Kamis, 03 Maret 2011

“ngomong aja die, nggak usah ragu, apapun yang kamu mau katakan aku nggak masalah, kita nggak perlu ragu…”
aku meyakinkan odie.
Walaupun masih ragu, akhirnya odie bicara juga..
“aku menyukai kak faisal yo…”
pelan sekali kata katanya itu hingga aku nyaris tak mendengar.
“apa die aku kurang jelas!”
“aku menyukai kak faisal…”
ulang odie sedikit lebih keras. Sepertinya ia berat sekali untuk mengatakan hal itu. Aku tertegun sejenak tak menyangka kalau itu yang akan odie katakan, ternyata ia menyukai kak faisal. Astaga. Padahal baru saja kak faisal mengutarakan kekuatirannya mengenai odie. Apa yang kak faisal takutkan ternyata memang betul. Odie rupanya memang menyukai kak faisal, tapi kenapa kak faisal justru merasa kalau odie menyukaiku. Kepalaku mendadak pusing. Ternyata aku dan odie menyukai orang yang sama. Dan itu adalah kak faisal. Aku hampiri odie perlahan. Aku jadi kasihan sama odie, kalau memang dia mencintai kak faisal itu artinya odie menyiksa diri sendiri karena kak faisal normal dan tak akan pernah bisa membalas perasaan odie.
Aku duduk disamping odie sambil menepuk bahunya pelan.
“kamu tak berubah kan pandangan tentang aku, apa kamu jijik setelah tau aku adalah penyuka sejenis?”
tanya odie sambil menunduk.
“nggak die, santai aja.. Aku mengerti kok.. Ya sudahlah. Kamu istirahat saja dulu, aku janji tak akan katakan sama siapapun, cuma aku dan kamu yang tau.”
aku berdiri meninggalkan odie.
Ia masih memanggilku lagi tapi aku pura pura tak mendengar.
Ternyata odie menyukai kak faisal, dan dulu ia sempat meraba penis kak faisal mungkin karena ia sudah tak tahan lagi untuk menyembunyikan perasaannya itu. Kalau memang begitu adanya mau apa lagi. Aku tak bisa berbuat apa apa. Aku tak mau terburu buru menceritakan tentang keadaanku pada odie, biarlah aku menutupi dulu keadaanku. Lagipula odie suka sama kak faisal. Yang jadi pertanyaan dalam benakku sekarang sejak kapan odie menjadi gay, apakah odie pernah diperlakukan sama denganku oleh om sebastian? Aku jadi bertanya tanya.

++++

setelah pengakuan odie itu, dia sedikit lebih pendiam, tadi malam ia tidur cepat sekali, jam 8 malam udah lelap, aku masih sama kak faisal main catur di kamar kak faisal. Aku tak mengatakan apa apa sama kak faisal mengenai apa yang odie ceritakan tadi sore. Sekitar jam sebelas aku ngantuk, kak faisal masih mengajak main catur tapi mataku sudah benar benar tak mampu lagi bertahan.
Hari ini odie mau balik ke baturaja, rencananya sih om sebastian yang akan mengantarkan odie. Soalnya sejak jam sembilan om sebastian datang ke rumah, walaupun om sebastian tak lagi tinggal disini, namun kamarnya masih tetap di penuhi barang barangnya. Kata mama biarlah jangan di pindah siapa tau om sebastian mau tinggal dirumah ini lagi.
Kak faisal menjemput amalia, rencananya hari ini amalia mau menolong mama memasak untuk arisan nanti sore. Odie sedang berkemas kemas. Karena tak membawa baju, ia cuma membungkus makanan yang mama belikan untuk oleh oleh. Bajunya tempo hari dia datang ia pakai lagi.
Aku membantu odie mengikat kotak kotak berisi oleh oleh. Odie masih saja terlihat agak pendiam tak seperti biasanya. Saat kak faisal datang bersama amalia aku amati odie, ia terlihat sedikit murung, aku baru menyadari hal itu sekarang.
Kak faisal mengajak amalia langsung ke dapur, amalia berjalan dengan ragu, sepertinya ia agak canggung. Mungkin ia belum pernah melihat dapur dirumah ini sebelumnya. Walaupun dapur tapi begitu lengkap. Aku ingat waktu pertama aku masuk ke rumah ini, reaksiku nyaris mirip dengan amalia sekarang. Tinggal dirumah yang begitu bersahaja selama belasan tahun, kemudian masuk ke rumah yang lebih mirip istana tentu saja membuat aku merasa bagaikan berada antara dua dunia. Tapi itu sudah berlalu.
