Kamis, 03 Maret 2011

Kisah Rio (5)

Selesai makan di kantin, aku bertiga dengan arya dan arthur kembali ke kelas.
Aku merasa senang telah melalui hari ini dengan lancar, meskipun baru tapi telah mendapat teman.
Pelajaran selanjutnya diajar oleh guru yang masih muda, cukup cantik, aku langsung suka. Bu marissa namanya.
Suaranya lembut dan mendayu dayu, cukup untuk membuai telinga hingga mataku menjadi berat. Berkali kali arya menyenggolku yang nyaris tertidur. Hingga aku terkesiap berkali kali juga. Setelah mata pelajaran antropologi selesai, bu marissa keluar dan digantikan dengan pak wisnu yang mengajar kimia.
Mataku yang sempat redup jadi lebar kembali karena suara pak wisnu yang berat berkumandang keseluruh ruangan kelas.
Belum lagi unsur unsur zat serta kode kode membuat otakku tak ada kesempatan untuk santai. Untung saja cuma satu jam sesi pelajarannya yang juga pamungkas kegiatan belajar hari ini.
Bell pulang telah berbunyi. Aku membereskan semua buku dan peralatan tulis lalu memasukkan kedalam tas.
Setelah kami memberi hormat terakhir, pak wisnu meninggalkan kelas.
Bagaikan semut keluar dari sarang, teman teman saling berebutan keluar seolah olah ada kebakaran dalam kelas.
Baru saja aku keluar e, kak faisal sudah menungguku berdiri didepan pintu.
“ayo dek pulang..”
Kak faisal mengajakku.Aku mengangguk dan mengikuti kak faisal hingga ke tempat parkiran.
“gimana tadi belajarnya dek?”
Tanya kak faisal saat kami berdua sudah diatas motor dijalan raya.
“lumayan asik kak, guru gurunya pada enak ngajarnya..”
“baguslah kalau memang begitu… Gimana dengan teman teman barunya?”
“tak ada masalah kak, rio udah dapat teman dikelas..”
Aku menjawab singkat.
Setelah itu kami berdua cuma diam hingga tiba dirumah.
Aku langsung turun dari motor dan masuk kedalam rumah, sementara kak faisal memasukkan motor kedalam garasi.
Didalam kamar aku mengganti seragam sekolahku dengan baju kaus oblong dan celana jeans selutut.
Rumah masih sepi, mama dan papa jam segini masih kerja. Jadi hanya ada bik tin saja sedang menonton tayangan televisi.
“makan dulu bang, bibik udah masakin sup telur puyuh sama tumis kangkung kesukaan abang…”
Ujar bik tin begitu melihatku masuk ke dapur.
“makasih bik, rio makan dulu, oh ya… Bibik juga udah makan kan?”
“udah bang, kalau bibik nggak usah ditanya lagi, udah dari tadi makan..”
Bik tin tersenyum geli kemudian ia berdiri dan mengikutiku ke dapur.
Bik tin mengambil sebuah piring kemudian memberikan padaku.
“makasih bik..”
Aku duduk dikursi makan dan mengambil nasi.
Kak faisal muncul di pintu lalu menghampiriku dan ikut makan siang bersamaku.
Habis makan, kami berdua main sega dikamar kak faisal. Hingga tak terasa telah sore.
“dek tolong kunci pintunya..”
Kak faisal mematikan sega player. Aku berdiri kemudian mengunci pintu, walaupun sedikit heran, aku tak bertanya.
Sementara kak faisal membuka lemarinya dan berjongkok mencari cari sesuatu di bagian dasar lemari.
“cari apa kak?”
Aku jadi penasaran.
“ada aja..!”
Jawab kak faisal penuh teka teki.
“aduh dimana ya…perasaan kemarin aku taruh disini deh”
Kak faisal terus mencari cari.
Aku menghampiri kak faisal ikut berjongkok disampingnya.
“apa sih… Buku ya?”
“bukan dek..”
“lalu apa…?”
“kaset video..”
“wah film baru ya?”
“iya dek, kakak baru pinjam sama rizal, aduh gawat dimana ya?”
Kak faisal mulai panik.
“mungkin bik tin yang mindahin..”
Ujarku sambil membantunya mencari.
“masya allah.. Jangan sampai deh..”
Wajah kak faisal nampak panik.
“loh emangnya kenapa?”
Aku jadi makin heran.
“bisa gawat dek”
Kak faisal berdiri dan mengacak tumpukan bajunya yang terlipat rapi secara serampangan hinga berantakan.
Aku cuma menggelengkan kepala melihat tingkah kak faisal.
“astaga… Untung saja ketemu..”
Kak faisal menepuk keningnya dengan lega, tangan kirinya memegang sebuah karet video berwarna hitam. Tanpa sampul dan gambar.
“film apa sih kak?”
“sabar.. Hehehe adek pasti suka..”
Seringai kak faisal.
Kemudian ia menyalakan video player lalu memasukkan kaset itu ke dalamnya.
Aku duduk didepan televisi menunggu dengan penasaran.
Kak faisal menutup tirai jendela kamarnya.
Aku menyipitkan mata melihat kelakuan kak faisal yang ganjil.
Kamar menjadi agak gelap, kak faisal duduk disampingku memegang remote.
Di layar terpampang gambar seorang perempuan berambut pirang yang sedang berada di dapur, memakai baju cukup sexy untuk ukuran memasak.
Seorang pria tampan dengan badan tegap bagai binaragawan memakai baju montir masuk dan menghampiri perempuan itu, mereka berbincang bincang, namun aku tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Soalnya tak ada teks nya sama sekali.
“kak filmnya jelek, nggak tau maksud ceritanya..”
Aku memprotes.
Kak faisal tak menjawab, hanya mengibaskan tangan ke depan mukaku dengan tak sabar.
“aku mau keluar dulu ya…”
Belum sempat aku berdiri, mataku menjadi nanar melihat perempuan itu tiba tiba berlutut didepan lelaki bertubuh tegap itu. Membuka resleting celana ketat yang membalut paha kekar lelaki itu.
Tenggorokanku langsung tercekat begitu benda panjang berwarna kemerahan mencuat dari balik resleting celana yang terbuka. Selanjutnya adegan demi adegan sukses membuat mataku melotot, suatu yang seumur hidup tak pernah aku lihat, membuat sekujur tubuhku menggigil gemetaran. Kepalaku menjadi betul betul pusing hingga rasanya mau muntah saja. Namun kak faisal bagai tak menyadari reaksiku. Ia begitu serius menyaksikan adegan mesum yang semakin lama semakin tak karuan.
Aku memalingkan pandangan ke lain, muka ku rasanya mekar karena malu.
+++
Adegan tak pantas itu membuat aku canggung.
Sesekali kak faisal menoleh padaku dan tersenyum puas.
“kenapa dek?”
Seringai kak faisal padaku.
“kepalaku pusing kak.. Aku mau keluar saja..”
Aku masih mencoba memalingkan wajah dari televisi.
“ahhh adek kayak perempuan aja.. Biasa kale cowok nonton beginian..”
Kak faisal tak sabar.
Aku tak menjawab, pipiku terasa panas.
“tuh dek coba lihat..”
Tunjuknya ke televisi. Mau tak mau aku menoleh untuk melihat.
Aku mendesah begitu melihat perempuan berambut pirang itu memasukkan alat vital lelaki bertubu kekar itu ke dalam mulutnya. Seolah olah sedang menikmati es loli. Ukurannya yang besar membuat perempuan itu agak kerepotan. Tapi perempuan itu bagai tak perduli, tanpa jijik melakukannya. Perutku makin mual.
“jangan sok kayak perawan deh dek.. Nikmati saja, kalau nggak nonton ini ya nggak belajar, gimana kalau nanti adek kawin kalau tak tau caranya.!”
Tegur kak faisal.
Mendengar kata kata kak faisal, aku jadi tersipu, kak faisal bisa saja membuat aku bingung, lagipula aku gengsi juga, kak faisal biasa biasa saja menontonnya sedangkan aku bersikap seolah olah pak kyai yang kolot. Akhirnya aku menonton juga walaupun kepalaku pusing dan tubuhku gemetaran.
Aku nyaris tak percaya sesuatu yang begitu tabu dan terlarang bisa dipertontonkan dengan begini vulgar. Seolah olah hal yang lazim dan biasa untuk ditunjukkan.
Limabelas menit adegan bergulir demi adegan, aku merasakan sesuatu yang lain sekarang, entah kenapa tubuhku terasa agak panas, keringat mengalir dari pelipisku. Jantungku berdebar debar keras dan yang paling parah, tubuhku bagian bawah terasa tegang hingga rasanya ingin kencing.
Kak faisal sangat menikmati menonton film tak senonoh itu. Bahkan kulihat tangannya meremas remas celana pendeknya. Aku memperbaiki posisi duduk, malu kalau kak faisal melihat bagian dicelanaku yang sekarang menonjol.
Mataku terpaku begitu melihat lelaki itu memain mainkan alat vitalnya dengan gerakan teratur hingga menyembur air kental berwarna seputih susu.
“gila banyak betul..”
Desis kak faisal tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
“kok kencingnya lain ya kak..?”
Komentarku sambil bertanya.
“itu bukan kencing dek, itu namanya sperma.. Masa sih adek nggak tau?”
Kak faisal menatapku keheranan.
Aku menggelengkan kepala karena betul betul tak tau.
“jadi adek belum pernah keluar sperma?”
Tanya kak faisal lagi. Kembali aku mengangguk.
Kak faisal menatapku tajam seolah olah aku baru saja membuat pengakuan dosa.
“ck..ck…ck… Parah…..!”
Kak faisal berdecak beberapa kali seolah prihatin mendengar kata kataku.
“memangnya kenapa kak.. Apa kakak juga pernah keluar kencing susu?”
Aku bertanya dengan bodohnya.
“stop bilang kencing susu, itu sperma.. Jadi Adek nggak pernah onani selama ini?”
Suara kak faisal terdengar kurang yakin.
“onani itu apa kak?”
Aku balik bertanya.
“duh gusti… Ternyata masih ada didunia ini orang yang tak mengerti onani…”
Pandang kak faisal kasihan.
“kakak betul betul bikin bingung…”
Aku jadi sebal melihat kak faisal yang bersikap seolah olah aku orang yang patut untuk di kasihani.
“ntar, kita nonton dulu, habis ini kakak ajarin kamu onani…!”
Tandas kak faisal mengalihkan lagi pandangannya ke televisi.
Aku ikut melihat ke televisi. Perempuan dan lelaki yang tadi sudah digantikan dengan orang lain, perempuan yang lebih cantik dengan tiga orang lelaki yang semuanya bertubuh kekar.
Mataku melotot begitu melihat perempuan itu dengan sangat liar mencelomoti alat vital masing masing lelaki dengan rakusnya.
Entah kenapa aku merasa lebih tertarik melihat tubuh telanjang lelaki lelaki itu ketimbang tubuh perempuan yang juga telanjang berjongkok di tengah tengahnya. Alat vital yang belum pernah aku bayangkan bisa sebesar itu bisa dimiliki oleh seseorang, aku perkirakan seukuran lengan bayi.
“dek…”
Aku menoleh begitu mendengar kak faisal memanggil.
Namun nafasku langsung berhenti saat melihat celana pendek kak faisal sudah melorot sebatas paha beserta celana dalamnya.
“buka celana adek.. Kakak ajari adek sekarang..”
+++
“kakak mau mengajari aku ngapain???”
Aku beringsut sedikit dari tempat aku duduk, tercengang melihat kak faisal yang dengan tenang memain mainkan kemaluannya. Aku nyaris tak bisa berkedip lagi. Agak aneh rasanya dengan reaksiku. Seharusnya aku tak deg degan melihat punya kak faisal, entah kenapa wajahku jadi memerah bahkan lebih parah daripada melihat adegan yang aku tonton ditelevisi. Tangan kak faisal yang turun naik sambil menggenggam punya dia dengan ritme yang teratur matanya tetap terpaku pada televisi, kemudian ia menoleh melihatku.
“dek tunggu apa lagi… Adek harus meniru kakak jadilah laki laki sejati.. Turunkan celana adek dan ikuti kakak, enak dek.. Ntar pasti ketagihan.”
Kak faisal setengah memaksa.
Aku ragu ragu, antara penasaran ingin mencoba dan malu menunjukkan punyaku yang mini tak seperti punya kak faisal.
“kenapa dek?”
“nggak kak.. Nggak kenapa napa..”
Jawabku gugup.
“jangan jangan adek….”
“apa kak?”
“adek malu kan punya adek belum ada bulunya kayak punya kakak..”
Dengan bangga kak faisal melebarkan pahanya yang putih hingga aku bisa melihat kemaluannya yang dipenuhi bulu ikal dibagian pangkalnya, kak faisal nyengir lebar.
“punya adek pasti lebih pendek dari ini kan?”
Tuduh kak faisal.
Aku cengengesan karena tebakan kak faisal tak meleset.
“tak apa apa dek, kalau kecil nanti masih bisa tumbuh lagi kok, nanti kakak kasih resepnya. Cukup di pukul pukul dengan ikan gabus yang masih hidup.. Kakak sama teman teman juga melakukan hal itu, nggak tau manjur apa nggak, tapi yakin aja…”
Jelas kak faisal tanpa ditanya.
“ntar aku coba kak..”
“ya udah… Kamu mau onani nggak, kalau keburu filmnya habis.. Nggak enak onaninya dek, kurang rangsangan..”
Aku menurunkan karet celana dengan ragu, kemudian berhenti sebatas lutut.
“celana dalamnya juga diturunin dek”
Kak faisal bergeser kesampingku hingga kemaluanya bergoyang goyang mengacung.
Aku menurunkan celana dalam perlahan lahan, kak faisal berhenti untuk melihatku dengan serius.
Aku menutupi punyaku yang tegang, aku tau pasti saat ini mukaku merah sekali.
“kenapa ditutup… Udah langsung kocok aja kayak gini..!”
Kak faisal memberikan contoh.
Aku mencoba mengikuti arahan kak faisal, melakukan gerakan mengocok searah turun naik.
Sensasi rasa yang unik tapi menyenangkan langsung terasa. Hangat telapak tanganku yang beradu dengan kulit alat vitalku membuat tensi tegangnya makin bertambah.
“bagus dek.. Gitu.. Adek cepat belajar ya…”
Kak faisal memompa semangatku.
“he eh… Kakak bisa aja..”
“tuh dek sambil lihat film aja lebih asik..”
“iya kak..”
Aku langsung melihat ke televisi, adegan mesum itu sekarang membuat aku merasa lebih nyaman. Malahan ada semacam rasa unik tapi enak sekali yang aku alami. Suara nafas kak faisal terdengar memburu, ia makin mempercepat kocokan pada alat vitalnya itu.
Mulutnya tak berhenti mengeluarkan suara mendesah. Aku menghentikan sejenak untuk melihat kak faisal.. Aku nyaris tertawa meliht ekspresi wajah kak faisal yang aneh. Sepertinya ia sangat menikmati hingga mulutnya membentuk bulat seperti sedang meniup lilin hingga terdengar desisan. Bagian puncak alat vitalnya memerah dan mengkilap
+++
Tiba tiba aku merasakan satu bagian didalam perutku agak mengejang, membuat seluruh uratku seperti merengang. Aliran darah seolah lebih cepat mengalir diiringi oleh denyut jantungku yang juga berdetak lebih kencang…dan.. Puncak dari itu alat vitalku yang tegang menjadi berdenyut denyut menimbulkan sensasi baru yang seumur hidup baru sekarang aku rasakan. Tubuhku yang gemetaran seolah tak ingin berhenti dari rasa nikmat ganjil ini. Demikian juga kak faisal sambil sekali sekali melihatku, kemudian melihat ke televisi, terkadang serius sendiri. Tapi kak faisal terlihat sudah terbiasa. Ia mengulurkan tangan mengambil kotak tissue disampingnya. Kemudian memindahkan ke sampingku Setelah mengambil beberapa lembar isinya.
