran ingin melihat langsung keadaan kak faisal.
“yo… Aku bisa temani kalau kamu butuh teman untuk berbagi…”
koko merangkulku. Aku menunduk dan menangkupkan kedua tangan menutupi wajah. Airmata mengalir di sela sela jariku. Setiap aku teringat kak faisal, aku tak dapat menahan kesedihan.
Detik detik berlalu bagaikan semakin cepat dari biasanya. Tak ku sadari mama dan papa telah keluar dari unit gawat darurat. Mama masih menangis sambil menutup hidungnya dengan saputangan putih bersih di pelukan papa. Tubuh mama berguncang guncang pertanda betapa sesaknya perasaan mama.
Aku berdiri mendekati mama dan papa, aku merangkul mereka berdua.
Papa mengajak aku pulang, katanya dokter akan membersihkan dan memperbaiki jenazah kak faisal agar bisa dimandikan dirumah. Nanti jam setengah tujuh, jenazah kak faisal diantar kerumah.
Sepanjang perjalanan mama masih terus meratapi kepergian kak faisal, mama betul betul merasa bersalah. Berkali kali mama mengungkit masalah kak faisal dan mama menyalahkan dirinya yang tak adil terhadap kak faisal. Aku hanya diam mendengarkan segala penyesalan yang terlontar dari mama.
“mama memang bukan ibu yang baik… Maafkan mama nak, maafkan mama..”
isak mama tersengal sengal.
“andai mama tau akan begini jadinya, tak akan mama menghukum kamu.. Mama sangat menyayangi kamu faisal anakku.. Mama menyayangi kamu nak…”
papa menatap lurus ke depan, menyetir penuh konsentrasi, namun air mata papa mengalir, entah apa yang papa pikirkan.
“andai mama merestui pernikahanmu.. Andai mama tak menghukum kamu…ini semua tak akan terjadi…maafkan kesalahan mama..mama telah menyebabkan kamu meninggal..ini semua salah mama…”
ratap mama tak henti henti, aku begitu kasihan melihat mama. Beliau sangat tertekan. Namun aku tak tau bagaimana cara menghibur mama, segala kata kata bagai hilang dari pikiranku. Hanya bayangan wajah kak faisal yang mengisi benakku.
Sampai dirumah aku langsung duduk di kursi makan. Melamun. Sedangkan mama dan papa langsung masuk kamar.
Aku baru tersadar saat bik tin memegang bahuku.
“bang, mandi dulu, nanti keburu banyak yang datang..”
bik tin mengingatkanku dengan hati hati agar tak membuat aku terkejut. Mata bik tin juga bengkak, sepertinya bik tin menangis.
Aku mengangguk pelan dan berdiri dengan lesu.
Begini rupanya rasa ditinggalkan untuk selama lamanya oleh orang yang dekat dan begitu disayangi. Bagaikan kehilangan separuh jiwa. Tak enak mau apapun, dada sesak, hati sakit, hilang semangat dan air mata turun tanpa bisa ditahan.
Aku mengguyur tubuh dengan air, rasanya dingin bagai diguyur air es, menggigil sekujur tubuh serasa mau demam. Tulangku bergemeretak ngilu. Berkali kali aku mencuci muka agar tak terlalu sembab.
Aku mengeringkan tubuh dengan handuk. Setelah berpakaian aku keluar kamar. Sudah banyak saudara saudara yang datang. Odie sedang membentangkan karpet diatas lantai, beberapa yang lain mengangkut kursi dan meja hingga ruang tengah menjadi lapang. Kasur di gelar diatas lantai. Sebentar lagi jenazah kak faisal akan sampai disini. Aku berjalan menuju ruang tamu. Beberapa orang tetangga sekitar sini sedang duduk, yang perempuan memakai kerudung dan lelaki memakai kopiah. mereka tersenyum prihatin kepadaku. Aku membalasnya dengan berat hati. Aku berjalan ke teras, didepan ada mobil yang membawa tenda dan kursi. Dengan cekatan para pekerja memasang tenda dan menyusun kursi, sementara para pelayat berdatangan tak putus putus. Aku duduk di tangga lantai teras menunggu mobil jenazah yang akan mengantarkan kak faisal kesini. Pandanganku hampa melihat tamu tamu yang berdatangan dan duduk di kursi yang disediakan dibawah tenda. Seharusnya kedatangan para tamu besok dipernikahan kak faisal, untuk memberikan doa restu, bukan seperti sekarang, kedatangan mereka hanya untuk mendoakan agar kak faisal diterima ditempat yang layak disisi Allah.
Entah kenapa semakin banyak yang datang rasanya makin hampa.
Sebuah mobil berwarna putih memasuki halaman rumah. Orang orang yang duduk menunggu langsung berdiri semuanya. Sebuah peti diturunkan dari pintu belakang mobil. Aku berdiri menyongsong jenazah kak faisal. Saudara saudara membantu mengangkat peti yang berat itu membawanya masuk ke dalam rumah. Beberapa orang paramedis mengikuti masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang berjalan bagai zombie hingga peti kak faisal diturunkan ke lantai.
Paramedis membuka peti itu dan memindahkan jenazah kak faisal ke atas kasur di lantai lalu menutupi tubuh kak faisal dengan kain batik. Mama keluar dari kamar mengenakan kerudung dan membawa alquran. Lalu duduk di sisi kak faisal. Aku duduk disamping mama dan ikut mengambil yasin yang tersusun di dekat kak faisal. Tante laras, odie, papa, om beno, dan seluruh keluarga yang datang duduk mengelilingi jenazah kak faisal. Dengungan suara ayat yasin langsung mengalun di seisi rumah. Aku membuka lembaran yasin dan membacanya dengan khusuk. Walaupun air mataku tak berhenti mengalir namun aku bertahan, suaraku tersendat karena hidungku buntu. Mama membaca yasin sambil sesekali menyusut hidung. Demikian juga yang lain. Hanya para tamu yang bisa membaca dengan tenang.
Aku sesekali menatap tubuh kak faisal yang terbujur tak bergerak dibawah kain yang menyelubunginya. Ingin rasanya aku memeluknya dan tak melepaskan lagi. Mama meletakkan yasin di samping jenazah kak faisal.
Mama berjalan menuju dapur. Aku menyusul mama, ternyata mama sedang menangis sambil menyender di pintu kulkas. Aku mengigit bibir keras keras. Aku tak tega melihat keadaan mama yang seperti ini. Aku hampiri mama dan aku peluk. Mama menangis tanpa dapat di tahan lagi.
“yo.. Kamu tau apa yang paling membuat mama sakit…”
sela mama diantara isakannya.
“apa ma…?”
tanyaku sambil menyeka air mata.
“faisal pergi disaat mama sedang marah, ia pergi diiringi kebencian mama… Mama menyesal yo.. Mama menyesal..”
mama meratap pilu.
Aku menggosok punggung mama.
“sudahlah ma, jangan mama sesali itu, rio yakin kak faisal pasti mengerti, kemarahan mama karena mama menyayanginya..”
aku coba menghibur mama.
“tidak yo.. Tidak..mama lah yang menyebabkan ia pergi..”