Aku meninggalkan odie, ia duduk di depan televisi sibuk menonton. Aku hampir tertawa sendiri bila ingat kemarin aku nyaris mengira bahwa odie akan mengatakan kalau ia menyukaiku. Rupanya aku kegeeran. Gara gara kak faisal sih! Sekarang ia malah enak enakan sama amalia. Aku justru lebih beruntung ketimbang odie, tiap hari aku bisa melihat kak faisal, bahkan tidur bersama kak faisal setiap hari kalau aku mau, aku pernah diajak onani sama sama, diajak kerumah teman temannya. Kak faisal sering memelukku dan kalau tidur pun terkadang kak faisal mencium pipiku. Tapi odie, kak faisal tak mau terlalu dekat dengannya. Apa karena cara pendekatan odie yang terlalu memaksa. Hingga membuat kak faisal jadi jijik. Sebetulnya kasihan juga sih sama odie.
Walaupun bagaimana ia baik terhadapku. Jadi aku tak akan pernah berubah terhadapnya. Kalau ia naksir sama kak faisal itu wajar, siapa sih yang tak tertarik bila melihat kak faisal yang tinggi, tampan, hidung mancung, alis tebal, serta berkulit bersih. Belum lagi badannya yang atletis. Di sekolah begitu banyak yang menyukai kak faisal. Aku adiknya sendiri pun nyaris tak bisa menahan perasaan terhadapnya. Apalagi orang asing.
“lagi mikirin apa yo?”
aku tersentak, om sebastian sudah berdiri di sampingku dekat lorong antara ruang keluarga dengan kamarku.
“nggak om.. Nggak apa apa.!”
jawabku ketus, berusaha menghindari om sebastian.
“om mau bicara sama kamu!”
“nggak perlu!”
aku keras hati, om sebastian menarik nafas panjang karena kesal.
Tanpa aku sangka sangka ia menarik tanganku. Kemudian menggendongku sambil tangannya membekap mulutku. Aku meronta ronta, namun tak ia indahkan. Dengan cepat ia membawaku ke kamarnya. Menghempaskan aku diatas kasur kemudian ia mengunci pintu. Om sebastian memasang musik keras keras, lagu sweet child o’mine. Sehingga suaraku yang keras memprotes om sebastian agar cepat membuka pintu tak ia indahkan. Om sebastian tergesa gesa membuka bajunya. Hingga tinggal memakai celana dalam warna putih yang berbentuk sangat minim. Aku tercekat ketakutan. Om sebastian mau mengulangi lagi perbuatannya itu. Wajah om sebastian memerah seolah ia tak perduli. Aku mencoba menendang nendangnya namun om sebastian dengan sigap menangkap kakiku. Mengikatnya dengan ikat pinggang, menyimpulnya kuat kuat hingga kakiku terasa nyeri. Om sebastian menindih tubuhku dengan kasar. Bagian keras di bawah perutnya terasa menekan pahaku. Om sebastian memagut bibirku dengan liar. Aku merasa agak geli, bibir om sebastian terasa agak manis aroma tembakau dan mint. Kumis dan jenggotnya yang baru mulai tumbuh kecil kecil terasa gatal dipipiku. Aku sadar tak ada gunanya meronta dan melawan. Om sebastian sangat kuat. Aku hanya bisa pasrah. Om sebastian melucuti baju yang aku pakai hingga polos. Karena melihat aku sudah tak melawan dan meronta. Om sebastian menjadi lebih santai.
“maafkan om rio, om mencintaimu.. Kalau kamu begini kan lebih enak..!”
bisik om sebastian.
Aku diam saja. Membiarkan saja om sebastian melakukan apa yang ia ingin lakukan, aku memejamkan mata, saat om sebastian mencium sekujur dadaku hingga ke pusar. Dan saat bagian paling rahasia dari tubuhku ini terasa hangat aku nyaris mendesah. Om sebastian memainkan penisku dengan mulutnya. Aku memejamkan mata kuat kuat.