Aku berhenti sejenak karena tanganku mulai pegal. Dengan rasa ingin tau aku mengamati kak faisal. Ia tersenyum kecil dan mempercepat kocokannya. Tak sampai setengah menit kemudian dari saluran kencingnya keluarlah cairan putih kental hampir mirip dengan yang aku lihat tadi di film. Tak begitu banyak namun begitu kental. Aku beringsut mendekati kak faisal, kemudian menunduk ke arah kak faisal mengamati cairan itu dengan ingin tau.
“ih adek ngapain sih..!”
Ujar kak faisal jengah.
Lalu mengambil beberapa lembar tissue dilantai. Dan menyeka cairan yang membanjiri perut dan pahanya itu. Tercium bau mirip mirip santan kelapa. Agak mual perutku dengan baunya. Kak faisal berangkat sambil memakai kembali celana dalamnya dan celana pendek lalu berjalan ke arah tempat sampah kecil dalam kamarnya lalu membuang tissue itu. Aku tak melanjutkan lagi onani, hingga kak faisal bertanya tanya.
“loh adek kok curang, kenapa berhenti, ayo lanjut dek.. Tanggung pasti sebentar lagi juga udah keluar kok… Ntar adek nyesel loh… Beneran enak dek kalo keluar, coba deh adek rasakan…”
Aku menggeleng.
“nggak kak, capek…”
“dulu waktu pertama kali diajarin sama teman, kakak juga begitu dek.. Karena belum tau gimana rasanya, tapi lihat aja sekarang kakak udah bisa menikmatinya kok.. Apa perlu kakak bantu?”
Aku cuma diam saja. Kak faisal menghela nafas seperti mengeluh. Kemudian mendekatiku.
“duduk dek.. Jangan pake dulu celananya.
Aku mengikuti semua instruksi kak faisal.
“coba pejamkan mata dan bayangkan perempuan cantik di film tadi dek..!”
Aku memejamkan mata seperti yang diajarkan kak faisal, dan mencoba membayangkan sosok perempuan dalam film tadi, namun susah sekali malah yang terbayangkan olehku hanyalah bagaimana tadi punya kak faisal yang berdenyut mengeluarkan cairan kental. Di dalam pikiranku hanyalah terbayangkan bentuk punya kak faisal saja…, kak faisal terus menceritakan tentang kemolekan tubuh wanita itu, mencoba untuk membuat aku bergairah tapi percuma. Aku cuma membayangkan kak faisal, wajahnya, senyumnya. Tubuhnya dan yang paling parah. Aku membayangkan alat vitalnya itu.
Setelah bersusah payah akhirnya aku berhasil juga. Kak faisal tertawa saat cairan kental walau tak banyak keluar dari saluran kencingku.
Nafasku tersengal sengal seolah habis berkerja keras. Kak faisal mengulurkan tissu, segera aku bersihkan cairan itu dengan sedikit jijik. Setelah merapikan lagi celanaku. Aku buang tissu itu ke dalam tempat sampai kecil di sudut tempat tidur kak faisal.
“bagaimana rasanya dek?”
Tanya kak faisal ingin tau sambil mengeluarkan kaset video dari dalam video player.
Aku meringis malu, jujur saja aku nyaris tak merasa enak, justru terasa kacau, pikiranku telah membuat aku stress sendiri hingga aku tak bisa menikmati seperti yang kak faisal rasakan tadi. Tapi karena tak malu ketahuan kak faisal tentang apa yang aku fikirkan, aku berpura pura menikmatinya. Aku bilang kalau rasanya enak sekali. Kak faisal menyeringai puas.
Jam empat aku keluar dari kamar kak faisal, sebelumnya ia sudah memperingatkan aku untuk tak menceritakan apa yang kami lakukan tadi pada siapapun penghuni dalam rumah ini. Kak faisal menyimpan kembali kaset video itu di bagian paling bawah lemari bajunya.
Malamnya aku mengulangi lagi yang diajarkan kak faisal tadi. Tentu saja tanpa sepengetahuan kak faisal. Setelah aku mengunci pintu kamarku, aku mencoba kembali onani . Tetap saja yang terbayangkan olehku hanyalah kak faisal. Akhirnya aku bisa menikmati bagaimana rasanya onani. Ternyata memang menyenangkan waktu cairan kental itu keluar, seluruh tubuhku mengejang dan terasa nikmat. Itulah awal hari dimana aku sering mengulangi lagi onani hingga akhirnya aku menjadi terbiasa.
Hari hari yang aku lalui di sekolah juga lumayan menyenangkan, aku telah mengenal beberapa teman yang menjadi teman akrabku di sekolah.
Arya teman sebangkuku yang berwajah oriental, arthur yang suka melucu dan biang ketawa. Ronal anak kelas 1 lima berwajah keturunan arab, suka bercerita yang jorok jorok, banyak pacar dan narsis. Anto si kutu buku yang hobi main gitar, suara bagus sekali, tapi mudah tersinggung. Totok anak jawa dengan logat yang kental, sama seperti arthur juga ia suka melucu. Tapi totok mengidap asma, kalau kambuh ia harus menyemprotkan obat dalam tabung kecil ke dalam mulutnya. Satu lagi cewek tomboi namanya anggita, suaranya mirip cowok, kurus tinggi, lumayan cantik, tapi suka merokok juga. Kadang kami berkumpul di belakang kelas dan merokok. Arthur yang mengawasi kalau kami merokok. Ia memberitahukan kalau ada guru yang mendekat, lalu kami segera memadamkan rokok dan mengobrol seolah tak terjadi apa apa.

Kak faisal terkadang mengajak aku berkumpul dengan teman temannya lagi.
Aku sudah mulai terbiasa dengan gaya pergaulan disini.

SATU MASALAH
Tanpa terasa sudah sebulan aku bersekolah, dengan teman teman baruku yang asik, aku menjadi lebih cepat membaur, guru guru juga hampir semua sudah mengenaliku. Dalam setiap mata pelajaran hampir tak pernah aku mendapatkan nilai kurang dari delapan. Dalam sekejab saja banyak yang ingin berteman denganku. Ditambah lagi kak faisal cukup populer disekolah ini.
sebagai adiknya, teman teman kak faisal lumayan mengenaliku. Termasuk pacarnya si amalia itu.
Awalnya aku selalu menghindar setiap kali amalia hampir berpapasan denganku baik itu di depan kelas, dilapangan maupun di koridor sekolah.
Aku tak tau apa sebabnya hingga aku kurang menyukainya. Padahal amalia tak satu kalipun pernah membuat kesalahan padaku.
Seperti menyadari kalau aku menhindarinya, amalia malah semakin menjadi jadi, ia semakin sering mencoba untuk mendekatiku. Hingga pada satu hari aku sudah tak mungkin lagi untuk menghindar karena ada kak faisal bersamanya dan kak faisal sudah keburu melihatku kemudian langsung memanggilku. Dengan terpaksa aku menghampiri mereka.
Amalia tersenyum padaku. Aku tak membalasnya. Ia pasti mau cari muka sama kak faisal dengan cara pura pura ingin mendekatiku dan ramah padaku. Kemudian mereka mengajak aku ke kantin, aku sudah berusaha menolak tapi kak faisal terus memaksa ditambah lagi dengan si rese amalia yang ikut ikutan sok baik juga memaksa. Akhirnya dengan terpaksa aku mengikuti mereka.
Kak faisal dan amalia mengajakku ngobrol namun aku hanya sesekali saja menjawab. Hingga akhirnya amalia mengatakan kalau ia mengundangku pada acara ulang tahunnya yang akan diadakan pada malam minggu ini. Dengan antusias amalia mengatakan kalau cuma akulah satu satunya anak kelas satu yang diundang ke ultahnya seolah olah dengan mengatakan itu ia merasa aku mendapat kehormatan. Buat apa aku datang kalau tak ada yang ku kenal di pesta nanti. Tentu saja aku tak mengatakannya langsung. Tapi aku sudah berniat untuk tak akan datang. Setelah menghabiskan mie rebusku, aku cepat cepat mencari alasan untuk meninggalkan mereka berdua. Aku merasa tak ikhlas kalau perhatian kak faisal yang seharusnya untukku jadi terbagi karena keberadaan amalia.
Semula amalia masih berusaha untuk menahanku agar lebih lama bersama mereka. Namun aku bilang kalau aku harus mengisi beberapa soal pekerjaan rumah yang belum sempat aku jawab. Dan harus segera di kumpulkan setelah istirahat.
Beberapa hari ini, saat dirumah aku sudah beberapa kali menunggu kak faisal pulang untuk mengajaknya main sega dan nonton sama sama lagi, namun kak faisal selalu pulang sore, kemudian langsung keluyuran. Aku bisa menebak kalau kak faisal pasti jalan bersama amalia. Padahal aku ingin sekali mengajak kak faisal onani sama sama seperti waktu ia mengajariku. Tapi sepertinya waktu untukku tak begitu penting dibandingkan dengan waktu bersama amalia. Aku betul betul sebal dengan keadaan ini. Untung saja totok, arthur dan arya sering main kerumahku. Terkadang mereka mengajak aku jalan jalan kerumah teman teman yang lain. Atau sekadar Ngumpul di IP, melihat pemandangan di jembatan ampera. Makan di pinggir sungai musi sore hari.
Hari ini sabtu, kami sedang di IP, aku, arya, arthur, totok, ronal, anto dan si tomboi anggita. Menyusuri konter konter baju. Tak berniat belanja sih, cuma sekedar ngeceng.
Anto mengajak kami melihat toko alat musik, katanya ia mau melihat gitar elektrik, sedangkan si arthur mau ke toko buku untuk membeli komik tapak sakti dan tiger wong. Akhirnya kami berpencar dua grup.
Aku, totok dan arya menemani arthur ke toko buku, sedangkan ronal dan anggita menemani anto ke toko alat musik.
Aku langsung menyesali keputsanku ikut menemani arthur ke toko buku, didalam toko buku aku melihat ada kak faisal bersama amalia. Saat melihatku amalia langsung menarik kak faisal untuk menghampiri kami.
“hai rio… Kebetulan sekali kita ketemu disini..”
sapa amalia sambil tersenyum senang.
Aku tak menjawab, cuma melirik kak faisal dengan tatapan sebal.
“kalian sudah lama kesini?”
timpal kak faisal yang sedang memegang beberapa buah buku bacaan. Diantaranya aku lihat adalah novel picisan. Sejak kapan kak faisal hobi membaca, setahuku dirumah, kak faisal paling jarang menyentuh buku apalagi itu novel yang tebalnya udah kayak bantal. Pastilah kak faisal mau membelikan si amalia itu buku novel. Dasar cewek matre, ia pasti suka menguras uang kak faisal. Aku makin antipati pada amalia.
“nggak kak, kami baru aja tiba, ini si arthur mau cari komik tiger wong.”
jelasku pada kak faisal sambil sesekali melirik amalia dengan tatapan kurang senang. Amalia sepertinya tak paham arti tatapanku itu. Ia malah cengengesan tak jelas.
“wah kebetulan sekali aku juga suka banget baca komik itu..”
ujar amalia sok akrab.
“masa sih.. Biasanya kan cewek nggak suka baca komik silat kayak gitu?”
arthur nampak antusias.
“siapa bilang, komik itu bagus banget, ceritanya sangat menyentuh..gambarnya juga bagus. Kasihan banget sama samsun ya, cintanya pada dewi bulan banyak rintangan.”
tambah amalia.
Aku cuma mencibir sedangkan kak faisal tersenyum lebar mendengar kata kata amalia.
“kok jadi pada ngobrol sih.. Katanya mau beli buku, kalau mau ngobrol mendingan di kafe aja, bukan di toko buku..”
ujarku ketus.
Seperti tersadar, amalia langsung diam.
Kak faisal memandangku tajam. Aku tak perduli dengan tatapannya itu. Langsung menarik tangan arthur menuju ke rak komik.
Totok dan arya buru buru mengikuti kami.
“kelihatannya kamu nggak suka sama amalia ya?”
selidik arya sambil menjajariku.
+++
“siapa yang bilang??.. Biasa aja kok…!”
sentakku terkejut.
“kelihatan loh dari sikap kamu tadi.. Kayaknya kamu nggak suka sama amalia..”
totok ikut ikutan.
“ini lagi sok tau…!udah lah!… Kok jadi bahas yang gak penting gitu..!”
sungutku sebal.
“ya udah.. Kita kan kesini mau cari komik..mendingan cari raknya”
arthur menengahi.
Aku mengangguk kemudian mengikuti arthur menuju ke rak tempat komik.
Sambil memilih milih komik, aku berpikir, apakah aku terlalu menunjukkan rasa tak sukaku itu hingga teman temanku tahu, padahal aku rasa sikapku tadi wajar wajar saja. Ah masa bodohlah, aku memang tak menyukai amalia. Jadi mau diapain lagi. Hampir satu jam kami memilih komik, setelah mendapatkan komik yang diinginkan arthur dan membayarnya, kami langsung keluar dari toko buku, dekat counter baju kami berkumpul lagi dengan rombongan anggita. Perutku terasa agak lapar, jadi aku mengajak teman teman cari restoran untuk makan.
Selesai makan, Jam lima sore kami pulang.
Aku diantar arthur sampai depan pagar, aku mengajak ia mampir, namun dengan alasan sudah sore, arthur lebih memilih untuk pulang.
Aku melihat Mama dan papa sedang duduk di serambi.
“dari mana rio?”
tanya mama begitu melihatku.
“jalan jalan bareng teman, kak faisal udah pulang ma?”
“udah, baru aja ia masuk..”
“rio kedalam dulu ya ma, pa..”
mama dan papa mengangguk dan kembali mengobrol.
Aku mencari kak faisal ke kamarnya.
Kulihat ia sedang membuka sesuatu dari dalam bungkusan plastik. Aku masuk dan menghampirinya. Kak faisal menoleh kearahku.
“udah pulang dik?”
aku mengangguk.
“ntar malam ikut kakak ya.. Ke ulang tahun amalia..”
ia mengingatkanku.
“malas kak, lagian rio udah janjian sama teman..”
aku menolak.
“adek ini gimana sih, bukannya udah dari kemarin kemarin dibilangin, kok malah bikin janji sama teman lain..”
protes kak faisal.
“buat apa aku datang, yang penting kan kakak yang datang, lagian amalia kan bukan pacar aku..!”
jawabku sekenanya.
“iya dek, kakak juga tau.. Tapi amalia kan udah mengundang adek, masa adek nggak mau datang..”
“terus aku disana jadi kambing congek yang hanya melihat kalian suap suapan kue gitu?… Sementara aku tak ada teman..”
aku mencari alasan.
“nggak gitu dek, mana mungkin kakak nyuekin adek, lagian acara suapan kue kan diujung pesta.. Ikut ya dek.. Kalo adek nggak datang, kakak nggak enak sama amalia..”
kak faisal coba merayu.
“sok dekat amat sih.. Kenal juga baru, lagian apa pengaruhnya kalo aku nggak datang.. Malas ah kak.. Udah rio mau mandi dulu..”
aku berbalik hendak keluar dari kamar kak faisal.
“kenapa adek membenci amalia?”
ucapan kak faisal membuat aku menghentikan langkah.
Aku berbalik menatap kak faisal dengan heran.
“maksud kakak apa?”
kak faisal mendekatiku.
“kakak tau kalo adek nggak suka sama amalia, bahkan amalia juga tau dek, ia bilang sama kakak kalo adek kurang ramah padanya.. Apa salah dia dek?”
desak kak faisal ingin tau.
Aku terdiam, tak menyangka sama sekali kalau kak faisal tau ketaksukaanku pada pacarnya itu.
Aku memang tak suka sama dia kak.. Karena ia merebut perhatian kakak dariku…
Tentu saja cuma aku ucapkan dalam hati.
“rio tak benci amalia.. Mungkin dianya aja yang terlalu sensitif..”
aku mengelak.
“tuh kan… Udah kakak duga.. Adek gak bakalan ngaku.. Padahal diajak ke pestanya aja adek ogah..”