bantah mama.
“jangan di pikirkan ma.. Kalau mama berpikiran begitu, mama tak akan bisa tenang, kak faisal juga pasti tak akan tenang kalau ia tau mama seperti ini..”
“ia pasti membenci mama yo.. Ia pasti marah sama mama…”
isakan mama semakin menjadi jadi.
“sshhh… Ma, tenang ma… Kak faisal tak marah sama mama, ia justeru sedih karena telah membuat mama kecewa.. Ia mengatakan sendiri sama rio ma..”
mendengar kata kataku mama bukannya diam malah tangsannya makin menjadi jadi.
“sekarang ia telah pergi untuk selama lamanya.. Padahal kemarin mama telah mengusirnya..tetapi setelah ia pergi untuk selama lamanya, mama baru sadar, mama menyesali semua kata kata mama. Mama kehilangan dia yo.. Mama tak tau harus bagaimana…sakitnya hati mama yo.. Mama tak adil padanya..”
aku terdiam, mencerna kata kata mama. Aku mempererat pelukanku, agar mama bisa lebih terhibur, agar mama ingat masih ada aku yang menyayanginya.
Tante laras menyusul kami di dapur.
“kak.. Banyak tamu di luar, tak enak kalau di tinggalkan, aku tau kakak sedang kehilangan dan ingin menyendiri, tapi tolonglah di tahan dulu sebentar.. Temui para pelayat kak..”
tante kasar menuntun mama perlahan agar mengikutinya ke ruang keluarga.
Aku mengangguk pada mama dan mengikuti mama kembali duduk di sisi jasad kak faisal. Aku sibak kain bagian atas kak faisal, wajahnya telah lebih bersih walaupun sisa luka masih memenuhi wajahnya. Menurut keterangan dokter, pecahan pecahan kaca memenuhi wajahnya dan mereka harus ekstra hati hati mengangkatnya. Aku usap wajah kak faisal, terasa dingin dan kaku. Wajah yang biasanya selalu tersenyum dan penuh semangat, sekarang wajah itu membeku, tak ada ekspresi, terpejam, pucat.
Aku cium keningnya sambil berdoa dalam hati.
“kak, aku ikhlas dengan kepergian kak faisal, tidurlah dengan tenang kak… Kami semua menyayangi kakak..”
aku berbisik pelan di telinganya seakan ia bisa mendengarnya.
.
.
Aku terbangun dengan kepala yang terasa sakit. Suara dari masjid yang membuat aku terbangun.
“ASSALAMUALAIKUM.WARAHMATULLAH HI WABARAKATUH..BERITA DUKA CITA… TELAH MENINGGAL DUNIA, NAMA FAISAL HANUTAMA MAHENDRA BIN SUHARLAN MAHENDRA, UMUR 24 TAHUN, MENINGGAL DUNIA PADA PUKUL 15:45 WAKTU INDONESIA BARAT, AKAN DI SHOLATKAN DI MASJID AGUNG SELEPAS SHOLAT ASHAR DAN AKAN DIKEBUMIKAN LANGSUNG DI TEMPAT PEMAKAMAN UMUM PUNCAK SEKUNING SETELAH SELESAI DI SHOLATKAN…
Berulang ulang suara itu bergema dari menara masjid ke menara masjid yang terletak tak jauh dari rumahku secara sambung menyambung. Aku tersadar ternyata semua ini nyata bukan sekedar mimpi buruk. Aku bangun dan keruang tengah. Mendekati jenazah kak faisal. Aku bersimpuh disisinya. Kembali kesedihan yang mendalam aku rasakan. Inilah hari terakhir aku masih bisa bersama kak faisal, masih bisa melihat wajahnya walaupun dia telah meninggal. Aku sibak kainnya dan aku pandangi kak faisal sepuasnya. Mama tertidur di lantai tak jauh dari jenazah kak faisal. Hanya ada beberapa yang masih terjaga termasuk odie yang masih saja membaca yasin. Odie membacanya dengan suara serak, odie pasti begitu sedih karena odie menyayangi kak faisal, meskipun sayangnya itu hanyalah bertepuk sebelah tangan. Entah kenapa aku masih saja berharap tiba tiba kak faisal membuka matanya dan terbangun lalu memelukku dan mengatakan ini semua hanyalah sebuah lelucon. Namun itu tak mungkin. Kak faisal benar telah meninggal dan tak akan pernah bangun.
Menjelang subuh, banyak yang mulai terbangun termasuk mama. Di halaman belakang, beberapa orang menyiapkan tempat untuk memandikan jenazah kak faisal, karena kak faisal meninggal dalam kecelakaan dan pastinya kalau terkena air, tubuhnya yang luka akan kembali berdarah. Tempat itu dibuat sedemikian rupa agar darahnya tak meluber kemana mana.
Menjelang jam tujuh pagi, kembali para pelayat datang malah lebih banyak dari malam tadi. Mereka membawa beras sebagai tanda ikut bersimpati, walaupun aku yakin mama tak membutuhkan semua itu, namun beginilah tradisi disini. Beberapa tetangga yang membantu mengurus disini, menaruh beras itu ke dalam karung yang telah mereka persiapkan. Dalam sekejab telah penuh hingga berkarung karung.
Sebuah bak dari fiber ditaruh di dekat tempat untuk memandikan kak faisal. Bunga bunga bermacam rupa dan juga gayung di taruh dalam bak itu. Mama walaupun masih bersedih namun harus menahan semua itu karena harus melayani para pelayat. Beberapa ibu ibu sekitar sini sibuk memasak di dapur. Di samping Kasur tempat jenazah kak faisal telah di taruh beberapa kain kafan putih bersih yang terlipat rapi juga kapas serta damar, sebentar lagi jenazah kak faisal akan di mandikan.
Aku cuma bisa diam melihat semua kesibukan ini. Detik detik yang berjalan akan segera menghantarkan kak faisal ke tempat istirahat untuk terakhir kalinya. Aku mandi bersih, karena papa bilang, yang akan memandikan kak faisal adalah dari fihak keluarga. Setelah mandi aku kembali ke ruang tengah. Beberapa orang mengangkat tubuh kak faisal dari kasur dengan hati hati. Aku dipanggil oleh mama agar ke belakang ke tempat kak faisal akan di mandikan.
Disana telah menunggu papa, odie dan om beno. Mereka duduk diatas papan dengan kaki diluruskan. Aku disuruh duduk di samping papa. Dengan posisi yang sama. Tubuhku gemetaran saat jenazah kak faisal di baringkan diatas pahaku. Melintang dengan posisi papa di bagian muka, aku dada, om beno di bagian perut dan daerah intim, sedangkan odie di bagian betis hingga telapak kaki. Pak haji malik menutupi tubuh kak faisal dengan kain tebal lalu mencopoti pakaian kak faisal hati hati agar bagian yang tak layak dilihat orang lain tak terbuka. Sambil membaca doa ia mulai menyiram tubuh kak faisal dari atas hingga ke bawah tanpa putus putus dibantu oleh beberapa orang. Aku membersihkan tubuh kak faisal dengan sepenuh hati.. Sementara air mataku mengalir kembali dengan deras. Papa pun demikian. Terasa sekali kesyahduan suasana yang aku rasakan. Celanaku yang basah bercampur dengan darah. Aku berdoa tiada henti untuk kak faisal. Aku ingin kak faisal merasakan betapa aku menyayangi dan merasakan kehilangan yang teramat mendalam.