“jangan takut rio, om akan lebih lembut kali ini, om akan bikin rio merasakan enaknya melakukan ini..”
desah om sebastian sambil terus menelusuri tubuhku. Ia masih terus memain mainkan penisku dengan lembut seolah itu benda berharga yang sangat ia sayangi. Entah kenapa aku merasa mulai menikmatinya. Sekujur tubuhku menjadi hangat ada suatu perasaan yang ganjil namun nikmat. Hingga aku pun mulai memberikan reaksi untuk membalas. Om sebastian sepertinya mengerti. Kemudian ia berdiri, menurunkan celana dalamnya hingga tubuhnya yang kekar menjadi polos tanpa ada penutup apapun lagi.
Om sebastian baring disampingku, penisnya teracung keatas.
“om kalau ada yang tau gimana?”
tanyaku kuatir. Om sebastian menggeleng.
“jangan takut rio, mereka tak akan menyangka kamu ada disini.. Paling kalau ada yang ketuk pintu, nggak usah dijawab. Mereka kira om lagi mandi.”
balas om sebastian menenangkan aku.
Om sebastian mencium pipiku lembut, kemudian menjalar ke bibirku. Lalu turun ke dadaku. Om sebastian bergantian menghisap kedua putingku. Hingga membuat tubuhku kelonjotan, karena geli bercampur nikmat.
“pegang rio..”
om sebastian mengulurkan penisnya lebih dekat ke wajahku.
Aku diam, menoleh ke lain, namun om sebastian langsung menahan pipiku dengan tangan kirinya lalu mendorong hingga aku menoleh lagi.
“pegang rio, nggak apa apa kok.. Kamu jijik ya?”
tanya om sebastian. Aku menggeleng. Namun aku pegang juga walau sedikit ragu. Astaga panas sekali, tak sama seperti memegang punya sendiri. Benda itu begitu keras dan berdenyut denyut, urat uratnya bertonjolan seolah membentuk alur anak sungai bila dilihat dari peta kadaster. Pelan pelan aku mengocoknya sebatas yang aku tau. Om sebastian langsung melenguh seperti sapi kena potong. Itu membuat aku semakin semangat.
Aku seolah dirasuki setan, tak perduli lagi dengan apapun. Kenikmatan yang aku rasakan ini seperti tak pernah bisa terpuaskan. Bagai anak sungai yang terus mengalir tanpa muara. Mengikuti apa yang om sebastian arahkan. Mulai merasa lebih nyaman. Biarlah yang terjadi terjadilah. Aku sudah pasrah kalau memang harus begini jalan hidupku.

+++

aku merapikan baju, setelah mencuci tubuh di kamar mandi om sebastian. Setelah itu aku duduk diatas tempat tidur sambil menatap lantai. Om sebastian masuk kamar mandi. Terdengar guyuran air dari kamar mandi yang terbuka. Setelah itu om sebastian keluar dari kamar mandi dengan tubuh penuh titik air, rambutnya basah, om sebastian mandi. Ia meraih handuk dan mengeringkan badannya kemudian om sebastian memakai kembali semua bajunya.
“makasih rio, kamu membuat om sangat bahagia hari ini… Berjanjilah sama om kamu nggak akan pernah melakukan ini dengan siapapun selain dengan om..”
om sebastian mengecup bibirku. Aku diam saja tak menjawab. Ada rasa penyesalan setelah aku melakukan ini, tapi nasi sudah menjadi bubur. Aku telah melakukan itu, dan kenyataan itu tak bisa dirubah lagi.
“om ingin kamu menjadi milik om seutuhnya.. Om bersumpah.. Om sangat menyayangi kamu..”
lanjut om sebastian.
“iya om..”
jawabku singkat.
“kenapa kamu murung? Kamu menyesal sudah melakukannya?”
tanya om sebastian,
aku menggeleng.
“maafkan kalau om membuat kamu tak nyaman, tapi nantinya kamu juga akan terbiasa, om harap kamu bisa menyayangi om sebesar yang om rasakan terhadapmu.”
om sebastian berdiri kemudian membuka pintu.
“ingat yo, jangan sampai siapapun tau tentang masalah ini.
…”
om sebastian memperingatkan aku.
Aku mengangguk dan turun dari tempat tidur lalu keluar dari kamar om sebastian.
“disini rupanya.. Dari tadi aku cari cari..!”
seru odie saat melihatku keluar dari kamar om sebastian.