“siapa juga yang ogah, kan udah dibilangin tadi, kalo rio udah ada janji ntar malam….”
jawabku sewot.
“iiih adek judes amat.. atut…”
ledek kak faisal sambil pura pura menggigil.
“habis kakak itu pake acara nuduh tak berdasar tanpa ada bukti..”
aku memasang mimik terluka.
“yang penting nuduh, bukti bisa belakangan..udah deh dek, nggak perlu masang muka sedih gitu”
ledek kak faisal terkekeh sambil menggelitik pinggangku.
“terserah dong..muka muka aku..!”
sungutku manja.
“ternyata punya adek nggak gampang juga ya.. Apalagi yang judes kayak gini..”
kak faisal tersenyum geli dan mengacak acak rambutku dengan sayang.
“ih… Apaan sih…!.. Rusak nih rambutku..”
aku pura pura cemberut, namun dalam hatiku sebetulnya sukaaaa sekali.
“jadi gimana dek.. Mau kan ikut kakak ntar malam..?”
desak kak faisal.
Aku melirik ke atas pura pura berpikir.
“hmmm..gimana ya?.. Soalnya nggak enak juga sama arthur, aku udah janji sama dia.. Aku sih mau aja batalin janji, Cuma…”
aku sengaja menggantung kalimat biar kak faisal penasaran.
“cuma kenapa dek?”
tanya kak faisal tak sabar.
“cuma.. Harus ada ganti ruginya soalnya aku kan nggak enak sama arthur, jadi terserah kakak bagaimana biar aku punya alasan untuk membatalkan janji…”
“maksudnya apa sih.. Kakak nggak ngerti…!”
“aku minta ganti rugi..”
“apa..!!?”
kak faisal mendelik kaget.
“nggak segitunya kak… Biasa aja lagi.. Kan wajar aku minta ganti rugi, soalnya aku kan udah berkorban nggak ikut bersenang senang dengan teman teman ntar malam, malah ikut ke pesta yang ngebosenin bareng kakak..”
jelasku tak perduli dengan ekspresi melongo kak faisal.
“kok adek yakin kalo pesta itu ngebosenin?”
ucap kak faisal ragu.
“iya bagi aku, kalo kakak sih nggak, kan yang datang semua teman kakak..”
“kalau cuma itu sih kakak janji nggak bakalan nyuekin adek.. Suerr!”
aku nyaris tertawa melihat wajah kak faisal yang terlihat lucu, antara kesal dan memelas, sebetulnya aku heran, kok kak faisal ngotot banget memaksa aku ikut ke pesta ulang tahun pacarnya itu. Padahal kan biasanya, seorang kakak itu paling malas mengajak ajak adeknya.
“oke aku ikut kakak ntar, tapi janji temani aku main sega selama satu minggu, Kalo nggak mau juga nggak apa apa kok paling aku nggak ikut.
“hahaha adek lucu, kirain mau minta ganti rugi apaan, kalo cuma itu sih gampang dek, oke deal.. Kakak janji mau temani adek main sega..”
kak faisal tertawa dan kembali mengacak acak rambutku.
“janji kak.. Awas kalo mungkir..”
ancamku tak serius.
“iya adek.. Kakak janji.. Sekarang adek mandi sana! Siap siap ntar kita berangkat bareng..”
“oke kak.. Tunggu ya..”
aku senyum senyum dan meninggalkan kamar kak faisal dengan hati senang.
“eee anak mama kenapa senyum senyum sendiri?”
tanya mama yang sedang berjalan menuju ke dapur.
“nggak kok ma, rio mau mandi dulu..”
elakku buru buru masuk ke kamarku.
Ku ambil handuk bersih dari dalam lemari, kemudian mandi. Sekitar setengah jam kemudian aku keluar dari kamar mandi. Saat berpakaian, suara adzan berkumandang dari corong speaker masjid, aku mengambil kopiah diatas lemari kemudian sholat maghrib.
Selesai sholat aku membuka lemari, memilih baju yang akan aku pakai ke pesta nanti.
Aku memilih baju kaus warna oranye, dengan aplikasi warna hijau dibagian kerah serta lengan. Untuk celana, aku memakai jeans warna hitam. Serta sepatu kets hitam dengan aksen putih.
Sudah jam tujuh kurang 15 menit saat aku selesai berpakaian.
Kak faisal masuk ke kamarku, tampan sekali kak faisal dengan baju kemeja garis garis warna hitam. Celana jeans model bootcuts biru tua membuat ia terlihat begitu jangkung. Aku betul betul bangga punya kakak yang seganteng kak faisal.
“kita berangkat jam setengah 8 aja ya dek, soalnya kalo sekarang pasti masih sepi..”
kata kak faisal sambil mengambil remote dan menyalakan tipi.
“kakak atur aja..yang penting disana nanti aku jangan ditinggal sendirian..”
kembali aku mengingatkan kak faisal.
Ia tak menjawab sibuk memencet remote mencari chanel.
Aku duduk disamping kak faisal menonton film sledge hammer di TVRI, namun tak sampai lima menit film itu sudah selesai dan diganti dengan berita nasional. Kak faisal mengganti chanel ke RCTI. Acara sesame street. Tak menarik jadi kak faisal mematikan televisi.
“ke teras aja dek..!”
ajak kak faisal sambil berdiri. Aku mengikutinya ke teras.
“tunggu sebentar dek, mau ngambil sesuatu dulu dalam kamar.”
setengah berlari kak faisal masuk ke kamarnya. Kemudian keluar dengan membawa bungkusan kado sebesar kotak televisi 14 inchi.
“apa isinya kak?”
aku ingin tau.
“boneka dek..ke depan yuk..”
“bungkus sendiri ya?”
aku mengikuti kak faisal ke teras.
“nggak lah… Mana bisa kakak bungkus kayak ginian.. Tadi sekalian kakak minta dibungkusin sama mbak penjaga toko..”
jelas kak faisal.
Aku duduk di kursi teras. Langit telah gelap, bulan bersinar terang, namun belum penuh.
Suara kecipak air mancur buatan di kolam samping rumah bagaikan alunan mengusik pikiranku yang agak bingung dengan perasaan aneh yang melandaku saat ini. Perasaan yang aku sendiripun tak tau mengartikannya. Aku merasa begitu senang bila bersama kak faisal, aku betah berlama lama dengan kak faisal, dan perasaan yang paling membuat aku bingung, aku gelisah membayangkan kak faisal akan menjadi tamu spesial diacara ulang tahun nanti. Entah kenapa aku tak rela kak faisal dimiliki oleh orang lain. Apakah perasaan ini wajar, semua adik punya perasaan cemburu bila kakaknya mempunyai pacar? Aku sendiri belum tau karena selama ini kakakku adalah perempuan, yuk yanti dan yuk tina, dan selama ini mereka juga belum pernah berpacaran, emak tak mengizinkan mereka pacaran sebelum lulus sma.
“dek, udah setengah delapan, berangkat yuk..”
suara kak faisal menyadarkan aku dari lamunan.
“eh.. Iya.. Masa udah jam setengah delapan?”
aku melirik arloji ditangan kiriku.
“nggak, baru jam lima sore..”
kak faisal sedikit kesal.
Aku tertawa
“tolong bawa kado itu, kakak mau ngambil motor dulu..”
kak faisal berlari kecil menuju garasi. Aku berdiri membawa kado kak faisal dan menunggu didepan pagar.
“ayo dek naik..”
perintah kak faisal sambil menghentikan motor didepanku.
Jalan menuju ke rumah amalia memasuki gang sempit, aku kira tadinya rumah amalia terletak di pinggir jalan. Ternyata aku salah. Saat tiba di rumahnya aku nyaris nyaris tak percaya dan hampir tak yakin itu rumahnya. Kalau saja kak faisal tak mengajak aku masuk.
Aku terdiam memandangi rumah kecil terbuat dari papan yang lebih pas disebut gubuk itu, hampir tak beda dengan keadaan rumahku waktu di bangka dulu. Tak ada keramaian seperti yang aku bayangkan sebelumnya. Malahan tak ada sedikitpun kesan adanya pesta ulang tahun.
“kak… Beneran nggak sih amalia ulang tahun?”
tanyaku tak yakin.
“iya dek.. Acaranya cuma makan malam bersama aja kok sama keluarganya dan sahabat dekat aja..”
jawab kak faisal tersenyum.
Aku terdiam, semua ini betul betul diluar dugaanku sama sekali.
“kenapa dek? Adek pikir amalia anak orang kaya kan.. Pestanya besar dan mengundang banyak teman..?”
aku tergagap hampir bingung harus menjawab apa.
“nggak.. Nggak kok…cuma… Ah.. Nggak kok kak..”
“ya udah, jangan gugup gitu.. Ayo masuk dek..”
kami berjalan ke arah pintu. Kak faisal mengetuk pintu yang terbuka dan mengucapkan salam. Terdengar suara menjawab dari dalam, amalia keluar langsung tersenyum lebar melihat kedatangan kami.
“e… Faisal.. Rio.. Ayo masuk.. Udah ditunggu tunggu dari tadi..”
aku ragu ragu tapi kak faisal langsung menarik tanganku mengajak masuk.
Didalam rumah ada beberapa orang yang aku kenal adalah kakak kelasku, tak banyak cuma empat orang. Satu cowok dan tiga orang cewek. Seorang ibu seumuran emak sedang menata makanan diatas meja.
“oh nak faisal sudah datang ya..silahkan duduk.. Itu siapa? Kok ibu nggak pernah lihat?”
“ini adikku yang aku ceritakan itu bu..”
kak faisal menjawab.
“oh..ini rio yang dari bangka?.. Wah gantengnya.. Mirip cina ya…!”
aku menelan ludah, rasanya dua kali lebih canggung, karena bukan hal ini yang kubayangkan sebelumnya.
“ayo duduk dek..”
kak faisal berbisik.
Aku mengikuti kak faisal duduk diantara teman teman lain, diatas kursi sofa kusam tapi bersih.
“udah lama ko?”
kak faisal bicara sama temannya yang cowok.
“barusan, paling 10 menit sebelum kamu..”
“kenalin ini adek aku,…”
kak faisal bergeser dan menoleh padaku.
“adek, kenalan dulu sama teman teman kakak..”
dengan malu aku berdiri menyalami mereka satu persatu.
“koko..!”
yang cowok menerima jabatan tanganku.
“rio..”
jawabku pelan.
Setelah dekat baru aku bisa melihat wajah koko dengan jelas, tubuhnya jangkung kekar. Rambutnya tebal namun rapi, betul betul tampan, alisnya yang tebal bagai memayungi matanya yang tajam. Bibirnya bagus dan warnanya kemerahan. Pasti ia tak merokok. Giginya betul betul rapi berbaris putih seperti mutiara. Hidungnya mancung seperti artis hongkong. Betul betul wajah paling tampan yang pernah aku lihat seumur hidupku. Ia selalu menyunggingkan senyum. Senyum termanis dalam sejarah hidupku.
“eh kok adek malah bengong.. Lepasin tangan koko dek..”
kak faisal mencubit pinggangku diam diam.
Aku langsung tersentak buru buru melepaskan tangan koko.
“ma..maaf..”
aku terbata bata. Rasa hangat menjalari wajahku. Untung saja cahaya fluorcent lamp 10 watt di ruangan ini agak redup, jadi wajahku yang memerah tak terlalu kentara.
Cewek disamping koko mengulurkan tangannya juga, langsung aku sambut.
“ratna..”
aku melepaskan jabatan tanganku kemudian menyalami teman kak faisal yang lain. Dua cewek yang bernama meri dan aprilia.
Yang bernama ratna lumayan manis, rambutnya panjang sepunggung, kulit kuning langsat.
Meri sedikit gemuk dan agak pendek, namun wajahnya sangat ramah, aku yakin siapapun dengan mudah langsung menyukainya.
Aprilia sedikit pendiam. Rambut ikal spiral kulit putih, agak modis namun dari kesan wajahnya sedikit angkuh.
Setelah berkenalan dengan mereka, aku kembali duduk disamping kak faisal.
Sementara kak faisal sibuk ngobrol dengan teman temannya. Aku memandangi seisi ruangan yang kecil ini. Nyaris tak ada ornamen. Hanya satu set kursi makan dari kayu, yang aku curigai pasti bikinan sendiri. Soalnya buatannya agak kasar. Sebuah pesawat televisi 14 inchi, model keluaran tahun liz taylor beranjak gadis. Satu set kursi tamu lusuh yang kami duduki sekarang. Sedangkan di dinding cuma ada satu jam dinding pesta kalender dari sebuah merek rokok yang cukup terkenal dengan gambar model yana zein sedang memegang rokok dari pipa hitam yang panjang sambil tersenyum. Selebihnya tak ada apa apa. Aku meringis karena keadaannya 180 derajat diluar dugaanku semula.
Sementara itu ibunya amalia dari tadi mondar mandir keluar masuk dapur sambil membawa piring dibantu amalia.
Seorang bocah lelaki usia sekitar 6 tahun sedang duduk didepan televisi menonton sinetron jembatan pelangi. Entah ia mengerti atau tidak dengan alurnya, yang jelas ia begitu serius. Seolah olah tak ada kami disini.
“tunggu sebentar ya… Lagi goreng empek empek, dan manasin kuah tekwan..”
ujar amalia sambil menyusun sendok.
“ada yang bisa kami bantu nggak?”
meri yang menjawab.
“nggak usah.. Sebentar lagi kelar kok..”
tolak amalia halus.
Aku menunduk menatap lantai yang di beberapa bagian berlubang dan di tambal dengan pasir. Beberapa semut hitam berjalan sambil mengangkut sesuatu yang putih, aku perkirakan itu butiran nasi. 0suara canda kak faisal dengan teman temannya memenuhi ruangan ini. Dari tadi aprilia tertawa cekikikan setiap mendengar lelucon yang dilontarkan oleh kak faisal dan koko. Tertawa yang aneh seperti dibuat buat, lebih mirip bunyi tertawanya ratu zelda di operet bobo. bikin kupingku gatal.
Untunglah tak lama kemudian amalia segera keluar dari dapur dan bergabung bersama kami.
Semua langsung berdiri.
Mereka mengucapkan selamat ulang tahun, masing masing memberikan kado. Cuma aku yang nggak.
“ayo kita langsung menyantap makanan yang aku siapkan.. Maaf kalo rasanya kurang enak..”
ujar amalia setengah meringis.
“mana mungkin nggak enak.. Kamu kan jago masak mel..”
ujar ratna sambil tertawa.
“iya nih amalia, merendah diri tapi meninggikan mutu..”
timpal koko ikut tertawa.
“kalau aku yang masak, baru kacau..”
aprilia nimbrung.
“huuu… Semua juga tau.. Kamu ngerebus air juga hangus..!”
ejek kak faisal seperti serius.
Aprilia pura pura cemberut.
Semua kelihatan sangat akrab. Aku diam saja karena tak tau apa yang harus diomongkan. Takutnya malah jadi garing kalau ikut ikutan memaksa bercanda.
“makasih banyak ya kalian semua mau datang… Maaf kalau nggak bisa menyajikan yang lebih pantas..”
amalia menarik kursi dan menyuruh kami duduk.
“no.. No.. No.. Nggak boleh ngomong kayak gitu.. Yang penting kita masih bisa berkumpul sama sama… Semua sehat, dan persahabatan kita selalu terjaga..”
meri memegang bahu amalia.
Entah kenapa perasaan benci yang selama ini aku rasakan pada amalia bagaikan menguap begitu saja melalui ubun ubunku.
Yang ada sekarang hanyalah perasaan simpati.
Tak kusangka. Kak faisal yang populer di sekolah, yang aib mendapatkan cewek lebih segala galanya dari amalia. Memilih amalia sebagai pacarnya. Perasaan kagumku terhadap kak faisal jadi bertambah.
Ibu amalia menyuruh kami makan, ia mengingatkan kami agar makan banyak dan tak usah malu. Tapi tanpa dikasih tau pun keliatan kalau semua pada gak tau malu.