+++

Setelah selesai dimandikan, jenazah kak faisal di kafani oleh ketua masjid daerah sini dibantu oleh papa dan beberapa orang tetangga. Aku mandi lagi dan memakai baju koko. Sebentar lagi kak faisal dibawa ke masjid untuk di sholatkan. Sebelum dimasukkan ke dalam keranda, kami di izinkan untuk mencium kak faisal untuk terakhir kali. Mama mengulurkan tissue padaku untuk menahan airmata agar jangan sampai menetes jatuh ke wajah kak faisal. Aku memejamkan mata lalu mencium kak faisal lama sekali, gatal damar yang dibubuhkan di seluruh wajah kak faisal yang terkena hidungku tak aku perdulikan. Selamat jalan kak faisal, kenangan bersama kakak tak akan pernah aku lupakan sampai kapanpun..
Setelah itu satu persatu bergiliran memberikan salam terakhir untuk kak faisal.
Jenazah kak faisal dimasukkan ke dalam keranda lalu ditutup dengan kain beludru hijau tua bertuliskan ayat ayat. Empat orang mengangkat keranda, papa, om beno, om sebastian, dan paman herman. Semua mengiringi dari belakang. Aku berjalan disisi mama, tante laras, odie, tante sukma, koko, rian, rizal, agus dan beberapa teman lain yang aku tak tau mereka sudah ada disini. Kami berjalan hingga ke masjid. Kak faisal di sholatkan. Setelah itu keranda diangkut ke atas mobil, aku bersama keluarga naik ke mobil yang dibawa oleh isteri paman herman.
Beberapa rombongan yang lain juga ikut ke pemakaman ada yang mengendarai motor dan ada juga yang naik mobil. Liang lahat kak faisal telah disiapkan. Beserta sepasang nisan dari papan dan bilah bilah papan untuk menutupi liang lahat.
Om sebastian turun ke dalam bersama papa. Paman herman dan om beno menggendong jenazah kak faisal yang telah di kafani lalu mengulurkan kepada papa dan om sebastian. Papa membaringkan jenazah kak faisal ke dalam celah liang lahat. Aku berdiri di pinggir liang bersama mama yang terus menerus menyusut hidung dengan saputangan. Hampa sekali perasaanku saat ini. Bagaikan tak nyata berada disini. Seolah olah ini semua bagai mimpi yang tak selesai selesai. Koko menggenggam tanganku begitu kuat. Aku bagai tak percaya kak faisal yang kemarin masih bersamaku bercanda, yang selama ini selalu bersamaku, yang selalu menemaniku mengisi hari hari selama delapan tahun lebih, yang biasanya penuh semangat, yang hampir tak pernah diam, yang tampan dan banyak di gilai wanita. Yang begitu baik hati walaupun sedikit bandel. Sekarang harus dikubur dalam tanah. Kesepian ditengah tengah pemakaman. Tubuh yang gagah itu akan diselimuti tanah kuning untuk selamanya. Tak akan pernah lagi aku mendengar suara kak faisal, melihat tawa dan candanya, tak bisa melihat kak faisal tumbuh menjadi dewasa hingga tua nanti, begitu singkat usia kak faisal, seharusnya disaat ini ia masih bergembira menikmati masa mudanya, bersenang senang seperti biasanya. Menikah dengan amalia dan mempunyai anak. Amalia.. Aku baru teringat, dimana amalia.. Tak kulihat dia disini. Bahkan dari kemarin aku cuma melihatnya selintas saja dirumah sakit. Kemana amalia? Kenapa ia tak menghadiri pemakaman kak faisal, apakah terjadi sesuatu pada amalia hingga ia tak bisa datang. Aku harap amalia tak apa apa, semoga saja ia tak datang karena ia tak siap bukan karena sakit atau ada masalah. Setelah papan disusun hingga jenazah kak faisal tertutup sempurna, gundukan tanah langsung dijatuhkan ke dalam kuburan secara cepat. Mama memeluk tante laras karena tak sanggup. Tubuhku lemas.. Selesai sudah. Dengan tangan gemetar hebat mama menaburkan bunga diatas gundukan tanah kuning yang masih basah. Tangisan kembali mengiringi kak faisal di istirahat terakhirnya. Aku mengambil segenggam bunga dari keranjang bambu yang mama pegang. Lalu aku taburkan penuh khidmat dimakan kakak kesayanganku ini. Teriring doa dalam air mata untuk kak faisal, semoga kak faisal mendapat ketenangan di alam sana, semoga nanti kami akan dipertemukan lagi di surga yang indah.
.
Para pelayat satu persatu berpamitan pulang, mama menyalami mereka dan tak lupa berterimakasih untuk kedatangannya di pemakaman. Suasana menjadi lebih sepi, hanya tinggal keluarga dan kerabat. Semua bersimpuh disisi makam untuk mendoakan kak faisal. Mama berlutut tak perduli roknya kotor terkena tanah. Mengusap nisan kak faisal dan menciumnya. Demikian juga papa. Ceret tembaga kosong beserta keranjang kosong ia letakkan disampingnya. Papa berdiri sambil memapah mama. Mengajak kami semua pulang. Aku berat sekali meninggalkan makam ini, ingin rasanya menemani kak faisal, aku tak tega meninggalkan kak faisal disini sendirian dalam kuburan yang sempit ini. Namun om sebastian segera menarikku agar ikut pulang. Untuk pertama kali dalam beberapa tahun ini aku memeluk om sebastian. Ia merangkulku dan mengusap punggungku selayaknya dulu ketika aku masih menjadi miliknya. Aku merasa begitu rapuh saat ini, pelukan om sebastian sedikit menghiburku. Aku menangis didadanya.
“sabar yo.. Kak faisal telah mendapatkan tempat yang lebih baik.. Kita ikhlaskan saja ya..”
om sebastian menggiringku ke mobil. Tante sukma tersenyum padaku sambil merangkulku bersama om sebastian. Sampai mobil berjalan aku terus menatap kuburan kak faisal, kuburan beku tanpa jiwa, menebarkan aura kesuraman begitu kental. Air mataku tergenang tiada henti hingga kami meninggalkan tanah pekuburan dan makam kak faisal lenyap dari pandangan.
Selamat tinggal kak faisal.

Sampai dirumah aku langsung masuk dalam kamar. Aku berbaring dengan lesu, memandangi foto kenangan waktu masih ada kak faisal, foto waktu aku dan kak faisal di depan benteng kuto besak. Di lahat dan foto foto waktu kami lagi narsis di depan sekolah. Baru saja ditinggalkan sudah begini rasanya. Hampa dan kesepian. Tadi rian pulang tanpa memberitahuku. Mungkin ia langsung pulang ke kost nya. Aku ingin mencurahkan perasaan dan segala kesedihan pada rian, hanya ia yang bisa membuat aku tersenyum seperti biasanya.
Aku turun dari tempat tidur, aku tak bisa istirahat karena kepalaku pusing, aku keluar kamar, kemudian aku berjalan menuju kamar kak faisal, aku membuka pintunya. Kamar itu sudah rapi tak seperti biasanya. Mungkin bik tin yang sudah membereskannya. Seprei dipasang tanpa kerutan sedikitpun, bantal disusun bertumpuk. Karpet tak ada debu sedikitpun, meja belajar tak berantakan lagi. Aku merasa asing dengan kamar ini, tak seperti kamar kak faisal biasanya. Terasa sekali bedanya. Biasanya walau telah dibersihkan oleh bik tin, kak faisal akan mengacak acaknya lagi. Biasalah kak faisal, tak terlalu suka kamarnya rapi, katanya kayak kamar cewek. Gitar listrik dan drum yang terletak di sudut berkilau tertimpa cahaya matahari yang menerobos lewat jendela. Aku duduk di sisi tempat tidur tiba tiba pintu terbuka dan mama masuk.
“eh ada kamu…”
mama agak terkejut ragu untuk masuk.
“ma…”
aku memanggil mama karena kulihat mama berbalik hendak keluar.
“iya sayang ada apa?”
mama menoleh lagi, suara mama masih serak karena terlalu banyak menangis.
“mama yang tabah ya ma..”
padahal aku hampir tak bisa tabah, namun aku tak tega melihat mama, ia belum bisa menerima semua ini.
“rio… Sebelum meninggal, faisal ada cerita apa aja nak?”
mama berjalan menghampiriku lalu duduk disampingku. Aku menatap mama sebentar, lalu menunduk.
“kak faisal tak banyak cerita ma, dia cuma menyesal telah membuat mama kecewa, sebetulnya kak faisal begitu menyayangi mama, ia sangat takut bila mama marah..”
jelasku apa adanya.
Mama menggeser duduknya lebih dekat denganku.
“mama begitu kecewa ketika amalia hamil, kamu tau sendiri bagaimana sulitnya mama untuk menerima amalia dulu, dan setelah mama mengijinkan, mereka malah menyalahgunakan semua… Mama begitu banyak rencana untuk faisal dan kamu.. Dan semua itu sudah buyar..”
isakan mama mulai lagi.
“kak faisal tau ma… Makanya ia betul betul menyesal, aku bahkan banyak bercerita dengan kak faisal dari kemarin..”
“apa saja yang ia katakan..”
“aku merasa hampir tak mengenal kak faisal ma.. Ia mendadak jadi dewasa, lebih berpikir.. Bahkan ia pun tak protes sedikitpun ketika tau mama mau membelikan aku mobil..”
mataku kembali berkaca kaca.
“betulkah itu nak…”
mama terkejut.
“iya ma.. Sebetulnya sudah ada tanda tanda kak faisal mau pergi ma.. Waktu malam setelah lamaran itu kak faisal begitu beda ma.. Ia menangis karena harus meninggalkan mama.. Meninggalkan rumah ini, ia menyesal telah menghancurkan hati mama.. Bahkan ia juga berharap suatu saat mama bisa memaafkannya lagi..”
aku terisak. Mama ikut terisak bersamaku.
“malam itu kak faisal mengajak aku menemaninya tidur.. Ia bilang untuk yang terakhir kali… Aku tak menyangka kalau itu merupakan pertanda ma..”
mama meremas tanganku kuat sekali, tangannya bergetar.
“besoknya kak faisal meminjam mobilku, karena mobilnya mama ambil kuncinya.. Kak faisal memakai baju putih dan celana putih, padahal mama tahu sendiri bagaimana almarhum dulunya..”
jelasku sambil mengusap lengan baju ke hidung. Mama mengangguk angguk pelan. Air mata mama jatuh diatas blouse yang ia pakai.
“kamu tau ia pergi kemana sebelum kecelakaan itu terjadi..?”
tanya mama.
“tepatnya kemana aku tak tau ma.. Tapi ia bilang ia akan memberikan kejutan pada aku dan mama..”
aku menangis tersedu sedu karena dengan bercerita membuat aku menjadi kembali sedih. Mama memelukku dan menangis juga.
Pintu terbuka. Om sebastian masuk ke dalam kamar. Mama menyeka airmatanya.
“ada apa bas?”
tanya mama.
“ini kak.. Ditemukan dalam mobil yang dipakai faisal kemarin.”
om sebastian mengulurkan sebuah kotak beludru seukuran kotak pasta gigi. Dan sebuah kotak berukuran sebesar kotak sepatu, disampul kado pembungkus yang berkilau. Dengan tangan bergetar mama menerima kotak yang diberikan om sebastian.
“ini ada amplop juga kak..”
mama mengambilnya dan membuka. Ada kartu ucapan berwarna merah hati.
Setelah membacanya mama langsung pingsan.
“mamaaaa…”
aku berteriak kaget. Om sebastian membaringkan mama diatas tempat tidur kak faisal. Aku memunguti kartu yang tadi mama baca. Aku terdiam saat membaca kata kata yang ditulis kak faisal dalam kartu itu. Tubuhku menjadi lemas hingga kartu itu terlepas dari tanganku tanpa aku sadari. Aku raih kotak berukuran sebesar kotak sepatu. Aku menangis terisak isak.