“kenapa nyari aku die?”
tanyaku dengan jantung sedikit berdebar, apakah odie curiga..
“nggak… Tadi mama kamu nanyain kamu dimana, aku cari dikamar nggak ada, nggak taunya ada disini..”
jelas odie.
“temani aku ke toko yuk, mama kamu nyuruh aku ke warung beli kelapa parut..”
“kamu aja ya die, aku mau mandi dulu, gerah..”
aku menolak.
“ya udah kalau gitu, aku ke warung dulu ya…”
ujar odie berlalu meninggalkan ku.
Aku ke kamarku dan mandi, aku mandi dua kali lebih lama dari biasanya. Aku menggosok gigi dua kali lebih lama dari biasanya.
Setelah berpakaian aku ke dapur melihat mama masak.
“kecapnya di tuang sedikit sedikit biar rasanya lebih meresap..!”
terdengar suara mama. Rupanya ia bersama amalia sedang menumis sayuran.
“iya tante..”
“awas jangan sampai hangus, diaduk terus…”
“iya tante..”
sikap amalia masih kentara sekali canggung. Ia mengaduk tumisan diatas kompor gas, sementara mama mengeluarkan kue dari dalam oven. Tercium aroma harum kue jahe dan kayumanis.
Perutku tiba tiba menjadi lapar.
“darimana aja sayang?”
tanya mama begitu melihat aku.
“dari kamar om sebastian ma, ngobrol sama om, soalnya lama nggak ngobrol sama dia.”
jawabku menutupi kejadian sebenarnya.
“heran mama sama om mu itu, buat apa sih pindah dari sini, mau maunya tinggal di barak, sudah enak enak disini..”
gerutu mama, sementara tangannya sibuk bekerja memindahkan kue dari dalam loyang ke wadah kaca.

“ngaduknya jangan terlalu kuat mel, nanti sayurnya hancur, itu jangan terlalu mateng, vitaminnya nggak ada lagi..”
mama mengambil spatula dari tangan amalia, kemudian mengecilkan api. Amalia terdiam. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuan mama. Sepertinya mama mengajak amalia kesini bukan untuk minta tolong, tapi hanyalah untuk mencela kerja amalia.
“kata faisal kamu jago masak, tapi ini kok disuruh tumis sayur aja sampe layu gini..!”
ujar mama dengan tak sabar menuang tumisan itu dalam tong sampah.
“sayuran seperti ini disajikan untuk ibu ibu arisan, bisa bisa tante jadi bahan gunjingan selama berminggu minggu..”
gerutu mama kesal.
Amalia diam, wajahnya kusut, ia seperti menahan tangis. pasti ia tersinggung melihat mama membuang tumisan sayur tadi.
“maaf tante.. Saya tak.. Bermaksud..”
“sudahlah, nggak usah banyak ngomong, tolong kamu potong lagi sayuran seperti tadi, ambil wortel, labu air, lobak dan kol dalam kulkas. Potongnya jangan terlalu besar besar!”
perintah mama tak terbantah.
“baik tante”
jawab amalia kemudian buru buru membuka kulkas mengambil sayuran yang tadi mama suruh ambil.
“tante, ini kelapanya..!”
odie masuk ke dapur menaruh kelapa parut diatas meja batu.
“makasih sayang.. Kamu mau pulang jam berapa?”
tanya mama sambil membuka daging kaleng.
“kata om sebastian jam 3 tante, kalau sudah agak teduh..”
jawab odie.
“kalau begitu tolongin tante kamu blender bumbu ini..”
mama memberikan wadah beling berisi bermacam bumbu yang sudah di kupas.
“siap tante..”
jawab odie dengan mimik lucu. Mengambil bumbu itu kemudian menuang ke dalam gelas blender.
“ya ampun..! Amalia.. Kamu itu perempuan bisa kerja nggak sih, motongnya itu searah jangan miring kayak gini.. Aduh.. Ini anak, lama lama tante yang bisa miring gara gara kamu!”
keluh mama sambil mengambil pisau dari tangan amalia.
“perhatiin tante ya, gini cara motongnya…padahal tadi udah di ajari.. Emang faisal itu kalo promosi nggak sesuai dengan kualitas!”
sindir mama tanpa perasaan.