Aku mengambil tekwan semangkuk. Dan mencicipi rasanya. Betul kata teman kak faisal, benar benar enak. Bola ikan yang kenyal terasa betul betul gurih. Aroma kaldu udang pada kuahnya yang hangat terasa pas di lidah. Aku memuji dalam hati kelezatan masakan amalia. Tak ku sangka seorang gadis seumuran amalia bisa membuat masakan yang begini lezatnya. Tak heran kak faisal tergila gila padanya. Selain cantik, lembut, pintar memasak. Aku melirik amalia dengan agak iri. Semua makan dengan lahap. Amalia tampak begitu puas melihat teman temannya begitu menikmati masakannya. Bahkan kak faisal sampai tambah sepiring lagi.
“ambil lagi rio.. Empek empeknya masih hangat..”
amalia mengulurkan saus asam pedas yang disini dinamakan cuko. Aku menerima piring berisi cuko dari amalia dan mengatakan terimakasih. Kak faisal melirikku dan tersenyum. Sepertinya ia senang melihat aku jinak malam ini.
“wah.. Amalia, kalo begini terus tiap hari, bisa bisa badanku makin melar..”
seloroh meri sambil mencocol empek empek goreng ke dalam cuko, lalu menggigitnya dengan gaya mirip iklan biskuit mayora.
“kalau tiap hari enak di kamu nggak enak di amalia..”
timpal aprilia yang memegang sendok dan menyuap dengan gaya seorang supermodel.
“nggak masalah kok… Mak aku jualan empek empek tiap hari.. Kalian bisa jadi langganan loyalnya..”
amalia bercanda.
“adik kamu pendiam ya sal?”
tanya koko pada kak faisal membuat aku kaget setengah mati. Hampir saja aku tersedak oleh empek empek, untung saja buru buru aku telan.
“pendiam..?.. Hahaha.. Belum tau kelakuannya dirumah.. Suka rusuhin aku.. Dia jaim karena didepan kalian..”
tanpa berdosa kak faisal membeberkan aib ku. Ingin rasanya aku mencocol matanya dengan telunjukku yang berlumuran cuko ini.
belum lagi habis empek empek di piringku, ibu amalia keluar dari dapur dengan membawa kue ulang tahun tak terlalu besar, berwarna krim merah muda dengan hiasan bunga mawar merah terbuat dari kembang gula. Sungguh bagus sekali. Sepasang Lilin warna merah berbentuk angka 17, menandakan usia amalia sekarang.
“wah… Bagus sekali kuenya.. Betul itu kamu bikin sendiri..?”
meri terbelalak takjub.
Amalia mengangguk tersipu. Kulihat kak faisal tak dapat menyembunyikan senyum bangganya.
“ayo buruan makannya…bagian paling penting tiup lilin..”
ujar aprilia.
Ibu amalia meletakkan kue itu diatas meja tamu. Adik amalia yang sedari tadi asik sendiri makan tekwan didepan televisi langsung berlari menuju ke meja tamu dan mengabaikan begitu saja tekwannya yang masih bersisa separuh.
Ia memandangi kue itu dengan terpesona seolah olah memandangi mainan yang sangat menarik.
“adek jangan di ganggu kuenya..!”
amalia menegur adeknya yang mau menyentuh kue itu.
“andri ayo jangan nakal, dihabisin dulu makannya..!”
ibu amalia menghampiri adek amalia yang ternyata bernama andri itu, kemudian mengajaknya kembali duduk di depan tipi. Tapi adek amalia sepertinya sudah tak ada minat lagi dengan tekwannya.
“waduh perutku kenyang banget..”
keluh koko sambil memegang perutnya.
Amalia tertawa.
“yuk kita nyalain kuenya sekarang!”
ajak aprilia.
Kami semua berdiri kemudian berkumpul di kursi tamu.
Dari tadi aku tak melihat ayahnya amalia. Apakah ayahnya sudah tiada aku belum sempat menanyakan pada kak faisal.
Amalia menyalakan sebatang korek api kemudian membakar kedua lilin diatas kue ulang tahun.
Kami semua berdiri mengelilingi kue.
Ibu amalia berdiri disamping amalia sambil memegang andri.
“tiup lilinnya sekarang mel..!”
“iya tiup lilinnya..”
teman teman amalia menyemangatinya.
Amalia tersenyum sumringah, lalu menunduk dekat ke kue.
Entah siapa yang mengomando duluan lagu selamat ulang tahun langsung memenuhi ruangan kecil itu. Kak faisal juga bernyanyi sambil tepuk tangan. Dengan penuh keharuan amalia memotong meniup lilin hingga padam. Kami semua bertepuk tangan dengan gembira. Satu persatu teman ceweknya memeluk amalia. Kak faisal, koko dan aku tentu saja cuma menyalami saja.
Terasa sekali kegembiraan disini meskipun cuma sebuah acara sederhana.
Mata amalia berkaca kaca saat menerima ucapan selamat pesta doa dari teman temannya.
“potong dong kuenya..!”
meri mengompori.
“iya mel, potong kuenya.!”
sorak yang lain.
Amalia langsung memotong kue itu, satu potongan ia berikan pada ibunya.
Terlihat sekali wajah haru ibunya saat menerima kue di piring kecil dari tangan amalia.
Ia mencium pipi ibunya. Adeknya kelihatan gelisah melihat kue yang di pegang ibu amalia.
Kemudian amalia memotong lagi kue itu dengan potongan sedikit lebih besar dari yang pertama.
“siapa nih yang dapat suapan pertama?”
olok koko sambil melirik kak faisal.
Amalia tersipu malu Menghampiri kak faisal kemudian memberikan suapan pertama pada kak faisal.
“cieeee… Hati hati tersedak sal..!”
ejek meri bercanda. Kak faisal mengunyah kue itu sambil tersenyum malu. Aku jadi geli sendiri melihat kak faisal. Kemudian amalia menuju ke arahku dan memberikan suapan kedua padaku. Aku sama sekali tak menduga, ku pikir mulanya ia memberikan giliran terakhir menyuapiku.
Setelah selesai menyuapi kami semua. Dan memberikan adeknya potongan kue yang lumayan besar, Amalia kembali duduk.
“makasih semuanya, tanpa bantuan kalian mungkin tak akan ada perayaan ini…”
sela amalia diantara isakan tertahan.
“itulah fungsi teman mel.. Jangan terlalu di pikirkan.. Kita semua ingin merayakan ini..”
hibur aprilia sambil duduk disamping amalia.
“iya mel, kita berteman sejak smp, susah senang kita rasakan bersama..”
timpal meri.
“sedikitpun aku tak pernah menyangka akan merayakan ulang tahun yang ke 17 ini..”
“loh kok jadi pada sedih sedih gini..?”
kak faisal terlihat bingung.
“iya tuh, cewek emang aneh.. Ultah malah bawaannya sentimentil..”
koko menggelengkan kepala dengan heran.
“huuu.. Dasar cowok nggak ngerti kalo cewek emang gitu.!”
dengus ratna agak sebal.
Aku diam tak menimpali mereka. Soalnya aku masih bingung mau mengatakan apa.
“ada acara apa ini..”
terdengar suara berat dari pintu.
Serempak kami menoleh. Seorang bapak bapak masuk kerumah, wajahnya agak aneh, matanya merah dan mukanya kusut sekali.
“ayah..”
desis amalia ganjil.
Semua langsung terdiam.
ibu amalia bergegas menghampiri suaminya yang berjalan terhuyung huyung, kemudian mengambil ransel yang ia pegang.
“kenapa berisik sekali, apa lagi ini?”
ayah amalia terdengar tak suka.
“amalia ulang tahun kak..”
ibu amalia coba menjelaskan.
“ulang tahun.. Amalia ulang tahun.. Hebat ya amalia.. Kayak orang kaya saja..!”
aku sedikit terkejut mendengar kata kata ayah amalia. Dari sikapnya terlihat sekali kalau ayahnya sedang mabuk, ditambah lagi bau minuman keras yang menguar dalam ruangan ini.
“ini semua partisipasi teman temannya amalia kak..”
“aku lapar.. Siapkan makanan.. Cepat.!”
perintah ayah amalia tak perduli.
“ayo bubar semua.. Apa apaan ini.. Pesta tak jelas.. Ayo bubar..!”
bentak ayah amalia dengan marah.
Kami beringsut dari duduk. Aku memandangi kak faisal. Sementara amalia tertunduk malu seperti tak berani melihat teman temannya. Kak faisal memberikan isyarat mengajak pulang padaku, sementara aprilia, meri, ratna dan koko kelihatan bingung.
“mel, kami pulang dulu ya..”
kak faisal pamit pada amalia.
Amalia mengangguk tak melihat kak faisal.
“ayo dek..”
kak faisal menarik tanganku buru buru. Begitu juga yang lain, cepat cepat berpamitan pada amalia.
Walau tak mengucapkan sepatah kata pun, dari wajahnya terlihat sekali amalia sangat meminta maaf karena kejadian ini.
Sementara ibunya amalia masih sibuk menenangkan ayah amalia. Tak ku sangka sama sekali kalau bakalan begini akhirnya.
Ternyata ayah amalia seorang pemabuk. Kasihan sekali amalia, ia pasti sangat malu dengan kejadian ini. Aku bisa bayangkan perasaannya. Bagaimana amalia harus menahan malu atas sikap ayahnya terhadap teman temannya. Dengan berjalan cepat kami keluar dari rumah amalia, sebelum ayahnya mengusir kami lagi. Setelah kami semua berada di luar, seperti terdengar sesuatu yang di banting dari dalam rumah. Kami langsung menoleh ke pintu, namun amalia yang sedang berada di pintu, dengan pandangan meminta maaf segera menutup pintu rumahnya.
“kak.. Kasihan amalia..”
bisikku pada kak faisal.
“iya dek.. Banyak yang kakak mau ceritakan ke adek.. Kita pulang dulu sekarang..”
kak faisal menghampiri teman temannya. Aku mengikuti kak faisal dari belakang.
“ko, kami pulang dulu ya..”
“iya sal, aku juga mau pulang..ini mau nganterin aprilia dulu, habis ini kamu kemana?”
tanya koko.
“kayaknya langsung pulang aja lah.. Besok kita ketemu di sekolah..”
jawab kak faisal.
“oke.. Hati hati ya bro..”
kak faisal mengangguk.
“yuk mer, april, ratna..kami duluan”
teman teman kak faisal mengangguk.
Aku naik ke boncengan, dan menganggukan kepala ke teman teman kak faisal.
Kemudian bersama kak faisal meninggalkan mereka.
“kak jangan ngebut dong..”
aku memperingatkan kak faisal.
“pegangan yang kuat dek..!”
kak faisal tak mengindahkan peringatanku. Tanpa mengurangi kecepatan sedikitpun.
Aku tau kak faisal pasti sedang kesal sekarang, entah apa yang ia pikirkan. Mungkin ia kuatir memikirkan amalia.
“kak udah jangan terlalu dipikirkan..”
aku coba menghibur kak faisal.
Namun kak faisal tak menjawab.
Sampai dirumah aku mengikuti kak faisal ke kamarnya.
“kak, kasian ya amalia..”
kataku sambil duduk ditempat tidur kak faisal.
Kak faisal yang langsung berbaring cuma menatap langit langit kamar tapi wajahnya kusut.
“itu ayah tirinya dek, memang sudah biasa begitu..”
jawab kak faisal tanpa semangat.
“ayah kandung amalia mana kak?”
“sudah lama cerai sama emaknya, sejak amalia kelas enam..”
kak faisal berbalik menghadapku.
“dek tidur dikamar kakak aja ya..”
aku mengangguk.
“aku ganti baju dulu kak, ntar kesini lagi..”
“iya dek, jangan lama lama, kakak butuh teman bicara..”
aku beranjak dari tempat tidur, meninggalkan kak faisal.
Setelah ganti baju, aku mencuci muka dan gosok gigi. Kemudian aku kembali ke kamar kak faisal.
Ia masih berbaring dengan mengenakan baju kemejanya tadi. Sepertinya kak faisal sudah kehilangan semangat. Tak seperti tadi sore ia begitu bergairah.
Kejadian dirumah amalia tadi pasti membuat kak faisal gelisah. Aku juga kasihan sama amalia apalagi kak faisal yang pacarnya amalia.
“kakak nggak ganti baju kak?”
tanyaku pelan sambil naik ke tempat tidur.
“ntar lagi lah dek, masih capek..”
suara kak faisal terdengar lesu.
Melihat wajah kak faisal yang kusut, aku jadi kasihan. Ingin rasanya aku menghiburnya biar ia tersenyum, tapi aku bingung bagaimana caranya.
“maaf ya dek karena kejadian tadi..”
kak faisal terdengar menyesal.
Aku tersenyum pada kak faisal, memberikan tanda kalau aku tak masalah dengan kejadian tadi.
“sudahlah kak, nggak apa apa kok, justru aku kasihan sama amalia kak, pasti ia kehilangan muka didepan teman teman, apalagi ini kan hari ulang tahunnya, pasti amalia sedih sekarang..”
kak faisal mengangguk lemah.
“iya dek, sedihnya lagi, kakak nggak bisa melakukan apa apa, kalau saja itu bukan ayahnya mungkin sudah kakak hajar habis habisan.. Tapi kakak juga serba salah.. Kejadian ini bukan baru satu kali dek, tapi sudah sering.. Amalia hampir stress dibuatnya..”
jelas kak faisal.
“kenapa ibunya amalia mau saja bertahan, kasihan amalia kak ia bisa tertekan..”
“entahlah dek, itu urusan ibunya.. Mungkin ia punya pertimbangan lain yang kita tak mengerti..”
“betul juga sih.. Cuma kalau berlarut larut seperti itu, amalia bisa tertekan kak..”
kak faisal terdiam, meninju ninju bantal guling seolah olah ingin melampiaskan emosinya pada bantal itu.
“kakak sendiri tak menyangka kalau ayam bakalan pulang lebih cepat, biasanya kata amalia, ayahnya pulang subuh, mabuk mabukan dengan teman temannya yang preman..”
“ayahnya kerja dimana kak?”
aku jadi penasaran.
“menganggur dek, dulunya ayahnya itu penjaga terminal, tapi kena pecat karena ketahuan mencuri..”
“amalia itu cantik kak, ayah tirinya pemabuk, aku takut terjadi apa apa sama amalia..”
“kakak juga sering berpikir begitu, makanya kakak selalu mengingatkan amalia agar tak lupa mengunci pintu kamarnya kalau tidur..”
kak faisal beranjak dari tempat tidur, kemudian membuka celana panjangnya. Setelah menggantinya dengan hawai, kak faisal kembali ke tempat tidur dengan bertelanjang dada.
“bagaimana penilaian adek sekarang terhadap amalia.. Adek tak benci lagi sama dia kan?”
kak faisal menatapku tajam.
Aku jadi tersipu. Malu mengenangkan sikapku kemarin kemarin, tanpa alasan membenci orang yang tak bersalah.
“nggak kok kak, aku jadi simpati sama amalia sekarang.. Tapi dia beruntung dapat pacar seperti kakak..”
ujarku apa adanya.
Kak faisal bergeser lebih dekat ke aku, menatapku dengan tertarik.
“maksud adek?”
kak faisal mengangkat alis.
“semua orang beruntung di cintai oleh kak faisal, amalia pasti bahagia berpacaran sama kakak..”
“adek bisa aja…”
kak faisal tersenyum.
“kakak juga beruntung dapat adek, yang sekalian jadi teman.. Untung kita bukan saudara kandung ya dek, jadi kita bisa lebih akrab.. Dan bisa bercerita apa saja tanpa segan..”
kata kata kak faisal menyejukkan hatiku.
“justru aku merasa beruntung punya kakak seperti kak faisal.. Aku bangga sama kakak..”
ucapku tulus dari hati.
“pasti dulu adek sebal banget sama kakak ya, maaf ya dek dulu kakak bikin adek nggak nyaman..”
“udahlah kak nggak usah diingat lagi yang dulu dulu.. Semua orang pasti pernah khilaf kan.. Makanya tak kenal maka tak sayang..”
kak faisal mengangguk mendengar apa yang aku katakan.