___

“om lagi ngurus mobil kamu biar bisa langsung diambil, sopir truk yang menabrak almarhum faisal sekarang masih di opname dirumah sakit charitas, keadaanya sungguh mengenaskan..”
om sebastian menjelaskan. Aku menunduk memandangi kotak yang aku pegang. Mama belum siuman juga, om sebastian mengipasi mama dengan sebuah majalah.
“coba kamu lihat apa isi kotak itu yo…”
om sebastian berdiri lalu keluar dari kamar.
Aku jadi makin sedih, sebelum meninggal kak faisal masih sempat membelikan aku dan mama hadiah. Sebuah kejutan yang tak aku duga. Aku menduga duga apa isi dalam kotak ini, lumayan berat juga.
Om sebastian masuk kembali dengan membawa segelas besar air putih. Lalu ia mengangkat punggung mama sedikit, menempelkan gelas itu ke bibir mama. Perlahan mama mendapatkan kembali kesadarannya.
“kak…sukurlah kakak sudah siuman..”
suara om sebastian terdengar lega.
Mama bergerak hendak menyender, ia mengurut keningnya seolah masih merasa pusing.
“ma.. Jangan terlalu memikirkannya ma, ini semua bukan salah mama, ini kecelakaan ma..”
aku mendekati mama dan menghiburnya. Mama menggeleng, airmata mama mengalir dari sudut matanya.
“bahkan ia masih sempat memikirkan mama..” isak mama sedih.
“aku tau ma, kak faisal memang mengatakan ingin memberi kejutan, tapi aku tak menduga kalau ia membelikan hadiah untuk aku dan mama.”
aku mengusap kotak yang aku pangku dengan dada sesak.
Ku ambil lagi surat yang terselip dalam kartu itu. Kubaca tulisan tangan kak faisal.
.
Assalamualaikum..
.
mama, faisal tahu mama begitu kecewa dengan apa yang faisal lakukan. Faisal tak tahu bagaimana memperbaiki kesalahan faisal, maafkan faisal ma, faisal tak bisa membuat mama bangga, cuma bisa membuat mama malu, mencoreng aib di keluarga ini, faisal bisa menerima kemarahan mama, faisal ikhlas menerima hukuman dari mama. Karena kesalahan faisal sudah terlalu besar. Faisal minta doa restu mama, cuma itu yang faisal harapkan dari mama. Izinkan faisal menikahi amalia, faisal harus bertanggung jawab. Andai dengan itu faisal harus kehilangan semuanya faisal ikhlas. Faisal akan berusaha menjalani kehidupan yang sesungguhnya, yang perlu perjuangan serta kerja keras. Faisal tak akan membawa apa apa dari rumah ini ma, mama tak perlu kuatir. Faisal akan berusaha mencari pekerjaan walaupun harus menjadi kuli sekalipun faisal jalani. Faisal pamit sama mama, semoga suatu hari nanti mama bisa memaafkan faisal. Hanya kata maaf dari mama yang ingin faisal dengar. Agar faisal bisa tenang. Setelah menikah nanti, faisal akan pindah ke sekayu ma, faisal akan memanfaatkan tabungan faisal untuk mencoba bertani. Dua minggu waktu faisal kabur dari rumah, faisal sudah belajar berkebun ditempat teman faisal, doakan faisal dan amalia bahagia, dan cucu mama juga bisa lahir dengan selamat dan sehat.
Faisal sayang mama.
.
NB. Ma faisal belikan mama gelang, memang tak mahal, tapi faisal beli dengan tabungan faisal sendiri, semoga mama suka, itu sebagai kenang kenangan dari faisal untuk mama.