Amalia mengambil pisau satu lagi, kemudian mengikuti arahan mama. Tangannya terlihat sangat gemetaran.
Aku betul betul kasihan sekali sama dia, kemana sih kak faisal, coba ada kak faisal disini, mama tak akan bersikap begitu.

“ma rio bisa bantu apa?”
tanyaku menghampiri mama.
“sayang.. Nggak usah ngapa ngapain biar mama sama amalia aja yang ngerjain, tinggal beberapa masakan lagi juga beres..”
jawab mama sambil meletakkan pisau.
“ngirisnya yang cepet ya, kalo gitu caranya bisa bisa jam tujuh malam baru selesai..!”
“iya tante..”
jawab amalia.
Aku jadi nggak enak sama amalia, pasti ia merasa tak nyaman dengan sikap mama. Tapi amalia tetap berusaha untuk membantu walaupun tak ada satupun pekerjaan yang benar dimata mama.
“sini mel, biar aku bantu..”
ujarku sambil mengambil pisau yang tadi mama pakai. Kemudian membantu amalia mengiris sayur.
“nggak usah yo, biar aku aja yang ngerjain..”
tolak amalia.
“nggak apa apa..”
aku tak menghiraukan amalia. Aku juga bisa kalau cuma motong sayuran kayak gini.
Terdengar bunyi desingan mixer. Mama sedang mengadon kue.
“kak faisal mana mel?”
“disuruh mamamu mengambil pesanan kue bolu di toko kue..”
jawab amalia sambil tangannya terus bekerja.
“udah lama perginya?”
“paling baru setengah jam, bisa yo?”
amalia memperhatikan aku.
“bisa dong mel, dulu waktu di kampung, aku sering bantu emak ngiris sayuran juga..”
jawabku sambil tertawa. Amalia ikut tersenyum. Akhirnya selesai juga aku dan amalia mengiris kuenya.
“udang kupasnya masih ada tante?”
tanya amalia kepada mama yang sedang memasukkan mentega ke dalam adonan telur yang sudah berbusa.
“cari aja di kulkas.. Jangan bertanya terus, pake inisiatif, gimana sih kamu ini…”
lagi lagi mama membuat amalia terdiam. Namun dengan sabar amalia pergi juga membuka kulkas untuk mencari udang kupas sebagai campuran tumisan.
“mel, bumbunya yang ini ya?”
aku bertanya sambil memegang mangkuk beling berisi bumbu halus yang baru odie blender tadi.
“iya yo.. Tolong kamu nyalain apinya dan panasin kuali.. Aku mau mengiris bakso ikan ini..”
amalia meminta tolong.
“sip lah..!”
aku mengacungkan jempol sambil mengedipkan mata sama amalia.
“ma, kualinya yang gede ini ya?”
tanyaku sama mama.
“loh kok bisa kamu yang ngerjainnya.. Amalia nggak bisa ya?”
cibir mama.
“sudahlah ma, tak apa apa, kasihan amalia juga bisa capek ma, dari tadi mama marahi terus!”
aku menggeleng gelengkan kepala.
“loh siapa bilang mama marah sama dia, mama itu cuma mengajari dia saja biar kerja itu lebih cekatan.. Udah kayak tuan puteri saja, kerja lamban kayak nggak pernah masuk dapur..”
sindir mama.
Aku tau amalia mendengar, tapi ia tak mengatakan apa apa. Aku mengecilkan api kompor, kemudian menuang minyak sayur.
“ma ini udah belum?”
tanyaku.
“tambah sedikit lagi sayang.. Iya begitu.. Pinter anak mama..”
puji mama. Membuat hidungku jadi kembang kempis.
Baru saja aku mau meletakkan botol minyak sayur, tiba tiba.
PRAAAAANG..!!!
Terdengar suara benda pecah.
Aku berbalik dengan kaget. Begitu juga mama.
Amalia berdiri dengan tangan memegang mulutnya. Sementara di lantai dekat kakinya mangkuk beling tahan api ukuran besar berisi pasta spaghetti. Berhamburan tak berbentuk lagi. Wajah amalia pucat pasi.

“apa apaan ini?”
pekik mama melengking mendirikan bulu roma.
Aku menepuk kening prihatin. Amalia terdiam tak mampu berkata kata, reaksi mama sudah bisa di tebak, kaya kebakaran kutang.