Tanpa aku duga tiba tiba kak faisal memelukku, jantungku berdegup, aku berdoa dalam hati semoga kak faisal tak menyadari itu.
“punya adek enak juga ya, jadi ada teman dirumah..terus bisa dipeluk peluk kayak gini”
kata kak faisal sambil tetap memelukku.
Aku tersenyum senang, kak faisal bisa saja membuat aku jadi berbunga bunga.
“dek, besok kita kerumah agus lagi, kita hepi lagi kayak dulu, tapi adek nggak usah minum terlalu banyak kalau nggak sanggup, jangan sampai adek parah kayak waktu itu..”
aku meringis mengingat kejadian itu, sebetulnya aku tak begitu suka, tapi aku tak mau menolak ajakan kak faisal, lagipula aku merasa senang kalau ikut kak faisal. Artinya aku tak perlu sendirian dirumah dan aku bisa punya waktu lebih banyak bersamanya.
“iya kak..”
“kalau udah ngantuk tidur aja dek, mata kakak juga udah mulai berat..”
kak faisal melepaskan pelukannya lalu turun dari tempat tidur. Kak faisal menyalakan ac, kemudian memadamkan lampu, setelah itu naik lagi ketempat tidur.
Aku menarik selimut tebal hingga sebatas dada. Kak faisal tidur menghadapku. Sebelah tangannya diletakkan diatas dadaku. Aku memejamkan mata, berusaha tidur, namun sulit sekali, hingga berlalu setengah jam, suara dengkur halus kak faisal sudah terdengar. Pertanda kak faisal telah terlelap. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Satu jam setelah itu baru aku bisa tertidur.
.
Bangun tidur aku sendiri, tak ada kak faisal disampingku. Jam dinding menunjukkan pukul setengah enam. Tumben sekali jam segini kak faisal sudah bangun, padahal biasanya ia bangun jam setengah tujuh. Aku turun dan merapikan tempat tidur kak faisal. Setelah itu aku keluar dari kamarnya. Ternyata kak faisal sedang diruang televisi, duduk sambil ngopi.
“ngopi dek..”
tawar kak faisal begitu melihatku.
“mau cuci muka dulu kak..”
“nyenyak banget adek tidur semalam..”
“masa sih kak..”
“iya dek, subuh subuh kakak terbangun, soalnya tangan adek megang burung kakak..”
ujar kak faisal blak blakan.
Aku terperanjat.
“masa sih kak? Bohong ya.. Mana mungkin aku pegang burung kakak, wong aku aja tidur..”
wajahku rasanya mekar karena malu.
“adek pasti mimpi ya.. Sama siapa dek, lagi naksir cewek di sekolah ya?”
tanya kak faisal dengan lugu.
Aku diam tak menjawab. Sibuk memikirkan ucapan kak faisal tadi. Benarkah aku tidur sambil meraba raba kak faisal. Astaga… Pasti kak faisal kaget sekali tadi pagi. Rasanya aku jadi nggak enak hati sama kak faisal.
“dek, kakak mau pinjam kaset lagi sama teman.. Ntar adek pasti kakak ajak nonton lagi. Katanya film jepang dek, pemainnya cantik cantik..”
tambah kak faisal sambil menyeruput kopinya.
“wah mau kak.. Kapan? Hari ini ya kak..!”
“kakak usahakan.. Udah sekarang adek cuci muka dulu.. Kita ngopi bareng.. Mumpung minggu dek, banyak waktu kita bersantai..”
“mama sama papa mana kak?”
aku mengitari pandang ke seluruh ruangan.
“tadi pagi pagi sekali ke baturaja.. Katanya mau kerumah tante laras..”
“ooooo… Nginap nggak?”
“malam juga udah pulang dek..”
aku tersenyum kemudian meninggalkan kak faisal untuk mencuci muka.
Wah bakalan jadi hari yang asik. Rumah sepi, kak faisal mau mengajak aku nonton film itu lagi, mana nanti sore ia menyuruh ikut dia kerumah temannya.
Setelah mencuci muka aku menuang kopi dalam cangkir, kemudian menghampiri kak faisal, duduk disampingnya sambil menonton televisi.
Suara ulekan terdengar dari arah dapur, pertanda bik tin sedang memasak.
Selesai menonton aku ke kamar dan mandi.
Aku sarapan bersama kak faisal, bik tin memasak ikan goreng sambal dan sup ayam.
Setelah sarapan, kak faisal mengajakku ke tempat temannya untuk mengambil kaset film biru yang semalam ia janjikan.rumah temannya itu tak terlalu jauh dari rumahku, paling cuma lima menit naik motor.
Setelah mendapatkan kaset yang ia inginkan, kak faisal pamit sama temannya, sebetulnya teman kak faisal mengajak kami nonton bareng, tapi kak faisal menolak dengan alasan rumah lagi sepi.
Sampai dirumah, kak faisal langsung mengajak aku masuk ke kamarnya. Namun belum sempat kami masuk, terdengar suara bell berbunyi. Aku bergegas ke ruang tamu untuk melihat siapa yang datang.
Ternyata koko, teman kak faisal semalam.
“faisal ada?”
“ada… Silahkan masuk. Sebentar ya aku panggilin dulu, silahkan duduk ko..”
aku berbalik meninggalkan koko, kemudian menyusul kak faisal yang lagi menyalakan televisi di kamarnya.
“kak ada koko…”
kak faisal berbalik.
“koko dek? Tumben kesini nggak telpon dulu..”
“buruan kak, dia nunggu kakak diruang tamu.”
“iya.. Adek panggil aja dia suruh kesini.”
kak faisal kenali sibuk mengatur televisi untuk memutar video.
Aku kembali keruang tamu untuk memanggil koko.
“ko, kak faisal nyuruh ke kamarnya langsung.”
koko berdiri dan mengikutiku ke kamar kak faisal.
“lagi ngapain sal?”
“udah diam aja.. Ada film baru nih..”
“wah kebetulan sekali.. Kalau rejeki memang tak lari kemana…”
koko cengengesan kesenangan.
“udah jangan berisik ntar ketahuan sama bik tin jadi berabe..”
ujar kak faisal yang sedang memasukan kaset kedalam video player.
Tanpa pembukaan, langsung terpampang gambar tiga orang cowok jepang bermata sipit sedang menggerayangi seorang wanita yang sangat cantik, tubuhnya yang hanya tertutup bikini itu sangat putih dan mulus bagai singkong baru di kupas. Kak faisal berdecak dan matanya melotot. Ia nonton begitu serius. Sementara aku duduk agak dibelakang menyender pada tempat tidur.
Koko sibuk membolak balik sampul kaset video dan membaca entah apa di sampul kaset itu.
Durasi film itu tak begitu lama.
Mungkin karena ada koko jadi kak faisal tak mengajak aku onani. Koko beberapa kali masuk ke kamar mandi untuk kencing. Aku sendiri kurang konsentrasi menonton, walaupun nafsu melihatnya ada, tapi aku sedikit ada ganjalan karena tidak plong, aku agak malu sama koko.
Kak faisal mengeluarkan kaset video lalu mematikan player kemudian mengganti saluran televisi ke siaran nasional.
Aku berdiri, agak sulit karena tegang bagian bawahku.
“huuu.. Kirain bakalan heboh filmnya, gak jelas gitu, ceweknya jerit jerit, padahal barang cowok cowok itu kecil kecil, doakan nonton bule, barangnya gede gede..!”
protes koko tak puas.
“kamu juga aneh, apa pentingnya barang gede atau nggak, yang penting kan ceweknya itu, cantik.. Tubuhnya mulus dan molek..”
bantah kak faisal tak mau kalah.
Sebetulnya aku sih lebih setuju dengan pendapat koko, aku lebih suka menonton film bule yang tempo hari itu, lebih bagus dan nggak berisik cewek yang mainnya.
Yang film jepang ini, ceweknya sok sok malu, pura pura mengapit pahanya dan nggak mau diapa apain. Padahal mau diajak main film gituan. Aneh!
“jadi laper nih.. Ada makanan apa dirumah lo sal?”
tanya koko sambil mengelus perutnya.
“nggak tau bik tin masak apa.. Ke dapur yuk.. Aku juga lapar nih..”
kak faisal berdiri ikut memegang perutnya. Padahal belum ada tiga jam tadi kami berdua sarapan.
Aku mengikuti kak faisal ke dapur, demikian juga koko.
Berjalan disamping koko membuat aku terlihat agak pendek, soalnya tinggiku cuma sebatas kupingnya saja. Padahal aku termasuk jangkung. Koko betul betul perfek, pasti banyak yang naksir sama dia di sekolah. Aku memang tak pernah melihat dia sebelumnya. Sebulan sekolah aku jarang keluar kelas kecuali ke kantin atau ikut teman merokok di belakang lab.
Entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang lain pada koko, saat ia memandangku tadi.
“jadi kamu asal bangka?”
koko menanyakan itu padaku waktu kami sedang makan siang.
“iya.. Aku baru tiga bulan lebih disini..”
“betah nggak?”
“lumayan..”
jawabku sekedarnya. Setiap kali mengenang bangka, pasti yang ada di pikiranku hanyalah emak dan ayuk ayukku disana. Entah bagaimana kabar mereka. Aku ingin menulis surat, seharusnya itu sudah aku lakukan dari kemarin kemarin. Aku akan beritahukan pada emak kalau disini aku sudah sekolah, dapat teman baru, serta kakak tiri yang baik.. Emak pasti senang mendengarnya.
Andaikan emak ada bersamaku sekarang, pasti aku senang sekali, walaupun aku sudah mulai terbiasa di palembang, namun tetap saja aku masih memikirkan emak yang susah di bangka. Aku jadi bertanya tanya apa emak saat ini masih menjual kue, yuk yanti sudah lulus, tentu saja tak ada biaya untuk kuliah. Mungkin yuk yanti lebih banyak dirumah membantu emak membuat kue dan jualan.
Padahal ayuk ku satu itu betul betul cantik. Andai keadaan dibalik, yuk yanti yang tinggal disini. Aku yakin yuk yanti bisa menyaingi si ketua osis sma ku, utari..
Aku hanya bisa berdoa mereka selalu dilindungi allah dan tak kekurangan apa apa disana.
“dek, mulai deh.. Melamun terus..”
kak faisal melemparkan sebutir kacang telor ke keningku. Kacang itu memantul dari keningku langsung masuk ke dalam mangkok kobokan. Alhasil airnya menciprat ke meja.
“tuh kan.. Gara gara adek, meja jadi basah..”
gerutu kak faisal asal saja.
Aku mencibir.
“enak aja.. Yang lemparin tadi siapa?”
“tuh ada garpu kalo mau berantem..”
koko mengulurkan dua buah garpu padaku dan kak faisal yang langsung dibalas kak faisal dengan tatapan mendelik.
“maksud lo..?”
sungut kak faisal cemberut.
“tanggung kalo cuma perang mulut.. Mending berantem beneran, secara jantan..”
koko nyengir.
“nggak lucu tau..!”
kak faisal makin sewot.
“udah.. Udah jangan berantem..!”
aku menengahi mereka berdua.
Kak faisal dan koko berpandangan heran kemudian dengan serempak menoleh kepadaku.
“loh.. Kok.. Emangnya yang berantem tadi siapa.. Kalian berdua kan?”
“hahaha.. Anjrit.. Dasar adek.. Malah Jadi sok bijak, padahal kan tadi adek yang mancing duluan..”
“siapa juga yang mancing, kakak aja usil, orang lagi serius makan malah di ganggu..”
“makanya rio, wajah kamu itu, dalam diam aja udah bikin kakakmu panas, apalagi kalo lagi nyolot..”
canda koko.
Aku cuma tersenyum menimpali lelucon koko, ternyata teman kak faisal yang satu ini ramah dan mudah akrab.
Aku jadi merasa cocok berteman dengannya.
Aku menoleh pada koko.
Lagi lagi ia menatapku dengan aneh tapi cuma sekilas.
selesai makan, aku beranjak dari kursi, kak faisal mengajak koko duduk di teras. Aku ke dapur membuat kopi, saat aku membawa kopi ke teras, kak faisal dengan koko sedang main basket, ku taruh kopi diatas meja teras lalu bergabung dengan kak faisal dan koko bermain basket sampai keringatan.
Karena lelah aku berhenti kemudian berteduh dibawah pohon cemara hias. Kak faisal menyusulku. Suasana yang panas membuat keringat mengucur bagai banjir. Kak faisal membuka bajunya.
“sal, udah jam 2 aku mau pulang dulu..”
koko menghampiri kami sambil meletakan bola di depan kak faisal.
“cepet banget ko, ntar aja lah.. Lagian ini kan minggu..”
“aku ada urusan dikit, ntar kesini lagi.”
“terserah kamu lah, tapi balik lagi kan?”
“iya.. Tapi agak sore ya..”
kak faisal mengangguk, kemudian mengantar koko hingga ke pagar. Koko menoleh padaku tersenyum kecil.
Aku membalas tersenyum.
“kak, koko agak aneh ya..”
aku mengungkapkan perasaanku pada kak faisal.
“maksud adek?”
kak faisal mengerenyitkan kening.
“tadi ia melihatku dengan aneh.. Seperti gimanaaa.. Gitu.”
“iya dek, kakak juga tau..”
“kenapa ya kak?”
“entah lah.. Koko memang rada gitu dek, ia agak tertutup dan seperti menyimpan rahasia. Temannya pun tak begitu banyak, kakak satu kelas dengannya waktu di kelas satu dulu.”
kak faisal bercerita.
“terus kak?”
aku jadi penasaran.
“dulu dia betul betul pendiam. Temannya hampir tak ada, kakak juga lupa gimana awalnya kami jadi akrab. Tak ke semua orang ia bisa seperti tadi dek, kalau ia tak cocok maka jangan harap ia mau ngomong..”
“jadi sebetulnya ia pendiam ya kak?”
“tak selalu… Adek lihat sendiri tadi, kalau ia merasa cocok, maka ia akan jadi teman yang betul betul asik.”
tandas kak faisal.
“oh gitu..”
aku mengangguk, heran juga sih.. Kok ada orang yang sifatnya begitu.
“ke dalam yo dek.. Gerah banget disini.”
kak faisal mengipas ngipas tubuhnya yang keringatan dengan bajunya.
Aku masuk ke dalam rumah, menyalakan kipas angin kemudian duduk di depan tipi. Kak faisal langsung masuk ke kamarnya.
Terdengar telpon berbunyi. Aku berdiri kemudian mengangkat telpon.
“halo..”
“ya halo ini faisal ya?”
terdengar suara di seberang.
“bukan, ini rio, kak faisal lagi dikamar, ini siapa?”
“oh rio.. Ini rizal yo…”
“iya zal kenapa, mau di panggilin kak faisal nggak?”
“nggak usah, bilang aja sama faisal, hari ini batal acaranya, bokap pulang dari jakarta..”
“oh gitu.. Oke ntar aku sampaikan..”
“udah ya… Jangan lupa bilang faisal..”
“oke..”
terdengar nada tut pertanda telpon telah terputus. Ku taruh gagang telpon ditempatnya.
Bertepatan aku meletakan telpon, kak faisal keluar dari kamarnya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.
“siapa dek?”
“rizal kak.. Dia bilang bokapnya pulang dari jakarta jadi acara batal..”
kak rizal mengangguk.
“ya udah aku juga lagi capek..”
ujar kak faisal sambil melempar handuk serampangan ke atas sofa.
“jadi nggak kemana mana dong ntar sore.
Aku sedikit kecewa.
“kita kerumah koko aja dek..”
tawar kak faisal”
“ngapain kesitu kak..”
“ya nggak ngapa ngapain.. Emangnya mau apa?”
“nggak tau, kan kakak yang tau..”
“main aja dek..”
jawab kak faisal sambil berbalik masuk ke kamarnya.
Aku pergi ke kamarku bersiap siap. Mandi dan ganti baju yang sudah keringatan. Jam empat bersama kak faisal aku kerumah koko.