Ttd.
Faisal
.
Aku lipat surat itu dan kumasukkan dalam amplop.
Itu surat dari kak faisal untuk mama.
Diatas kotak untukku juga ada surat, namun belum sempat aku buka. Kak faisat menulis dua surat, yang satu untuk mama, dan yang satu lagi untuk aku. Aku yakin kak faisal sudah menulis surat itu dari sebelum ia membelikan hadiah ini. Kak faisal sudah merencanakan segalanya.
Mama mengambil amplop yang aku letakkan disampingnya. Mama membuka kotak beludru pemberian kak faisal. Seuntai gelang dari emas 18 karat bertahta permata tiruan namun begitu indah bagaikan permata asli, berbentuk hati yang di jalin melingkar membingkai batu warna hijau zamrud berkilauan. Terlihat mahal. Mama mendekap gelang itu didadanya. Mulut mama bergetar membisikkan nama kak faisal. Aku melepaskan selotip yang menempelkan surat dari kak faisal di kotak yang aku pegang, kemudian aku buka dan ku baca.
.
Assalamualaikum.
.
Rio, kakak tak banyak yang bisa dikatakan, cuma ingin adek tau kalau kakak sangat sayang sama rio, maaf ya kalau kakak bikin rio kecewa, tapi kakak janji, kakak nggak akan pernah lupa sama rio, rencana kakak, setelah menikah nanti, kakak akan tinggal di sekayu, kalau rio ada waktu sering sering lah main ke tempat kakak. Terimakasih sudah mendukung kakak selama ini, rio tau apa hadiah terbesar yang pernah kakak dapatkan, ialah ketika kakak mendapatkan adek seperti rio. Kakak merasa begitu beruntung, terimakasih selama ini sudah menjadi teman sekaligus adek yang baik untuk kakak.. biarlah hubungan kita selamanya hanya sebagai adik dan kakak.. Kakak sadar rio berhak mendapatkan kebahagiaan yang tak dapat kakak berikan. Tapi jujur, kehadiran rio dirumah ini telah membawa begitu banyak perubahan bagi kakak, dan kakak sangat bersyukur untuk itu. Satu permintaan kakak, jagalah semua ini jangan sampai ada keluarga kita yang tau. Kakak tak ingin rio dapat masalah.
Saat kakak tau rio berhubungan dengan rian, terus terang kakak sangat kaget. Sebetulnya kakak tak ikhlas, Pernah terpikir untuk melarangnya. Kakak tak berani terus terang mengatakan itu. Setelah kakak berpikir lagi kakak bersyukur tak menghalangi kebahagiaan kamu.
Ini kakak ada sesuatu untuk kamu. Karena mungkin setelah ini kakak mungkin tak bisa memberikan sesuatu yang berharga untuk rio..
Jangan lupa besok adek harus hadir untuk memberikan semangat bagi kakak.
Terimakasih banyak untuk semua yang telah adek lakukan.
Pesan kakak, bukalah kado dari kakak tanpa sepengetahuan mama, di situ adek akan mengerti tentang sesuatu rahasia yang selama ini adek tak tahu.
Salam sayang.
Faisal.
Aku melipat surat dari kak faisal, tanganku bergetar.. Perlahan ku lepaskan selotip pada pembungkus kado. Sebuah kotak dari karton tebal berwarna biru. Kubuka penutupnya, perlahan ku angkat sebuah album kecil seukuran buku agenda, disampingnya ada sebuah saputangan bertuliskan nama ricardo malvin silalahi. Aku menoleh ke arah mama, ia sedang termenung memandangi gelang pemberian almarhum. Aku berdiri dan memberitahu mama kalau aku mau kembali ke kamarku. Mama mengangguk. Om sebastian memandangku seolah ingin bertanya. Namun aku tak hiraukan.
Aku kunci pintu kamarku. Apa maksud kak faisal memberikan kejutan ini padaku, kenapa mama tak boleh tau, ada apa sebenarnya ini. Bermacam pertanyaan berkecamuk dalam otakku.
Aku duduk diatas tempat tidur dan membuka lagi kotak ditanganku. Aku keluarkan album mini itu, ku buka perlahan. Ternyata foto pernikahan.
Astaga… Jantungku berdebar kencang, kepalaku langsung pusing. Ternyata sepasang mempelai yang bersanding di pelaminan itu adalah mama, dan disampingnya itu, betul betul mirip aku, sangat mirip hingga nyaris bisa dibilang seperti lembaranku. Tanganku yang gemetaran secara refleks membalik halaman selanjutnya. Masih foto pernikahan mama. Tak terasa air mataku mengalir, sederetan foto yang mulai usang, menampilkan mama dan om alvin, wajah om alvin sumringah tersenyum disamping mama, lalu ada lagi foto seorang bayi lelaki yang begitu montok sedang di gendong mama yang sedang tersenyum menciumnya.. Tanpa diberi tahu aku langsung sadar kalau bayi itu adalah aku. Yang membuat aku shock ternyata suami mama dulu ialah om alvin. Aku jadi mengerti dengan segalanya. Semuanya menjadi jelas kini.

+++

Jadi selama ini seseorang yang begitu ingin aku tau, yang membuat aku rindu dan bertanya tanya, yang membuat aku merasa tak berarti, ternyata begitu dekat, bahkan aku sering bersamanya. Aku mengerti kenapa om alvin selalu menhindar untuk datang kerumah walaupun sudah aku ajak berkali kali, ia selalu punya alasan untuk menolak secara halus, rupanya selama ini om alvin sudah tau kalau aku adalah anaknya, itulah sebabnya kenapa ia begitu baik padaku. Selama ini aku tak menyangka sama sekali, pantas saja aku cepat akrab dengannya, bahkan wajahku pun mirip dengannya. Tapi kenapa om alvin tak mau berterus terang padaku, tak mengatakan hal yang sebenarnya kalau aku adalah anaknya. Aku tak ragu lagi kalau aku adalah anak kandung om alvin, wajahku dengannya begitu mirip, dan dia adalah suami mama yang pertama. Lalu bagaimana kak faisal bisa mengetahui semua ini, bagaimana cara ia mendapatkan semua bukti ini, aku butuh penjelasan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mendapatkannya sedangkan kak faisal sekarang telah meninggal, kenapa masalah demi masalah terus berdatangan tak berhenti seolah menguras seluruh kekuatan yang aku miliki.
Aku nyaris tak bisa berdiri saking lelah tekanan yang aku rasakan. Aku tak mengerti harus bagaimana, apakah aku harus senang atau marah. Mama tak pernah bercerita, om alvin berusaha menutupi. Seolah mereka berdua tak ingin aku tau. Apakah mama tau kalau om alvin sekarang berada di palembang, ataukah sebetulnya mereka sudah bertemu namun mama melarangnya untuk kerumah atau menemuiku? Tapi aku yakin mama tak mengetahui masalah ini, mama tak tau kalau om alvin ada disini.
Masih ada sesuatu dalam kotak ini, aku ambil selembar saputangan biru muda, nama siapakah ini, ricardo malvin silalahi, apakah ini nama om alvin, mama harus menjelaskan semuanya padaku. Aku akan meminta mama jujur, aku sudah dewasa, aku berhak tau tentang siapa aku dan keluargaku yang sesungguhnya.
Dalam kotak pemberian kak faisal juga ada selembar amplop lagi, yang tersembunyi dibawah saputangan dan jam tangan casio digital berwarna hitam yang juga ikut dimasukkan kak faisal sebagai kado kejutan untukku. Tanpa membuang waktu lagi aku membuka amplop itu dan membaca surat yang ada didalamnya.

Dek, kakak tau setelah melihat foto pernikahan mama pasti adek langsung kaget, begitu juga kakak waktu pertama melihatnya. Adek pasti bertanya tanya darimana kakak bisa tau mengenai semua ini, kakak akan menjelaskannya.
Waktu mengetahui adek begitu mirip dengan koko dan keluarganya, terus terang kakak jadi curiga, ditambah lagi dengan kehadiran om alvin, sikap om alvin yang mungkin tak adek sadari namun terus kakak perhatikan begitu aneh, seolah ia sangat menyayangi adek. Akhirnya kakak mencoba mencari informasi mengenai ini. Kakak bertanya pada mamanya koko mengenai masa lalu om alvin, mamanya koko tak tau siapa isteri om alvin dulunya karena mama koko tak tau tentang masalah itu karena waktu om alvin menikah dulu, mama koko sudah dibuang dari keluarga. Ia kehilangan kontak dengan keluarganya. Jadi kakak dan koko sepakat untuk mengorek keterangan dari om alvin, tentu saja om alvin tak memberikan keterangan apa apa. Akhirnya koko berinisiatif mencari tau sendiri, ia pergi ke jambi, menginap dirumah om alvin dan menemukan foto pernikahan om alvin dengan isterinya yang terdahulu. Koko begitu terkejut waktu tau isteri om alvin dulunya adalah mama. Ia mengambil album itu diam diam dan bermaksud memberi tahu adek. Tapi kakak melarang, adek tau sendiri bagaimana mama, adek pasti menyadari hubungan papa dan mama sekarang begitu hambar, kakak takut kalau kehadiran om alvin akan membuat mama berubah. Aku takut mama meninggalkan papa, meninggalkan kakak, aku tak ingin mama kembali kepada om alvin, karena aku tau om alvin masih sangat mencintai mama. Kemudian kakak mencari informasi dari mama, hanya foto adek waktu masih bayi yang kakak temukan, tak ada foto yang lain, mama tak menyimpan foto om alvin, mungkin mama menyembunyikannya, atau mungkin mama memang tak pernah menyimpannya.Akhirnya kakak memutuskan untuk menyimpan sendiri rahasia ini bersama koko. Tapi kakak berubah fikiran, kakak tau tak mungkin selamanya menyimpan rahasia ini dari adek karena adek berhak tau semua. Cuma satu yang kakak pinta, jangan adek memberi tau mama, cukuplah adek sekedar tau, kasihan papa ia sudah tua, terlalu banyak masalah yang kakak buat, kakak tak ingin menambah masalah papa. Kakak percaya adek bisa bersikap bijaksana.
Nanti selesai pernikahan kakak, kita akan membahas tentang ini, kakak akan menjelaskan semuanya.
Saputangan itu adalah saputangan adek, ricardo malvin silalahi adalah nama adek sebelum diganti menjadi rio krisna julian.
Kakak sempat mengira itu nama om alvin, tapi kata koko, nama lengkap om alvin adalah alvin hosea silalahi.