“ya ampun amalia.. Mata kamu di taruh di kaki ya? Minta ampun…. Mana wajan kesayangan tante lagi yang kamu pecahin.. Aduh amalia.. Amalia… Kamu pikir itu belinya pake daun apa?”
jerit mama histeris seolah olah cincin berliannya yang di rusak oleh amalia.
“ma…maaf tante.. Saya tidak sengaja.. Saya minta.. Maaf..”
suara amalia bergetar ketakutan.
“makanya kalo kerja itu konsentrasi jangan cuma mikirin faisal aja, aduh.. Bisa gila tante kalo gini..”
hardik mama tanpa perasaan.
“sudahlah ma, amalia kan udah minta maaf, lagian dia juga nggak sengaja..!”
aku menenangkan mama. Kemudian aku berjongkok membersihkan pecahan pecahan beling. Amalia ikut berjongkok membantuku. Ia betul betul ketakutan.
“itu tante arisan, nggak ada di jual per satuan. Harus satu set, sekarang udah nggak lengkap lagi gara gara kamu terlalu ceroboh!”
tuding mama.
Amalia terkejut hingga tangannya terkena pecahan kaca dan berdarah.
“ya ampun mel, hati hati..!”
aku menjadi panik melihat banyaknya darah yang mengalir dari jari amalia.
“ada apa ma? Kenapa ribut ribut…?”
tanya kak faisal yang baru datang. Ia meletakkan tumpukan kotak berisi kue pesanan mama diatas kulkas lalu buru buru menghampiri kami.
“tuh liat sendiri kelakuan pacar kamu itu, emang nggak bisa di andalkan..!”
sungut mama sebal.
“astaga mel, tangan kamu kenapa?”
kak faisal mengangkat amalia agar berdiri. Air mata amalia berderai deras menyertai tetesan darah dari jari jarinya.
“odie jangan bengong aja! Cepat ambil obat sama plester di kotak obat.. Ayo buruan!”
bentak kak faisal karena panik.
“iya kak..”
odie yang sedari tadi bengong melihat kejadian ini langsung bergegas meninggalkan dapur untuk mengambil obat.
“aduh mel, kenapa bisa begini sih.. Kamu nggak hati hati ya?”
tanya kak faisal penuh perhatian, suaranya agak cemas.
“nggak apa apa sal, cuma luka sedikit kok..”
“sedikit kamu bilang… Udahlah nggak usah lagi bantu mama… Kamu pasti capek ya..”
ujar kak faisal sambil memperhatikan jari amalia yang masih mengeluarkan darah.
“nggak kok fai, aku udah biasa.. Tadi itu wajannya licin, jadi tergelincir waktu aku pegang..”
suara amalia tersendat seperti kena pilek.
“ya udah kamu nggak usah pikirin wajan yang pecah itu, yang penting sekarang kita mengobati luka kamu dulu,.. Aduh odie ini kemana sih, kok ngambil itu aja lama amat..!”
gerutu kak faisal.
Baru saja kak faisal ngomong gitu, odie datang.
“ini kak..”
ia memberikan sebotol obat antiseptik beserta segulung perban dan plester.
“makasih die, guntingnya mana?”
tanya kak faisal.
Tiba tiba aku mencium aroma yang agak aneh, mirip seperti masakan yang gosong.
“astaga ma, kue mama hangus!”
teriakku.
“ya ampun… Apa lagi ini.!”
pekik mama heboh kemudian dengan cepat membuka oven.
“bukannya membantu malah bikin susah!”
gerutu mama dengan suara keras.

kak faisal mengajak amalia pergi dari dapur, akhirnya aku dan odie yang membantu mama, semua lauk telah dimasak, tinggal menghias kue.
Mama mencampur adonan mentega putih dengan gula halus serta pasta warna warni.
Mengolesi kue bolu dengan lapisan krem, namun hasilnya sungguh menyedihkan. berkali kali mama merapikan olesannya tapi sepertinya krem itu bagai menguji kesabaran mama.
“mama belum pernah ya menghias kue?”
tanyaku ingin tau.
“belum, biasanya kalau ada acara bik tin yang membuat kue, kayaknya kalau liat dia, bikinnya gampang banget, coba kamu tolong mama ambil pasta pandan..”
mama meminta tolong.