Aku senang dengan suasana di rumah koko, walaupun rumahnya tak terlalu mewah, tapi sangat bersih. Pekarangannya cukup luas di tumbuhi rumput manila yang terpangkas rapi. Beberapa pohon yang tak terlalu besar tumbuh di halaman rumahnya.
Kak faisal menaruh motor di bawah pohon.
Koko agak kaget melihat kedatangan kami.
Ia menyuruh aku dan kak faisal masuk.
Kembali aku lihat raut wajah koko yang agak aneh menatapku.
“tunggu sebentar ya aku ke dalam dulu, silahkan duduk”
koko mempersilahkan kami kemudian meninggalkan aku dan kak faisal ke dalam.
Tak lama berselang koko keluar bersama seorang yang aku duga adalah ibunya.
Saat melihat aku ibunya koko juga menampakkan pandangan yang ganjil nyaris mirip seperti yang koko tunjukan.
Aku menjadi semakin merasa tak nyaman.
“betul apa yang dikatakan koko, adikmu betul betul mirip dengan johan anak tante yang meninggal delapan tahun yang lalu…”
ujar ibu koko tanpa aku sangka sangka, kak faisal memandang ibu koko dengan tercengang.
mama koko langsung duduk bersama kami.
Aku menjadi jengah karena mama koko tak henti henti memandangku.
“rio, saat melihatmu semalam, aku betul betul kaget, kamu sangat mirip dengan kakakku yang sudah meninggal..”
koko menjelaskan duduk persoalannya.
“kakak kamu?”
desis kak faisal nyaris seperti bisikan.
“iya nak faisal, koko cerita sama tante kalau adik tiri kamu mirip dengan kakaknya..tante tak menyangka bisa melihatnya secepat ini..ternyata betul betul mirip…”
“oh begitu ya tante, kebetulan sekali, memang sih kalau dilihat, rio memang mirip mirip koko..”
tambah kak faisal mendukung kata kata mama koko. Aku tak tahu harus mengatakan apa.
Kemudian mama koko bercerita bagaimana anak sulungnya itu yang katanya mirip denganku itu sampai meninggal, dulu mereka tinggal di muara bungo, jambi, delapan tahun yang lalu saat koko berumur 9 tahun dan kakaknya 15 tahun, kakaknya ikut teman temannya piknik ke hutan. Saat rombongan sedang mandi di sungai, kakak koko hanyut dan ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa. Aku bergidik mendengar cerita itu, betul betul malang nasibnya. Mama koko sampai berlinangan air mata menceritakan hal itu. Aku sangat bersimpati terhadap mereka. Kak faisal sendiri sudah mendengar lama dari koko tentang kakaknya yang meninggal itu, namun ia tak menyangka kalau ternyata mirip aku.
Mama koko meminta izin untuk memelukku, aku tentu saja tak mungkin menolaknya. Kemudian mama koko menyuruh koko mengambil album foto keluarganya. Aku melihat lihat foto koko waktu masih anak anak, wajahnya tak terlalu beda dengan saat ini, saat aku perhatikan foto kakaknya, aku terkesiap karena betul betul mirip denganku. Saat itu usianya baru 15, aku sekarang 16 tahun. Tentu saja tak terlalu banyak perbedaan umur kami. Aku jadi membayangkan seandainya saat ini kakak koko masih hidup pastilah sudah kuliah.
Hari sudah beranjak petang, kak faisal mengajakku pulang, kami berpamitan pada mama koko. Beliau bahkan mengantar kami hingga ke pintu pagar. Beliau juga sempat berpesan agar aku sering sering main ke rumahnya. Aku terharu saat mama koko mencium keningku. Matanya yang berkaca kaca menahan tangisan ikut membuat dadaku terasa sesak.
Sampai dirumah ternyata papa dan mama sudah pulang, namun aku melihat ada mobil tante laras, semangatku tiba tiba langsung jatuh lagi.
“dek, kayaknya ada tante laras tuh..”
ujar kak faisal sambil mencabut kunci motor.
“iya kak, bakalan nggak asik suasana dirumah..”
aku mengerang.
“jangan terlalu dipikirkan dek, cobalah untuk mendekati tante laras, mungkin karena kalian tak terlalu mengenal makanya kalian berdua dingin..”
saran kak faisal.
“aku takut sama tante, dia sepertinya dari awal memang kurang suka padaku.”
“kakak tau.. Tapi tante memang begitu kok, belum tentu juga ia tak suka sama adek.. Ayo masuk dek..”
ajak kak faisal.
Berdua kami masuk ke dalam rumah.
“assalamualaikum..”
aku memberi salam.
“waalaikum salam”
terdengar suara mama yang menjawab.
Ruang keluarga ramai sekali, ada papa, mama, tante laras, dan juga lelaki yang duduk disamping tante laras mungkin suaminya. Duanya lagi remaja yang sepantaran aku. Yang lelaki mungkin seusia kak faisal.
“nah itu mereka udah datang.. Dari mana kalian?”
mama menunjuk kami dan bertanya.
“dari rumah teman ma..”
jawab kak faisal sambil menghampiri tante laras lalu menyalami dan mencium tangannya. Kak faisal juga mencium tangan lelaki disamping tante laras.
Aku mengikuti apa yang dilakukan kak faisal dengan berat hati. Kalau bisa dalam jarak sepuluh meter pun aku segan dekat dekat tante laras.
“oh jadi ini yang namanya rio..”
ujar lelaki itu saat aku mencium tangannya.
“iya om..”
aku menjawab singkat lalu beranjak dari mereka.
“ma, rio ke dalam dulu, mau mandi..”
aku mencari alasan. Karena merasa tak nyaman dengan tatapan tante laras.
Mama mengangguk.
Kak faisal malah ikut duduk bergabung dengan mereka.
Aku bahkan lupa menyalami kedua sepupu tiriku itu, entah siapa namanya pun aku tak tau. Aku tak mau terlalu memikirkannya, tak begitu penting juga. Semua hal yang menyangkut tante laras sudah tak menarik bagiku.
Setelah mandi, aku malas keluar kamar, aku pura pura sibuk belajar. Jadi aku ada alasan tak harus selalu melihat tante laras.
Kak faisal masuk kamarku sekitar jam setengah delapan.
“dek, kakak mau kerumah amalia dulu, mau tau keadaannya, kakak masih cemas gara gara masalah semalam..”
kak faisal menghampiriku.
Aku berbalik melihat kak faisal.
“pergi aja kak..”
“adek belum makan ya.. Makan dulu dek, ntar kena maag loh..”
peringat kak faisal perhatian.
“belum pengen kak, tanggung nih lagi nyelesain tugas, ntar juga kalo laper rio ke dapur..”
“ya udah.. Kakak pergi dulu ya.. Cuma sebentar kok dek..”
“iya.. Iya.. Lama juga nggak masalah kak..udah buruan pergi”
aku mengusir kak faisal secara halus.
Sebetulnya dalam hatiku masih merasa kurang suka kak faisal terlalu sering keluar meninggalkan aku dirumah tanpa teman. Apalagi hari ini ada tante laras dan keluarganya itu, aku tak bebas mau kemana mana takut bertemu tante laras. semoga aja mereka nggak berlama lama disini. Setelah kak faisal pergi, terdengar pintu kamarku di ketuk.
“rio.. Udah tidur ya?”
suara mama terdengar dari luar.
Dengan malas aku beranjak dari duduk kemudian membuka pintu kamar.
“ada apa ma?”
aku menggaruk kepala.
“kok dikamar terus sih, nggak enak sama tantemu.. Tuh ada sepupumu, ditemeni dulu..”
“malas ah.. Kenal juga nggak..”
aku menolak.
“sayang nggak boleh gitu.. Kasihan kan odie udah datang jauh jauh, katanya ia mau kenal dengan sepupu barunya sayang.”
“nggak boleh begitu sayang, ayo keluar… Kasian odie, dari tadi cuma duduk sendirian, mana faisal keluar lagi..”
keluh mama.
Dengan terpaksa aku keluar kamar menemui odie diruang menonton.
Ia tersenyum melihatku.
“odie…!”
katanya sambil mengulurkan tangan.
“rio..” balasku malas.
“lagi sibuk ya, kalo masih ada tugas nggak apa apa kok..”
kata odie sambil senyum.
Aku baru baru berniat balik ke kamar tapi aku urungkan setelah melihat mama mendelik padaku.
Dengan enggan aku duduk dekat odie.
“jadi kamu satu sekolah sama faisal..?”
tanya odie.
“tuh kamu udah tau..”
jawabku nyinyir.
Odie sedikit terperangah, namun ia kembali senyum.
“betah nggak di palembang?”
“lumayan!.”
jawabku singkat.
“film bagus loh.. Mac gyver.. Suka nggak nonton film ini?”
ujar odie antusias.
“nggak pernah nonton.. Malas, mendingan melakukan kegiatan yang berguna ketimbang bermalas malasan depan televisi..”
jawabku datar. Odie langsung terdiam dengan wajah memerah.
Entah kenapa aku jadi tak suka pada odie padahal ia tak bersalah sedikitpun padaku. Apa karena ia anak tante laras?.
Aku pura pura melihat serius pada televisi, walaupun saat ini sedang menayangkan iklan. Aku tahu odie sebentar sebentar menoleh padaku seperti hendak mengajak ngobrol tapi aku pura pura tak menyadarinya.
Terdengar dengusan nafasnya berkali kali.
“eh odie, udah kenalan sama rio ya?”
seru tante laras yang baru keluar kamar bersama suaminya. Aku melirik tante laras tanpa ekspresi kemudian kembali melihat ke televisi.
“rio, kamu sama odie dirumah ya.. Mama dan papa mau mengajak om beno sama tante laras jalan..”
mama menghampiriku sambil memasang tali sepatu tingginya.
“mau kemana sih ma?”
tanyaku sebal.
“mama mau ke tempat bibik mu, kamu jangan kemana mana, temani odie..”
perintah mama tak terbantah.
Aku menuruti juga walaupun berat hati.
Setelah mereka pergi, aku ke berdiri, odie mendongak melihatku.
“mau kemana rio?”
“bikin kopi..”
jawabku tanpa menoleh, aku berjalan menuju dapur.
Aku melintasi kamar bik tin yang masih terbuka, bik tin sedang melipat pakaian.
Waktu aku mengaduk kopi dalam cangkir. Odie menyusul.
“kamu bikin dua ya, aku jarang ngopi..”
odie melihat dua cangkir di depanku.
“iyalah… Masa cuma bikin satu,..”
jawabku sambil terus mengaduk.
“iya deh nggak apa apa.. Ngomong ngomong kamu kok nggak keluar?”
tanya odie lagi.
Aku nyaris mendengus keras keras, cerewet amat sih anak tante laras ini, sama kayak ibunya.
“mama nggak ngasih… Disuruh temani kamu..!”
aku menjawab apa adanya.
“nggak apa apa kok kalau memang mau pergi, aku tak apa apa disini sendiri, lagian kan ada bik tin yang menemani.
Kata odie sambil menatap kopi dalam cangkir. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Apakah ia tak merasa kalau aku begitu dingin padanya.
“tolong bantu aku bawa kopi ini ke depan..!”
aku membuka kithchen set dinding, mencari cemilan yang biasanya ditaruh disitu.
Odie mengangkat dua cangkir berisi kopi tanpa mengatakan apa apa. Kemudian meninggalkan aku.
Sebetulnya odie terlihat baik, ia juga ramah, tapi aku sendiri heran kenapa aku tak bisa ramah padanya. Mungkin sisa kesalku pada tante laras membuat egoku tak menerima segala yang berhubungan dengan tante laras.
Baru saja aku mau kembali ke ruang nonton, terdengar suara odie tertawa, sepertinya dia sedang bersama seseorang. Buru buru aku menghampiri odie. Ternyata ada om sebastian. Ia sudah pulang dari baturaja.
“hei.. Rio.. Apa kabar?”
sapa om sebastian begitu melihatku.
“baru nyampe ya om, kabar rio sehat om..”
jawabku senang sambil meletakkan stoples berisi kerupuk udang diatas meja kemudian duduk disamping om sebastian.
“rumah kok sepi, dimana mama kamu?”
“lagi jalan om..”
aku dan odie menjawab serempak.
Om sebastian tertawa renyah. Dasar odie, yang ditanya aku, malah ia ikut menjawab.
Perasaan om sebastian makin hitam dan kurus, sebulan tak melihatnya.
“om ke kamar dulu ya, mau mandi.. Gerah dari perjalanan jauh.”
kata om sebastian sambil berdiri.
“iya om..”
jawab odie.
Aku ikut berdiri kemudian mengikuti om sebastian ke kamarnya. Odie menoleh melihatku berjalan menuju kamar om sebastian tapi ia tak mengatakan apa apa.
Om sebastian membuka tas travel yang tadi ia bawa. Kemudian mengeluarkan seluruh isi dalamnya.
“capek ya om, mau rio pijitin?”
tawarku karena kasihan melihat om sebastian yang sepertinya benar benar capek.
“wah boleh tuh.. Om memang lagi pegel banget, ntar om bersihkan badan dulu ya..”
om sebastian membuka kemejanya.
Tubuh om sebastian makin kekar, walaupun seperti habis terbakar matahari. Aku mau punya badan seperti om sebastian. Pastilah sebagai brimob, om sebastian rutin melakukan latihan fisik yang tak ringan, makanya tubuhnya terbentuk begitu maskulin dan sesuai porsinya tanpa kesan seperti binaragawan.
Aku menunggu om sebastian yang masuk ke dalam kamar mandi. Terdengar kecipak air dilantai, om sebastian mandi sambil bernyanyi. Suaranya yang agak serak, membuat lagu pop yang ia senandungkan, terdengar seperti lagu rock. Tak sampai sepuluh menit, om sebastian keluar dari kamar mandi dengan hanya berlilitkan handuk dibawah pusar. Tercium aroma sabun mandi yang harum. Rambutnya yang cepak itu berdiri dan berkilau tertimpa cahaya lampu karena basah.
Om sebastian membuka lemari dan mengambil kaus dalam kemudian memakainya. Tanpa malu malu om sebastian melepaskan handuk yang melilit pinggangnya. Hingga aku dapat melihat perkakasnya yang terkulai lemas di tengah hamparan bulu ikal tebal hitam pekat. Om sebastian memakai celana dalamnya sambil melirik aku.
selesai berpakaian om sebastian langsung merebahkan diri diatas kasur.
“faisal mana?”
tanya om sebastian menumpukan kedua lengan dibelakang kepala. Hingga terpapar bulu ketiaknya yang lebat.
“kerumah ceweknya..”
jawabku pendek.
Om sebastian agak terkejut, kemudian beringsut ke arahku.
“faisal punya cewek, sejak kapan?”
om sebastian jadi tertarik.
“aku juga nggak tau om, kak faisal nggak pernah bawa ceweknya kerumah.. Tapi ceweknya itu satu sekolah sama kami.”
aku menjelaskan.
“oke oke.. Sambil bercerita, tolong kamu pijat pundak om, soalnya pegal nih..”
om sebastian langsung duduk memunggungiku, mau tak mau aku langsung memijat pundaknya.
“ya.. Begitu, lebih keras dikit..”
instruksi om sebastian. Aku memperkeras pijatanku.
“cantik nggak ceweknya itu?”
om sebastian masih penasaran.
“lumayan sih om.. Cuma…”
aku sengaja menggantung kalimatku agar om sebastian makin penasaran.
“cuma apa?”
om bastian memutar badannya menoleh padaku.
Aku nyengir karena melihat reaksi om sebastian tepat seperti dugaanku.
“nggak jadi ah.. Takut ntar kak faisal marah sama aku..”
aku pura pura tak mau cerita.
“eh.. Om bisa jaga rahasia kok, janji nggak bakalan cerita sama siapa siapa..”
om sebastian menyilangkan jarinya.
“om tanya sama kak faisal aja lah..”
kataku santai.
Wajah om sebastian terlihat gemas, ia mengerutkan keningnya.