Aku melipat surat kedua dari kak faisal, aku menghapus airmata yang jatuh disudut mataku dengan saputangan ini.
Rupanya koko dan keluarganya telah tau masalah ini. Jadi koko tau aku adalah sepupunya. Mama koko tau aku adalah keponakannya. Tapi mereka selalu menjaga rahasia ini. Aku akan meminta koko menjelaskan lagi, karena banyak yang ingin aku ketahui.
Kumasukkan kembali semua album dan saputangan ke dalam kotak, juga kedua surat dari kak faisal, kecuali jam tangan. Langsung aku pakai. Terimakasih kak faisal, walaupun sekarang kakak telah tiada namun kakak telah memberikan hadiah terbesar dalam hidupku. Hadiah paling berharga yang tak pernah aku bayangkan. Yaitu seorang ayah. Walaupun aku tak bisa menerima sikap om alvin. Yang penting aku tak bertanya tanya lagi siapa ayahku sebenarnya.
*****

suasana dalam rumah masih diselimuti kesedihan, mama tak banyak bicara waktu makan malam. Tante laras dan odie sudah pulang kemarin. Jadi kembali sepi lagi sekarang. Papa sudah dua hari ini menenangkan diri ke tempat orangtuanya di dusun. Dia belum bisa sepenuhnya menerima kepergian kak faisal, karena cuma kak faisal putera satu satunya darah dagingnya. Papa begitu terpukul, setiap kali melihat sesuatu yang bisa mengingatkannya dengan kak faisal, papa pasti langsung sedih. Jalan satu satunya ialah papa menenangkan diri jauh dari rumah.
Wenny adikku yang masih kecil belum tau apa apa. Ia hanya diam agak bingung saat melihat keramaian dirumah, hingga saat kak faisal dikubur, ia tak rewel.
Sepi sekali cuma aku, mama dan wenny, mama berusaha untuk menghilangkan rasa sedih kehilangan kak faisal dengan cara menyibukkan diri bekerja dan mengurusi wenny. Terasa kebekuan dalam rumah, bik tin pun tak banyak bicara, ia tahu mama masih sensitif.
Baru saja aku berdiri dari meja makan, bell rumah berbunyi. Entah siapa yang datang. Bik tin masuk ke dapur.
“bu ada tamu yang mau bertemu.”
ujar bik tin sambil menghampiri mama dan mengambil wenny dari gendongan mama.
“siapa bik..?”
mama berdiri dan mendorong kursi sedikit menjauh.
“orangtuanya amalia bu..”
ekspresi bik tin agak aneh. Mama menarik nafas dalam seolah kedatangan mereka adalah hal terakhir yang mama inginkan disaat ini.
“baiklah bik, tolong temui dulu mereka.. Bilang sebentar lagi saya keluar..”
jawab mama dengan lesu lalu beranjak ke kamar. Bik tin balik lagi menemui orangtua amalia. Aku membereskan meja makan.
Setelah semua beres aku duduk diruang tengah. Mama keluar dari kamar menemui orangtua amalia. Aku merapat ke pintu mendengarkan pembicaraan mereka.
“maaf bu harlan bukan bermaksud untuk mengganggu ibu, tapi kami ingin menanyakan kejelasan nasib anak kami amalia, bagaimana dengannya bu.. Kami tak tega dengan keadaannya sekarang ia seperti orang hilang ingatan…”
ibu amalia terisak menangis. Mama tertunduk kebingungan.
“ibu tau sendiri sekarang faisal telah meninggal, tak ada niat kami untuk lari dari masalah, tapi saya juga kebingungan sekarang..”
jawab mama serba salah.
“saya tau bu, saya tak memaksa… Cuma keadaan amalia membuat saya bingung.. Ia suka menangis sendiri lalu tiba tiba tertawa, kadang ia menjerit berteriak seolah olah faisal datang.. Kami tak tega melihatnya bu, kami takut kalau anak kami menjadi gila..”
ibu amalia menangis sesungukan. Bapak amalia tak berkata apa apa, ia kelihatan sibuk memandangi seisi ruangan tamu. Seolah tak perduli dengan yang dibicarakan oleh isterinya dan mamaku.