“yang ini ya ma?”
aku meraih botol kecil berwarna hijau.
“iya sayang, makasih ya..”
mama mencampur lagi adonan krem dengan pasta pandan.
“aduh kalau begini, nggak bakalan beres sampai jam empat nanti..”
mama mengeluh. Tiba tiba aku ingat, waktu acara ulang tahun amalia tempo hari, aku pernah melihat kue ulang tahun yang ia hias, bagus sekali tak kalah dengan yang dijual di toko kue terkenal.
“tunggu sebentar ma…”
aku berlari.
“mau kemana?”
teriak mama.
Aku mencari amalia dan kak faisal, mereka tak ada diruang tengah, di ruang keluarga maupun diruang tamu. Aku keluar mencari mereka di teras, untunglah ada, mereka sedang ngobrol di pinggir kolam. Jari amalia sudah di obati dan di plester.
“mel, masih sakit nggak tangannya?”
tanyaku.
“nggak begitu.. Kenapa yo?”
amalia menatapku heran.
“bisa bantu dekorasi kue nggak?”
“nanti mama kamu marah?”
amalia terlihat ragu.
“nggak mel, mama lagi kesulitan sekarang. Dari tadi kami nggak bisa, udah hampir satu jam belum beres juga.”
aku mengeluh.
Amalia memandang kak faisal meminta persetujuan.
“oke kita ke dapur sekarang, agar aku temani.”
kak faisal berdiri lalu memegang tangan amalia mengajaknya ke dapur. Aku melirik tangan kak faisal. Ada rasa tak menentu dalam dadaku. Tapi aku berusaha mengabaikan.
Kami tiba di dapur, mama yang nampak stress, tangannya berlepotan krim dimana mana, di depannya teronggok kue bolu yang menyedihkan, seolah dihias oleh anak balita. Aku setengah mati menahan tawa. Amalia sampai menutup mulutnya. Kemudian kami menghampiri mama.
“itu apa ma, Kue basi ya?”
tanya kak faisal heran. Mama mendelik mendengar ucapan kak faisal, dasar kak faisal asal bicara saja, nggak tau usaha dan kerja keras mama mendekorasi kue itu.
“kue basi gundulmu ini kue untuk teman teman mama,!”
jawab mama sewot.
“astaga ma, siapa mau makan kue hancur kayak gitu..!”
kak faisal bergidik tak percaya. Seolah mama baru saja melemparkan lelucon padanya.
“AWWWW…”
Jerit kak faisal kaget karena mama menggetok kepalanya dengan siku jari.
“dasar anak tak bisa menghargai jerih payah orangtua.”
sungut mama kesal. Kak faisal mengusap usap kepalanya.
“idih mama..”
ujar kak faisal sebal. Aku tertawa terbahak bahak.
“sini biar saya bantu tante..”
amalia menawarkan diri karena kasihan melihat mama yang sudah hampir stress.
“sudahlah nanti malah tambah berantakan..!”
larang mama.
“aku udah biasa tante, kalau boleh biar aku bantu..”
amalia tak perduli dengan cibiran mama.
“betul kamu bisa?”
mama sedikit ragu. Amalia mengangguk dan tersenyum, lalu berdiri disamping mama, ia menyingkirkan adonan pasta bikinan mama, kemudian mengolah adonan baru, tangannya gesit seolah sudah terbiasa melakukan itu. Mama diam saja memperhatikan amalia.
Kak faisal tersenyum lebar melihat amalia membentuk kelopak mawar merah muda, begitu rapi dan cepat. Adonan warna putih ia olesi ke seluruh permukaan kue, lalu ia ratakan dengan pisau bergerigi, hingga membentuk alur gelombang, kemudian ia menyemprot dengan pelan adonan itu di semua sisi kue hingga membentuk renda yang mirip sekali dengan renda pada gaun pengantin. Setelah itu ia membentuk daun dengan cetakan yang agak pipih. Semua itu ia kerjakan tanpa ragu. Tak sampai setengah jam satu loyang kue bolu sudah ia sulap menjadi kue yang betul betul indah, begitu rapi. Mama terbelalak tak percaya melihat hasilnya. Amalia mengangkat kue itu dan menunjukkan sama mama.
“ada yang kurang tante, apa lagi yang harus di tambah?”
tanya amalia.