“faisal mana mau cerita soal gituan.. Dasar faisal, udah bisa pacaran sekarang.. Mama kamu udah tau masalah ini?”
tanya om sebastian lagi.
“sepertinya belum om, sama aku aja nggak cerita apalagi sama mama, kalau bukan rizal yang keceplosan cerita mengenai pacarnya itu, mana mungkin kak faisal mau cerita cerita..”
“eh, odie kamu tinggalin ya.. Udah sana temani odie, kasian ia sudah datang jauh jauh kamu cuekin..”
ujar om sebastian baru ingat kalau ada odie.
“udahlah om, biarin aja, dia juga lagi asik nonton kok..”
jawabku enggan.
“kalian itu sepantaran loh.. Kamu kan belum banyak teman disini, odie bisa jadi teman yang baik loh…”
“teman baik gimana, rumahnya aja jauh..”
aku berkilah.
Om sebastian langsung berdiri, melihatku dengan heran.
“kamu masih marah sama tante laras ya?”
selidik om sebastian mengamatiku.
Aku diam tak menjawab.
Om sebastian mengelus rambutku.
“walaupun tante laras itu judes, tapi odie anak yang baik kok… Kamu belum mengenalnya.. Om yakin kalau kamu lebih mengenal kepribadiannya, kamu bisa akrab sama odie..”
jelas om sebastian.
“iya deh.. Rio temani odie sekarang..”
aku beranjak dari tempat tidur dengan malas, sebetulnya aku masih ingin melepaskan kangen sama om sebastian, tapi aku nggak enak kalau terus menolak menemani odie, takutnya nanti penilaian om sebastian padaku jadi lain.
Aku keluar dari kamar om sebastian kemudian menghampiri odie.
“eh rio..”
odie tersenyum lebar melihatku.
“udah habis filmnya?”
tanyaku tanpa minat.
“udah tuh, kirain kamu udah tidur..”
“aku jarang tidur jam segini.”
“faisal biasa pulang jam berapa?”
odie kembali bertanya.
“nggak pasti, kadang cepat kadang sampai subuh..”
aku menjawab apa adanya.
“om sebastian mana?”
“lagi istirahat di kamar.”
“eh.. Kopi kamu tuh udah hampir dingin… Lupa ya?”
odie mengingatkanku sambil menunjuk ke arah kopi. Aku lihat isi cangkirnya sudah bersisa seperempat.
Aku ambil cangkir kopi kemudian meminumnya langsung habis.
“besok pagi pagi sekali aku udah pulang..”
kata odie tanpa ku tanya.
“loh kok cepat amat..”
tanyaku berbasa basi.
“besok senin, aku mau sekolah, lagipula papa mau kerja..”
“tanggung banget datang kesininya, kenapa nggak malam kemarin aja?”
tanyaku penasaran.
“mama mau sekalian belanja, lagipula aku mau kenalan sama kamu..”
ujar odie blak blakan.
Aku terkesiap mendengar jawabannya itu, jadi odie betul betul datang jauh jauh ikut orangtuanya kesini hanya ingin tahu tentang aku. Ada perasaan tak enak dalam hatiku.
“nginap aja sehari.. Nggak sekolah besok kan nggak masalah…”
aku menawarkan odie karena merasa agak bersalah.
Odie tersenyum lebar padaku.
“kapan kapan aku nginap, kalau lagi liburan, kalau nggak sekolah besok, bisa bisa aku diomeli mama sampai seminggu.”
jawab odie terus terang.
“ke kamarku aja yuk.. Ada sega, kamu doyan main sega nggak?”
aku mulai menawarkan persahabatan.
“aku kurang doyan main gituan.. Bisa bikin bodoh kata mama..”
jawab odie polos.
Aku tertegun melihat odie, baru ku sadari kalau odie agak mirip dengan kak faisal, wajar aja mirip, mamanya kan adik papa. cuma badan odie sedikit lebih gempal, dan rambut odie tebal ikal. Namun wajahnya selalu senyum.
Aku mengangguk angguk walau tak mengerti, jarang ada anak yang tak hobi main games. Pasti tante laras mendidik odie dengan ketat. Aku pura pura melihat tayangan televisi dengan serius.
“oh ya rio, aku sebetulnya ada bawa sesuatu untuk kamu loh..”
ujar odie seperti baru teringat.
Aku mengalihkan tatapan dari televisi dan melihat odie dengan penasaran.
“kamu bawa sesuatu untukku? Apa itu die?”
odie tersenyum sumringah, lalu berangkat dari kursi.
“tunggu sebentar ya aku ambilin dulu..”
odie meninggalkan aku, kemudian masuk ke kamar tamu.
Sekitar dua menit ia kembali dengan membawa kotak besar bekas mie instan.
“apa itu die?”
aku jadi makin penasaran dan berdiri menghampiri odie.
Odie tersenyum penuh rahasia, kemudian meletakkan kotak itu diatas lantai.
“itu lihat aja sendiri, semoga kamu suka..” odie menyeringai lebar, kelihatannya ia senang sekali melihat reaksiku.
Dengan penasaran aku membuka kotak itu, agak berat, entah apa isinya.
Isolasi yang menempel agak sulit untuk di lepaskan. Aku ke dapur mengambil gunting.
saat tutup kotak itu terbuka mataku langsung terbelalak melihat begitu banyak komik bergambar di dalamnya. Mungkin jumlahnya ada puluhan.
“ini semua untuk aku?”
tanyaku pelan nyaris tak percaya dengan apa yang aku lihat ini.
“tentu saja itu semua untuk kamu, kalau bukan, untuk apa aku bawa jauh jauh kemari..”
jawab odie tersenyum lebar.
“apa kamu nggak sayang, sebanyak ini kamu kasih untuk aku semua, ini kan masih bagus bagus.?”
aku mengeluarkan isinya satu persatu, buku yang bagus bagus, yang selama ini aku idam idamkan sejak aku masih di bangka.
“iya.. Itu semua sudah selesai aku baca, mama rutin membelikan aku buku, aku udah kebanyakan buku buku seperti itu, daripada bertumpuk di gudang, kan sayang.. Mendingan aku kasih ke kamu.
Odie tersenyum lebar.
Aku pandangi odie, wajahnya yang lucu itu menyurutkan semua ke tak perdulianku tadi, kalau bukan karena gengsi pastilah ia sudah aku seluk sambil melonjak kesenangan.
“odie.. Kamu baik banget.. Makasih banyak ya die.. Aku jadi nggak tau harus bagaimana berterimakasih padamu..”
ucapku tersendat sendat.
Odie nyengir lebar melihat tingkahku.
“santai aja rio, cuma buku aja kok nggak usah terlalu dibesar besarin.. Lagian kita kan sepupu, jadi nggak usah sungkan sungkan..”
“makasih banyak ya die…”
ucapku tulus.
“sama sama rio..”
balas odie.
“kamu udah makan die?”
aku baru teringat kalau aku belum makan malam, perutku udah terasa lapar.
“Udah tadi, makan bareng mama papamu.. Kamu kemana tadi nggak ikut makan bareng?”
odie malah balik bertanya.
“makan lagi yuk..”
tawarku serius.
Odie tertawa sembil merangkul bahuku.
“boleh.. Laper lagi nih..”
aku mengajak odie ke dapur, kami makan bersama sambil bercanda.
“eh makan kok nggak ngajak ngajak..”
ujar om sebastian yang baru saja masuk ke dapur.
“kirain tadi om udah tidur, ayo makan bareng om, ada ayam goreng nih..”
om bastian menepuk perutnya pelan dan menghampiri kami.
Om sebastian duduk di sampingku mengambil nasi ke dalam piringnya.
Banyak yang diceritakan oleh om sebastian selama kami makan.
Tentang pengalamannya selama bertugas di baturaja, selain itu dia juga menanyakan bagaimana aku di sekolah, aku cerita kalau aku sudah bisa menyesuaikan diri. Aku juga baru tau kalau ternyata odie dan om sebastian begitu akrab, dulu sebelum tinggal disini, om sebastian pernah tinggal di rumah tante laras, om bastian cerita tentang masa kanak kanak odie yang sangat bandel. Waktu itu om sebastian masih bersekolah. Odie tertawa mengenang kejadian itu.
Setelah makan aku dan odie ikut ke kamar om sebastian. Kami saling bercerita tentang pengalaman. Odie ingin mendengar kisahku sewaktu di bangka. Aku ceritakan apa adanya mengenai kehidupanku yang begitu bersahaja. Bagaimana setiap hari aku berjualan kue keliling kampung sebelum sekolah. Rahasia tentang aku yang selalu di tutupi emak, kesedihan emak ketika menjelang kepergianku. Bagian yang kurang enak masalah pertengkaran mama dan emak dulu tak aku ceritakan, aku tak ingin mereka sampai tau. Odie tertegun mendengar ceritaku. Sementara om sebastian hanya bengong memandangiku.
“kasihan emakmu.. Aku bisa bayangkan pasti beliau sedih sekali harus berpisah dari kamu, karena bagaimanapun, emakmu yang merawat kamu dari bayi hingga smp..”
komentar odie prihatin.
“iya die, aku juga merasa sedih, sampai sekarang aku selalu kepikiran sama emak, aku takut sekali terjadi apa apa sama emak sedangkan aku tak tau karena aku jauh..”
aku mengungkapkan keresahan hatiku.
Selama aku berada dirumah ini, baru sekali ini aku betul betul bercerita tentang masa laluku. Aku tak tau kenapa aku langsung menumpahkan unek unek ku pada odie padahal kami baru mengenal dalam hitungan jam saja.
“kenapa tak tulis surat saja sama emak dan ayukmu?”
tanya om sebastian yang berbaring di sampingku.
“maksudnya sih gitu om, kadang rio suka lupa, padahal udah niat, insya allah besok rio tulis surat untuk emak..”
“eh udah jam setengah sebelas, kok mama sama tante mega belum pulang ya?”
ujar odie.
“udah ngantuk ya die?”
“ya sedikit… Kemana sih mama?”
“katanya kan kerumah bibik, tapi nggak tau bibik yang mana..”
jawabku tak yakin. Saudara mama atau papa yang aku kenal disini cuma keluarga tante laras.
“om, tau nggak mama kerumah bibik yang mana?”
aku menoleh ke om sebastian. Tak ada jawabn. Terdengar dengkuran halus dari mulut om sebastian yang sedikit terbuka. Rupanya om sebastian sudah terlelap. Aku turun pelan pelan takut membangunkan om sebastian. Ia pasti betul betul capek hingga ketiduran seperti ini. Aku selimuti tubuhnya yang hanya di tutupi celana pendek itu. Kemudian aku ajak odie keluar dari kamar om sebastian.
“ke kamarku aja ya..”
kataku sambil menutup pintu kamar om sebastian.
“boleh…”
odie menyetujui.
“kamu tidur sama aku aja..”
tawarku lagi.
“apa nggak sempit nantinya?”
odie ragu ragu.
“nggak kok, muat lah kalau untuk dua orang asalkan kamu tidurnya jangan keracak..”
odie terkekeh mendengar yang barusan ku bilang.
“tenang aja, kalau tidur aku nggak pernah nakal, posisi aku tidur dan bangun pasti selalu sama, paling ya cuma bantal guling aja yang bergeser sedikit.”
jelas odie panjang lebar.
“nggak kok die aku cuma bercanda… Hehehe..”
aku membuka pintu kamarku dan mengajak odie masuk.
“wah…. Kamarmu bagus banget..”
odie terperangah melihat isi kamarku.
Aku cuma mengangkat bahu. Kamar ini di persiapkan mama untuk aku agar betah, soalnya aku kan masih terbiasa tidur di tempat tidurku dulu, selama 15 tahun hanya tinggal di kamar yang sempit, jadi tidur dimana aja tak masalah bagiku.
“santai aja die, anggap di kamar sendiri, kamu mau nonton, atau berbaring.. Aku mau cuci muka dulu, kalau mau ganti baju, pilih aja di lemari..”
aku membuka pintu kamar mandi. Odie mengangguk dan duduk dikarpet depan televisi.
Aku mencuci muka dan gosok gigi. Keluar dari kamar mandi aku lihat odie sedang berbaring diatas karpet.
“eh ngapain tidur disitu.. Mendingan diatas die, dingin tidur dibawah.!”
odie bangun dan duduk lagi.
“kamu udah mau ngantuk?”
tanya odie.
“biasanya jam segini aku udah tidur sih, tapi malam ini nggak terlalu ngantuk.. Kenapa die… Kamu udah ngantuk?”
aku menggantung handuk kecil bekas aku mengeringkan muka.
“belum sih… Biasanya juga kalau dirumah jam segini aku udah tidur..”
odie berdiri dan menghampiri lemari kaca tempat miniatur mobil mini pemberian erwan yang aku susun berjajar.
“kamu hobi miniatur ya?”
tanya odie sambil memegang miniatur mobil berwarna merah.
Aku menghampiri odie dan mengambil miniatur mobil sedan berwarna kuning.
“ini pemberian teman di bangka, dia sahabatku yang terbaik yang pernah kupunya..”
aku menerawang sambil menaruh miniatur di telapak tanganku.
“kamu beruntung punya sahabat yang baik.. Ceritakan dong tentang teman teman kamu di bangka dulu, aku jadi penasaran dengan tempat tinggal kamu dulu..”
ujar odie sambil menaruh kembali miniatur itu ke dalam rak kaca.
“sambil tiduran aja ya, lebih santai..”
ajakku sambil berjalan ke tempat tidur lalu naik ke atasnya. Odie mengikutiku.
“die kalau mau cuci muka dan sikat gigi, dalam kamar mandi ada sikat gigi baru..”
“aku belum ngantuk..”
jawab odie naik ke tempat tidur.
“sebetulnya aku masih betah, tapi sayang besok harus sekolah..”
ujar odie seperti sedang bicara pada dirinya sendiri.
“kapan kapan kalau ada waktu, menginap disini die, agak lama.. Jadi kita bisa mengenal lebih dekat..”
aku berbalik menghadap odie, ia berbaring sambil melihat langit langit kamar.
“iya yo, pasti.. Aku sering diajak mama kesini, tapi biasanya nggak pernah betah, soalnya nggak ada teman, si faisal jarang dirumah..sekarang ada kamu jadi ada alasan aku untuk main kesini.”
ujar odie dengan mata berbinar.
Aku tertawa kecil mendengar ucapannya itu.
“kalau di bangka biasanya kalian nongkrong diamana..?”
“aku jarang nongkrong die, paling kalau main kerumah teman ya betah dirumah aja..”
“sama yo, aku juga jarang nongkrong, kalau dirumah, aku lebih suka membaca atau nonton..”
“aku dulu jualan kue, kalau pulang sekolah ya aku keliling ke toko mengambil titipan kue, paling juga temanku yang sering ke rumah ku hanya angga dan erwan.. Satunya lagi rian, tapi kami baru akrab di hari hari menjelang keberangkatanku kesini..”
aku menerawang mengenang masa masa aku dibangka.
“oh ya.. Terus..?”
odie mengubah posisi menghadapku, menyimak ceritaku dengan tertarik.
Aku bercerita tentang bangka. Odie serius mendengarkan. Sesekali ia bertanya kalau kurang mengerti maksudku. Odie juga banyak bercerita tentang pengalaman dia, kisahnya waktu masih kecil dulu sempat tinggal dipadang. Dari kisahnya, odie termasuk agak sulit bergaul, tapi aku tak melihatnya demikian. Odie sangat baik, bertolak belakang dengan mamanya. Ia juga cepat tadinya mengakrabkan diri denganku. Malah aku yang merasa agak sulit bergaul, karena dulunya aku sedikit agak minder untuk bergaul. Tapi untungnya aku punya teman seperti erwan yang membuat aku menyadari tak ada gunanya merasa malu untuk berteman.
Karena asiknya mengobrol tak terasa sudah jam setengah duabelas. Odie meminjam celana pendekku, kemudian mencuci mukanya. Aku mematikan lampu, odie keluar dari kamar mandi kemudian berbaring disampingku dan menarik selimut.