+++

“saya sangat menyesal bu, betul betul tak tahu harus bagaimana, keadaan ini sungguh membingungkan..”
desah mama kelu, mama berkali kali menggeser duduknya dengan gelisah. Sementara itu ibu amalia menatap mama tajam seolah mengharapkan mama dapat memberikan jalan keluar.
“kami tau bu, kami menyadari itu, namun ibu enak, anak ibu lelaki dan tak ada akibat yang ibu tanggung, tapi kami bu, bayangkan aib yang kami dapatkan, belum lagi trauma yang anak kami alami..”
keluh ibu amalia panik. Mama mendesah, wajah mama tampak kacau, ia berpikir keras.
“tolong beri kami waktu berpikir, bagaimana harus menyelesaikan masalah ini, karena untuk mengharapkan pernikahan tak mungkin lagi kalau mempelai lelakinya tak ada. Kalau menurut ibu rusmi apa yang seharusnya kita lakukan?”
mama balik bertanya.
Ibu amalia terdiam mendapat pertanyaan seperti itu.
“mengapa harus repot repot seperti itu, sudah aku bilang gugurkan saja, memang amalia itu kelakuannya seperti lonte.. Tak tau malu, sekarang kita juga yang dapat masalah..”
timpal ayahnya yang sedari tadi cuma diam.
“bang..!”
ibu amalia terkejut mendengar kata kata suaminya.
“kenapa… Mau bilang kalau aku salah? Abang sudah pusing memikirkan masalah ini rus, abang mumet.. Tak sudah sudahnya kamu membahas hal tak penting ini..”
ayah amalia tak berhenti.
“ini penting bang.. Sangat penting, menyangkut nasib anak kita.. Ini menyangkut amalia, abang pikir bang, amalia menderita..”
ibu amalia histeris.
“menderita karena dia sendiri!.. Siapa suruh dia bunting.. Siapa suruh dia murahan?”
berondong ayah amalia tak mau kalah. Mama menggeleng geleng sambil memegang keningnya. Pusing melihat ayah dan ibu amalia bertengkar.
“bagaimanapun juga amalia anak kita bang.. Masa abang tak kasihan?”
“kasihan rus, tapi kita jangan dimanfaatkan oleh anak anak, tak bisa mereka seenaknya membuat masalah dan harus selalu kita yang pusing, harus kita yang selalu disalahkan sebagai orangtua tak becus mendidik anaknya, coba kamu pikir apa pernah kita menyuruh dia mengobral dirinya. Menyuruh dia tidur dengan pacarnya. Pernah nggak? Lalu sekarang kenapa harus repot repot untuk menutupinya rus, biarlah mereka yang menanggung.. Kita sudah cukup berusaha membesarkan serta mencukupi kebutuhan mereka..!”
ayah amalia berang.
“bagaimanapun juga dia anak kita, mau suka ataupun tidak mereka adalah tanggung jawab kita, abang jarang dirumah, cuma sibuk mabuk mabukan tak jelas sama teman teman abang yang masih remaja remaja itu, aku bang yang harus menghadapi cemoohan dari tetangga, aku yang menanggung malu digunjing setiap hari… Apa kata tetangga kalau mereka melihat perut amalia semakin membesar sedangkan tak ada lelaki yang menikahinya… Abang memang tak perduli karena amalia bukan anak abang!”
maki ibu amalia kesal. Suaminya berdiri spontan dengan muka memerah.
“kalau bukan dirumah orang sudah aku tampar mulutmu yang nyinyir itu..!”
geram ayah amalia sambil menggerakan tangannya dengan posisi seolah hendak menampar ibu amalia.
Melihat reaksi suaminya, ibu amalia langsung terdiam, namun dari raut wajahnya nampak ia belum puas.
“maaf pak, bu.. Saya mohon jangan ribut ribut dirumah saya, kita bicarakan masalah ini agar cepat selesai, masalah ini tak hanya bikin kalian pusing tapi saya juga..”
mama langsung memotong pertengkaran mereka, sepertinya mama tak mau ayah amalia sampai kelepasan memukul isterinya disini.
“makanya bu harlan tolonglah pakai hati nurani ibu, bagaimanapun juga janin yang ada di perut amalia adalah cucu ibu juga. Jadi ibu berkewajiban memikirkannya juga.”
tuntut ibu amalia jadi tak sabar.
“jangan takut bu, saya tak akan lari dari tanggung jawab, meskipun sekarang faisal sudah tak ada lagi, saya tak akan cuci tangan dari masalah ini, tapi tolong jangan buat keributan dirumah saya, keluarga kami sedang berkabung, hormati mendiang anak saya!”
tegas mama tajam.
“anak anda pantas mampus! Dia tak berguna, pemuda sialan goblok, tak punya otak.. Tak bisa jaga kontol,.. Liar kayak setan.. Semoga arwahnya gentayangan nggak diterima bumi!!!”
ayah amalia lepas kontrol, mama ternganga dengan ekspresi kaget tak menyangka bakal mendengar kata kata tak patut dari ayah amalia.
“abang..! Cukup… Teganya abang ngomong begitu.. Tak pantas abang menyumpahi orang yang sudah meninggal..”
ibu amalia menjerit, sementara mama aku lihat mulai menangis, aku jadi kasihan sama mama, cepat cepat aku keluar menemui mereka semua, aku tak mau mereka menyerang mama seperti itu.
“maaf pak, bu.. Bukan maksud saya ikut campur urusan orangtua, tapi tolong hargai mama saya..”
aku mencoba menengahi.
Ayah amalia menoleh padaku. Aku tahu tabiat ayah amalia, ia pemarah dan mau menang sendiri, sudah lama amalia tak tahan dengan kelakuan ayah tirinya itu, aku heran kenapa ibunya amalia bisa sanggup bertahan dengan suami seperti itu. Sudah pengangguran, ditambah lagi suka mabuk dan memukul. Amalia bahkan kerap kena tangannya itu. Dan sekarang ia telah betul betul membuat aku marah dengan perkataannya yang tak pantas mengenai kak faisal, aku tak terima dia menjelek jelekan kak faisal seperti tadi.
“kalau bapak tak bisa menjaga sikap bapak, saya akan menelpon polisi.. Saya tak main main pak.. Maaf sekali lagi, jangan sampai saya terpaksa melakukannya pak..”
aku mengancam bapak amalia. Mama menatapku penuh terima kasih.
“tolong rio, jangan melibatkan polisi, sudah cukup kami menanggung masalah..”
ibu amalia memohon.
“iya bu, asalkan ibu dan bapak bisa membicarakan ini dengan kepala dingin tanpa emosi seperti tadi..”
aku menahan emosiku agar tak tersulut lagi.
Bapak amalia sudah hampir menjawab namun mengurungkan niatnya karena melihat aku tak main main dengan kata kataku tadi.
“mama silahkan berbicara, kemukakan apa yang mama ingin katakan pada mereka..”
aku menoleh ke mama. Ia mengangguk dan berbicara.
“sekarang saya akan mencoba memberikan satu cara agar diantara kita tak ada yang dirugikan. Memang masalah anak kita cukup menguras pikiran kita. Tapi bagaimanapun juga semua sudah terlanjur terjadi. Kami sendiri tak menyangka kalau anak kami akan meninggal disaat seperti ini, jujur saya sendiri shock waktu tau amalia hamil, dan saya tak bisa menerima..”
ucapan mama terpotong oleh ayah amalia yang tak sabar.
“cukup.. Cukup.. Kami tak mau mendengar ibu bertele tele.. Tolong langsung saja ke masalahnya jangan berputar putar lagi.. Capek bu!”
bapak amalia tak sopan. Mama bergidik seolah jijik melihat bapak amalia. Aku juga tersinggung dengan caranya itu. Diam diam aku sms om sebastian agar datang kesini, aku juga menyuruh om sebastian untuk mengajak temannya yang polisi untuk makan siang disini. Tak lupa aku menyuruh secepatnya. Aku katakan kalau aku dan mama kebingungan menghadapi orangtua amalia.
“baik.. Saya tak akan berpanjang lebar lagi.. Terserah kalian mau diapain si amalia.. Saya tak ada urusan lagi.. Betul seperti kata bapak tadi, orangtua tak harus selalu disibukkan oleh ulah yang dibuat anaknya.. Jadi saya angkat tangan.. Anak saya telah meninggal dan tak mungkin lagi bertanggung jawab.. Saya akan kasih uang sebagai ganti perawatan anak amalia andai lahir nanti. Atau kalaupun dia mau menggugurkannya, aku bisa kasih uang sebagai biaya ke bidan…!”
ujar mama emosi, aku yakin keputusan mama itu karena ia tersinggung dengan sikap dari bapak amalia yang tak sopan itu. Ibu amalia terhenyak kaget mendengar jawaban mama. Begitupun dengan bapak amalia. Ia menatap mama seolah sedang melihat hantu. Matanya terbelalak dan selama beberapa detik ia ternganga. Aku memandang mama ingin melihat kebenaran dari apa yang mama katakan tadi, namun ekspresi mama sulit ditebak. Mulut mama mengerucut terkatup dan tatapannya dingin.
“tak bisa seenaknya begitu dong bu harlan.. Disini yang jadi korbannya itu adalah kami..”
ibu amalia tak terima.
“apa ibu pikir kami tak jadi korban, saya yang paling menderita bu, mengetahui anak saya menghamili puteri ibu, apa tak membuat saya menderita.. Mengetahui masa depan anak saya hancur gara gara puteri ibu apa saya tak kesal, mengetahui akan memiliki besan seperti suami ibu apa tak membuat saya stress..”
mama tak mau kalah.
“tapi anak ibu sekarang sudah meninggal, dan kami sekarang yang jadi korban..”
balas ibu amalia sengit.
Aduh.. Mulai lagi, aku menggeleng gelengkan kepala sedih melihat kedua orangtua yang sedang mempertahankan ego masing masing. Dalam hati aku berdoa semoga saja om sebastian segera datang. Tiba tiba hp ku berbunyi. Aku lihat nama om alvin terpampang di layar. Aku menatap mama, aku bingung apa harus diangkat atau diabaikan. Semua terdiam mendengar hp ku berbunyi. Serempak menoleh kepadaku.
“dari siapa rio!”
tanya mama.