Mama seperti sulit sekali menjawab. Ia memperhatikan kue itu dan kurasa mama tak ada celah sedikitpun untuk mengkritik kue itu.
“hmmm.. Sudah.. Lumayan bagus..”
jawab mama angkuh susah payah menyembunyikan rasa terkesan melihat kue itu.
Aku menahan tawa melihat mama. Sementara kak faisal menatap amalia dengan mata berbinar bangga. Seolah ingin menunjukkan pada mama. *ini ma cewek pilihan faisal, hebat kan*
amalia menghias semua kue bolu dengan bermacam bentuk hiasan dekorasi. Tak sampai
jam tiga semua beres,
setelah selesai, kak faisal mengajak amalia pergi dari dapur.
wajah mama masih keruh, aku tau mama belum bisa menerima amalia sepenuhnya, cuma karena kak mama tak mau kak faisal kabur lagi mama mengijinkan kak faisal terus pacaran sama amalia. Jam tiga om sebastian mengantar odie pulang ke baturaja.
“kapan kapan main lah ke baturaja yo..”
teriak odie dari balik kaca mobil.
“iya die.. Pasti.. Hati hati di jalan..!”
aku membalas, om sebastian melemparkan tatapan penuh arti padaku. Aku balas tersenyum.
Begitu banyak hal yang terjadi, rumah kembali sepi.
mama sedang membereskan meja serta bersih bersih, bik tin minggu depan katanya baru kesini lagi.
Aku masuk ke dalam rumah. Membantu mama menyusun kursi kursi. Bunga bunga segar ditata dalam jambangan dengan artistik, kak faisal sudah pergi mengantar amalia pulang.
Jam empat teman teman arisan mama mulai berdatangan. Heboh sekali suasananya seperti dalam pasar.

hari berganti hari, hingga tak terasa aku sudah naik kelas dua, hubunganku dengan om sebastian berjalan lancar, aku telah berpacaran dengan om sebastian. Kami bisa menjaga hingga tak ada yang tau, mama sudah semakin lunak terhadap amalia. Hubungan antara amalia dan kak faisal sudah direstui, bahkan amalia sering main kerumah. Aku senang dengan perubahan ini, dan perasaanku terhadap kak faisal pun berangsur bisa aku atasi, itu berkat om sebastian, ia sangat baik dan perhatian terhadapku. Aku tak menyesal telah memilih om sebastian, ia benar benar menyayangiku.
aku pun sudah menulis surat pada emak, balasan dari emak sempat membuat aku meneteskan air mata, kata emak yuk yanti sudah menikah. Aku sedih tak dapat menghadiri pernikahan yuk yanti. Aku menyesal telah menunda menulis surat hingga aku tak tau tentang itu. Aku janji sama emak akan kembali lagi nantinya kalau aku sudah berhasil. Emak selalu mendoakan aku. Bagi emak aku tetaplah anaknya dan tak akan berubah hingga kapanpun. Om alvin kalau ada main ke palembang pastilah menghubungiku. Terkadang aku menginap dirumah koko kalau ada om alvin.
Odie setiap liburan pasti kemari, bahkan aku sudah pergi ke baturaja, tante laras walau tak terlalu dekat denganku namun sudah ada sedikit perubahan.
Aku sedang berkumpul bersama keluarga saat bik tin memanggilku karena ada orang yang mencariku.
Aku bertanya pada bik tin siapa yang mencariku tapi kata bik tin dia tak kenal. Dengan bertanya tanya aku pergi ke ruang tamu. Tak ada siapa siapa, kata bik tin tadi ada yang mencariku. Aku langsung ke beranda mungkin yang mencariku itu belum masuk. Tak mungkin koko, soalnya bik tin sudah kenal sama koko. Saat aku keluar, di depan teras ada yang berdiri memunggungiku. Ia sedang mengamati taman depan rumahku. Sepertinya aku tak asing dengan sosok itu. Namun aku ragu. Jantungku berdebar keras. Seperti menyadari ada yang berada di belakangnya. Sosok itu berbalik, melihatku, senyumnya terkembang, senyuman yang pernah begitu aku rindukan, mengisi setiap detik dan menit ruang dalam hatiku. Mataku langsung berkaca kaca.
“apa kabar rio…”
ia menyapaku dengan wajah berbinar binar. Lututku langsung lemas.

0 komentar:

Posting Komentar