+++

Aku bingung harus menjawab apa, beda sekali rasanya sebelum aku tahu kenyataan tentang om alvin, akhirnya aku menjawab sembarangan.
“dari teman kampus ma..”
jawabku sambil mematikan hp, aku tak mau bicara dengan om alvin, aku kecewa. Seenaknya ia mempermainkan aku, ia menutupi rahasia yang aku berhak tau, ia tak pernah mengatakan dengan jujur tentang siapa dirinya, selama ini kedekatan kami karena dia tau aku anaknya. Aku tak akan mau lagi bertemu dengannya. Bagiku sekarang yang paling penting adalah aku sudah tau dimana dan siapa ayah kandungku.
“kenapa tak dijawab nak?”
tanya mama heran.
“nggak penting ma, paling juga cuma mau nanya aku lagi dimana..”
aku memaksakan diri untuk senyum. Mama mengangguk penuh pengertian.
“oke bu harlan, jadi bagaimana.. Masa sih anak saya harus terkatung katung tanpa ada kejelasan bagaimana nasibnya..”
tuntut ibu amalia tak sabar.
“memangnya apa yang bisa kalian harapkan dari saya? Apa kalian ingin saya menggali kuburan anak saya, lalu tetap melangsungkan pernikahan amalia dengan jenazah anak saya?”
mama menggelengkan kepala seolah menghadapi dua anak kecil yang memaksa minta dibelikan es krim.
“tentu saja bukan begitu maksud saya bu harlan, sedikitpun tak ada niat memaksa..”
ibu amalia berhenti, lalu menatap aku sebentar…
“misalkan ada pengganti sementara hingga bayi amalia lahir, agar tak jadi anak haram..”
ia melanjutkan.
Aku langsung merasa perutku tak enak, sepertinya aku sedikit bisa menangkap yang ia maksudkan, pengganti kak faisal? Tidak… Tidak… Tak akan pernah aku mau, ini usul gila, sampai kapanpun aku tak akan setuju.
Mama menatap ibu amalia tajam, alis mama berkerut heran, mama seolah kurang memahami apa yang ibunya amalia maksudkan.
“dalam keadaan darurat seperti ini, semuanya bisa dijadikan alternatif asalkan tak merugikan kedua belah pihak.”
dengan tenang ibu amalia mengatakannya seolah sedang mengomentari film yang membosankan.
Sontak Aku langsung berdiri, tanpa mengatakan apa apa lagi aku meninggalkan mereka. Mama bengong melihatku. Bertepatan aku mau keluar, om sebastian datang.
“mau kemana rio, kok buru buru amat?”
om sebastian menarik tanganku hingga langkahku terhenti. Om sebastian tak sendiri, ada dua orang temannya yang juga polisi sedang berdiri disampingnya. Yang satu bertubuh tegap dengan kulit cokelat terbakar, hidung mancung besar seperti peranakan flores, memakai baret biru tua. Ia tersenyum ramah padaku menunjukkan giginya yang berbaris putih kontras dengan bibirnya yang sedikit gelap dikelilingi bekas cukuran berwarna agak kehijauan. Ada gingsul di sudut lengkung bibirnya sebelah kanan tepat di gigi atas. Yang satunya lagi berkulit seperti buah kesemek, alisnya tebal mengingatkan aku dengan wajah tony sandstorm aktor thailand. Garis dagu dan rahangnya runcing, bibirnya sedikit tebal dibagian bawah, begitu seksi. Dari usia keduanya aku perkirakan paling tidak lebih muda sekitar 2 hingga 3 tahun dari om sebastian.
“mau kemana dik..?”
tanya yang berkulit gelap dengan senyum simpatik.
Aku menjadi gagu bingung harus menjawab apa, tak mungkin aku mengatakan kalau lagi menghindari mama dan tamunya.
“nggak kemana mana, silahkan masuk,.. Tadinya aku mau ke depan cari angin..”
jawabku sekedarnya.
“wah dirumah sebesar ini masih cari angin di luar, apa nggak ada ac?”
goda yang berkulit kuning kesemek.
Aku cuma nyengir,
“ada sih, cuma kalau di dalam nggak bisa cuci mata.. Oh ya silahkan masuk..”
aku mempersilahkan mereka masuk, lalu aku membawa mereka duduk diruang tamu dimana mama dan orangtua amalia sedang berunding, atau lebih tepatnya bertengkar mulut.
Saat melihat aku kembali masuk ke ruang tamu bersama tiga orang polisi, ayah amalia terkesiap kaget. Ia mengerling pada isterinya takut takut.
Mama tersenyum kepada om sebastian dan kedua temannya.
“silahkan duduk bas, ajak kedua temannya juga.
Om sebastian langsung duduk di sofa panjang, sementara kedua teman om sebastian menyalami mama dan kedua orangtua amalia.
“kenapa kak, katanya kakak lagi kebingungan ya,..?”
tanya om sebastian pada mama.
“iya bas, kakak betul betul bingung, ini keluarga amalia menuntut pertanggung jawaban dari kita… Mana bang harlan tak disini, kakak betul betul bingung bagaimana menghadapinya..”
tukas mama tanpa membuang waktu, om sebastian menyimak segala yang dikatakan mama penuh konsentrasi, ia mengangguk angguk, seolah berfikir keras matanya menyipit.
“kalau masalah seperti ini betul betul rumit, tak ada penyelesaian yang bisa adil bagi kedua belah pihak..”
om sebastian bergumam. Kedua temannya mengangguk. Aku berdiri ke dapur untuk menyuruh bik tin membuatkan minuman kepada tamu. Setelah itu aku kembali bergabung.
“makanya seorang perempuan itu dituntut untuk bisa menjaga kehormatannya, karena kalau terjadi apa apa mereka tak bisa berkeras..”
om sebastian menambahkan. Ibu amalia mendengarkan namun matanya agak terbelalak.
“sekarang coba pikir sendiri, bagaimana keluarga kami bisa menyelesaikannya?”
om sebastian bertanya kepada kedua orangtua amalia. Ditanya demikian keduanya terdiam. Sehingga beberapa saat tak ada juga jawaban dari keduanya om sebastian melanjutkan lagi.
“jalan satu satunya untuk menghindari malu yaitu kalian harus mencari seorang pria yang mau menggantikan almarhum faisal untuk menikahi amalia..”
tandas om sebastian. Mendengar hal itu wajah ibu amalia sedikit berbinar.
“betul, itulah yang tadi aku usulkan, namun mereka menolak..”
ujar ibu amalia bersemangat. Om sebastian memandang ibu amalia ingin tau.
“maksud ibu..?”
tanya om sebastian bingung.
“rio kan saudaranya faisal, masih ada hubungan keluarga dan saya rasa dia adalah lelaki yang tepat untuk menggantikannya.. Untuk menikahi amalia, agar masalah ini bisa terselesaikan dengan cepat..”
cerocos ibu amalia seenaknya. Om sebastian hampir terlonjak dari kursi mendengarnya.
“apaaaaa… Tak bisa begitu dong.. Rio masih muda, dia juga masih kuliah..”
hardik om sebastian kasar. Ibu dan bapak amalia mengkerut melihat om sebastian.
“itu juga yang sudah saya bilang tadi, sampai mati pun saya tak akan mengizinkan rio dan amalia menikah, cukup faisal yang sudah dirusak oleh anak perempuan ibu.. Jangan lagi kalian meminta anakku yang satu lagi..”
mama berapi api. Diam diam aku berterimakasih pada mama. Ingin rasanya aku melompat dan mencium pipi mama sepuas puasnya.
“kakakku benar, kami tak akan pernah mengijinkan rio kalian suruh menggantikan posisi faisal, dalam hal ini rio tak punya kewajiban untuk menikahi amalia..”
om sebastian berang, rahangnya bergemeretak kesal melihat kepada orangtua amalia.
Bik tin menghampiri kami takut takut sambil membawa beberapa cangkir kopi. Kami semua diam memandangi bik tin yang menyusun cangkir di atas meja dihadapan masing masing kami. Setelah selesai bik tin mengangguk sopan memberikan isyarat kepada tamu untuk meminumnya. Lalu ia mundur hendak kembali ke belakang.
Kedua teman om sebastian membalas anggukan sopan pada bik tin.
“makasih bu..”
ujar keduanya nyaris tersipu. Bik tin tersenyum lalu meninggalkan kami.
“sudah aku bilang gugurkan saja…”
bapaknya amalia memecah kebisuan.
Om sebastian mendelik, demikian juga kedua temannya itu.
“apa maksud bapak, membunuh janin yang ada dalam rahim amalia secara ilegal, itu termasuk kejahatan.. Kalian bisa dipenjara..”
om sebastian dengan tegas menolak. Mendengar penjelasan om sebastian tadi, wajah ibu amalia jadi pucat.
“saya juga tak mengusulkan itu, saya tak tega.. Makanya saya mengajak berunding agar kita bisa mendapatkan cara terbaik untuk menyelesaikan ini..”
terbata bata ibu amalia membantah.
Om sebastian mengangguk angguk bagai burung beo padahal aku tau dalam otaknya sekarang sedang berpikir keras.
Kembali hening semua berpikir, termasuk kedua teman om sebastian.
“silahkan di minum..”
aku menawari semuanya.
.
“assalamualaikum semuaaaaaa….”
terdengar suara dari pintu, aku melirik ke pintu ingin tau siapa yang datang.
Wajah mama langsung pucat, mama berdiri.
“kamuu…..”
gumam mama nyaris tak percaya. demikian juga kedua orangtua amalia. Reaksinya walaupun tak seperti mama namun aku tau kalau mereka juga kaget. Aku juga ternganga hampir tak dapat bicara karena nyaris tak percaya melihatnya.
“kok pada diam… Emangnya kalian pikir aku hantu?”
ujarnya sambil masuk dalam rumah tanpa disuruh.

0 komentar:

Posting Komentar