Aku memejamkan mata, namun sulit sekali rasanya tidur, rasa kantukku sudah hilang, aku menoleh melihat odie, ia sudah terpejam. Entah kenapa malam ini, karena banyak bercerita tentang bangka, membuat perasaan kangen dengan emak dan ayukku kembali datang. Aku sedih memikirkan emak. Aku takut kalau emak sakit atau kesulitan, mana dirumah semua perempuan. Aku teringat, kadang jam begini emak belum tidur, malah sibuk menyiapkan lidi dan daun pisang untuk kue ketan. Aku tak pernah bangun siang, biasanya jam empat subuh aku bangun. Tapi sekarang aku bangun setengah enam karena bingung mau ngapain. Dirumah ini hampir tak ada yang dapat aku lakukan. Semua sudah diborong oleh bik tin. Pernah aku mengambil sapu untuk menyapu lantai, tapi bik tin langsung melarang, apalagi mama waktu melihat aku mau mencuci piring bekas aku makan, reaksinya seolah olah aku sedang mencuri permen di toko..
Aku kangen sekali dengan bangka, dengan rutinitas yang biasanya aku kerjakan.
“belum bisa tidur ya?”
suara odie mengagetkanku.
“kamu juga kok belum tidur..?”
aku menoleh.
“nggak tau, kenapa mataku nggak ngantuk ngantuk..”
jawab odie.
“mama pasti udah pulang..”
“mungkin udah tidur… Sekarang udah jam satu..”
“kamu pulang jam berapa besok?”
“jam tiga yo, soalnya tiga jam perjalanan dari sini..aku bisanya tidur di mobil”
“tidur sekarang aja.. Masih ada waktu dua jam, lumayan lah die…”
odie mengangguk dan memejamkan matanya lagi.
“kamu tau yo, aku senang sekali punya sepupu baru.. Kamu ternyata asik juga ya… Aku janji akan kesini lagi nanti..”
“aku juga die, senang kenal sama kamu.. Nanti kapan kapan kita jalan sama sama kalau kamu kesini lagi..”
jawabku sambil dengan mata terpejam.
Setelah itu kami hanya diam. Hingga terdengar nafas odie yang mulai teratur pertanda ia telah tertidur.
Aku bangun sedikit kesiangan, sudah terang, jam setengah tujuh, tak ada lagi odie disampingku.
aku mandi terburu buru, kemudian berangkat ke sekolah tanpa sempat sarapan lagi, aku ke sekolah bersama kak faisal.
Jam istirahat aku dikagetkan dengan kedatangan koko ke kelasku. Ia mengajak aku ke kantin dan mentraktirku.
Koko mengajak aku kerumahnya sore ini, dia janji akan menjemputku. Kata koko mamanya ingin bertemu denganku lagi.
Saat bertemu dengan kak faisal dan teman temannya, mereka menghampiri aku dan koko. Aku mengenal semua teman yang bersama kak faisal faisal.
“tumben ko kamu jalan sama anak kelas satu..” agus mengolok koko
“eh tapi kalau dilihat, kalian berdua itu mirip kakak adik loh.
.. Bener deh, sepintas kalo diliat orang pasti nyangka kalo rio itu adikmu…”
tambah rizal sambil tertawa.
“oh ya.. Masa sih?”
koko tersenyum lebar.
“hei… Apa apaan ini, rio itu adek aku tau.”
protes kak faisal cemberut.
“iya sal, ia adik kamu, tapi coba aja kalian jalan bertiga, pasti semua nyangka rio sama koko itu saudara, kamu nggak ada mirip miripnya sama sekali dengan rio…”
agus bersikeras
“wajar aja nggak mirip, dodol..! Kami kan saudara tiri..”
kak faisal tak mau kalah. Aku tak berkomentar apa apa, cuma kulihat sepertinya koko senang senang aja dibilang mirip sama aku.
Untung saja bell berbunyi, jadi kami tak perlu berlama lama meneruskan perdebatan yang tak bermanfaat ini.
Aku berpamitan sama koko dan teman teman kak faisal kemudian kembali ke kelas.
****
.
“Mau kemana dek?”
tanya kak faisal ketika melihat aku duduk di teras.
“nunggu koko kak, katanya mau jemput aku kerumahnya..”
kak faisal menatapku dengan heran.
“kamu kok akrab sekali sama koko sekarang?”
“nggak tau kak, tadi koko yang ngajak aku kok, dia juga menemui aku dikelas… Ya mungkin karena aku mirip sama kakaknya itu, makanya ia cepat akrab sama aku.”
aku menduga duga.
Kak faisal tak menjawab. Ia terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu.
“tuh koko udah datang kak, aku pergi dulu ya..”
ujarku sambil berdiri dan menghampiri koko yang menungguku diatas motornya depan halaman.
“jangan pulang terlalu sore dek..!”
seru kak faisal dari teras.
“iya kak..!”
jawabku sambil naik ke boncengan.
“udah makan yo?”
tanya koko saat kami berada di jalan.
“udah, tadi bareng kak faisal.”
“mama bikin soto daging dan kue, dari tadi mama nanyain kamu terus.”
koko memberitahuku.
Aku tertawa, ada ada saja mamanya koko, hanya karena menurutnya aku mirip sama kakaknya koko, ia sampai segitunya.
Sampai dirumahnya, koko mengajak aku masuk. Mama koko sedang didapur, ia senang sekali melihat aku datang.
“eh nak rio, udah makan nak? Ibu lagi bikin soto.. Kamu doyan makan soto?”
ia menghampiriku dengan senyum terkembang.
“wah, doyan banget tante..!”
jawabku untuk menyenangkan mama koko.
“sudah tante duga, johan juga dulunya paling doyan makan soto.”
bagaikan kedatangan seorang tamu istimewa mama koko menyambutku, menyiapkan makanan dan kue, aku jadi tak enak hati, melihat kegembiraan terpapar diwajahnya itu, aku mengerti pasti mama koko sangat menyayangi anaknya yang telah meninggal itu.
Berkali kali ia memaksaku untuk makan ini, makan itu. Bahkan ia juga banyak bertanya tentang aku. Kalau saja tak dihentikan oleh koko, mungkin mamanya akan terus nyerocos tak henti henti, ia begitu ingin tahu tentang aku. Mamanya juga bercerita tentang mereka, sebetulnya mereka berasal dari medan, mama koko dibuang oleh keluarganya karena memilih menikah dengan papa koko, dan menjadi mualaf. Aku terharu mendengar betapa sulitnya kehidupan mamanya diawal menikah dengan papa koko.
Keluarganya mama koko tak terima dan menganggap ia bukan lagi bagian dari keluarga mereka.
Tapi karena keyakinan dan kerja keras, akhirnya mereka bisa menata kehidupan yang lebih baik ditempat yang baru jauh dari keluarga.
Jadi saudara mereka hanyalah dari pihak papanya koko. Satu satunya keluarga mama koko yang masih menjalin hubungan dengan mereka hanyalah adik bungsunya yang bernama alvin, tapi om nya koko itu tinggal di jambi. Aku mendengarkan cerita mama koko dengan simpati, aku merasa langsung dekat dengan mereka. Seperti mempunyai orang tua lagi rasanya.
Ketika hari sudah sore, aku berpamitan pulang, mama koko masih menahan aku, malah menyuruh aku menginap disitu. Aku menolak dengan berat hati. Alasanku karena belum izin sama mama. Tapi mama koko meminta aku untuk berjanji agar mau menginap dirumahnya kapan kapan.
Aku menyetujuinya.
Baru saja aku dan koko mau naik ke motor. Sebuah mobil sedan hitam mengkilat masuk ke dalam pekarangan.
“wah, panjang umur kayaknya, baru aja diceritain, orangnya muncul..”
ujar koko sambil membuka kembali helmnya dan menghampiri mobil yang berhenti itu.
Pintu mobil terbuka. Seorang anak perempuan kecil berumur sekitar lima tahun langsung berlari keluar menghambur memeluk koko.
“astrid… Apa kabar adik cantik..?”
koko mengangkat bocah itu tinggi tinggi, kemudian menciuminya bertubi tubi.
Bocah itu tertawa tawa kesenangan.
Aku melihat seorang perempuan dan lelaki turun dari mobil itu, berjalan menuju kerumah koko. Mama koko yang sedari tadi masih berdiri didepan teras bergegas menyongsong kedua tamu yang datang itu.
“dek alvin.. Apa kabar..?”
seru mama koko terlihat senang sekali.
Kulihat mereka berpelukan.
“om, kok datang nggak ngasih kabar duluan sih?”
koko menghampiri om nya itu. Jangkung sekali tubuh om alvin, orangnya belum terlalu tua, aku perkirakan umurnya tak beda dengan mama. Paling baru 40 tahun.
“iya ko, om sengaja ngasih kejutan, soalnya udah tiga tahun nggak kemari.. Apa kabar ko, pasti sekarang udah sma ya..”
om alvin mengacak rambut koko
saat koko menyalami dan menciumi tangannya.
“ayo masuk ke dalam dulu dek alvin, dek sophie..”
mama koko mengajak om alvin dan isterinya masuk.
“om, koko mau pergi dulu sebentar.. Mau nganterin temen pulang dulu..”
koko pamitan sama omnya itu.
“loh.. Mau kemana.. Mana temannya?”
tanya om alvin pada koko.
Koko menunjuk ke arah aku, aku langsung menunduk dengan malu menghindari pandangan om alvin.
“loh kok malah mojok disitu.. Siapa nama teman kamu ko?”
“rio om… Teman satu sekolah, baru beberapa bulan tinggal disini.. Asal bangka.”
ujar koko.
“rio.. Kesini dulu lah, ntar aja pulangnya.. Om ada bawa makanan nih..”
dengan ramah om alvin menegurku. Aku mendongak melihat om alvin. Ia tersenyum lebar melihatku.
“ngapain kesitu, ayo masuk lagi lah dulu..”
om alvin mengulangi kata katanya
aku membalas tersenyum malu.
“nggak apa apa om, biar aku pulang dulu, kapan kapan lagi kesini, soalnya udah mau magrib nih..”
aku menghampiri om alvin dan menjabat tangannya.
Om alvin berkulit putih, rambutnya ikal dengan jambang terpangkas rapi agak ikal. Baju kemejanya sangat rapi tanpa berkerut. Wajahnya kharismatik dengan Alisnya tebal, dagunya agak kehijauan bekas dicukur.
pokoknya orangnya betul betul ganteng. Aku langsung suka sama om alvin, ditambah lagi ia sangat ramah, jarang jarang ada orang yang dewasa mau menegur remaja seusiaku. Apalagi dia tak kenal. Tapi om alvin beda. Dari awal aku melihatnya aku langsung menyukainya. Wajahnya yang berseri seri seperti memancarkan semangat yang akan menular ke siapa saja orang orang yang berada di dekatnya. Sebetulnya aku masih mau tinggal berlama lama, tapi sepertinya waktu sudah tak mengizinkan jadi dengan berat hati aku berpamitan. setelah menyalami om alvin dan tante sophie isterinya aku pulang kerumah diantar oleh koko
****
aku masih terkenang dengan pertemuan sama om alvin tadi, entah kenapa aku merasa langsung dekat padanya. Walaupun tadi aku malu malu, namun sebetulnya aku sangat senang mengenalnya. Aku merasa beruntung tadi mau diajak koko main ke rumahnya.
Aku sendiri heran kenapa aku ada perasaan seperti itu.
Sifat om alvin yang ramah dan berwibawa mengingatkan aku dengan sosok michael landon di film little house on the prairie serta bonanza, tubuhnya yang jangkung dan tegap membuat wibawanya makin memancar.
Dulu waktu aku masih bersama emak, aku sering berkhayal kalau punya ayah yang seperti itu. Sebagai anak yatim dulu, aku sering berkhayal saat aku iri melihat teman temanku bersama papanya. Aku sering membayangkan aku mempunyai seorang ayah yang hebat, yang bisa membuat semua teman teman yang memandangku dengan sebelah mata menjadi segan. Ayah yang akan membelaku disaat aku mengalami masalah. Sekarang keadaanku sudah berubah drastis, apa yang aku khayalkan dulu telah jadi kenyataan. Aku kembali mempunyai sosok ayah. Walaupun sekedar ayah tiri, namun aku harus meninggalkan emak. Bukan skenario yang dari dulu aku bayangkan. Semuanya menjadi seperti humor tuhan terhadap hidupku. Mungkin betul seperti yang aku dengar, hati hati dengan keinginanmu. Bila itu terkabul, tak akan seindah seperti yang di khayalkan.
“dari mana aja tadi?”
tanya mama saat kami berada di meja makan.
“rumah teman ma..”
jawabku singkat sambil mengambil potongan ikan tongkol goreng.
“bagus lah kalau teman kamu udah banyak, jadi bisa lebih bergaul jangan hanya dirumah terus..”
ujar papa bijak.
Aku mengangguk dan memandang papa sebentar penuh terimakasih.
“makasih ya sayang kamu mau menemani odie, bahkan mau ngajak tidur sama sama di kamar kamu”
mama tersenyum padaku.
“odie asik juga orangnya ma, beda sama tante laras..”
celetukku langsung terdiam saat melihat kerlingan mata mama yang mengisyaratkan **jangan ngomong gitu tentang tante laras, nggak enak sama papa**
aku buru buru menghabiskan nasi di piringku. Kemudian kembali ke kamar.
“dek, mau ikut nggak?”
kepala kak faisal nongol dari balik pintu kamarku.
Aku beranjak menghampiri kak faisal.
“Kemana kak?”
“Rumah agus dek.”
“Ngapain kak?”
“Biasaaa… Mau nggak?”
Kak faisal menatapku berharap
aku terdiam sejenak memikirkan. Ikut apa nggak ya, soalnya pasti kak faisal ngajak pulang pagi, sementara aku agak capek karena kurang tidur semalam.
“Aku ngantuk kak, lagian ada pekerjaan rumah yang harus di selesaikan, besok harus dikumpul..”
Aku mencari alasan.
“Nggak nyesel nih?”
Kak faisal memancing.
“Gimana ya kak.. Pengen sih, tapi kakak pasti pulang pagi, semalam aku kurang istirahat, tadi juga nggak bisa tidur siang karena aku kerumah koko.”
Aku menimbang nimbang.
“Kakak janji nggak pulang larut, lagian bukan ngajak mabuk kok dek..”
Aku lega mendengar penjelasan kak faisal.
“Oke deh.. Tunggu sebentar kalo gitu, aku mau ganti celana dulu.”
aku berbalik kemudian membuka lemari dan mencari celana panjang.
Setengah jam kemudian aku sudah berada dirumah agus.
“Yang lain mana gus?”
Tanya kak faisal saat melihat masih sepi dirumah agus, baru kami bertiga.
“Rizal lagi di jalan, sebentar juga udah nyampe kok.”
Jawab agus.
Kemudian kami masuk ke kamar agus.
Baru saja aku duduk sambil melihat lihat majalah remaja di kamar agus, Rizal datang.
“Sori agak telat, tadi habis nganterin mama ke tempat kakak.”
Rizal memberi alasan.
“Nggak apa apa, kami juga baru nyampe kok.”
Ujar kak faisal.
“Deni kok belum datang ya?
“Mungkin lagi ada urusan.. Oh ya sal, kamu bawa barangnya nggak?”
Tanya agus mencurigakan.
Aku menatap kak faisal tajam. Ia nyengir dan merogoh kantongnya mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.
Tiga lipatan kertas koran sama seperti tempo hari aku lihat.
Huh ternyata kak faisal berbohong, katanya tadi waktu mau ngajak aku kesini, nggak ada yang namanya acara mabuk mabukan. Ini malah mau menghisap rokok yang bikin mabuk itu. Tapi aku tak menunjukkan rasa tak setujuku itu pada kak faisal.
“Tuh bunyi motor Deni, kayaknya ia udah datang..”
seru agus sambil keluar kamar.
Tak lama kemudian ia masuk kembali bersama Deni.
“Belum mulai kan?”
Tanya deni sambil menaruh helmnya di atas lemari.
“Nunggu kamu sih lama..”
Kak faisal cemberut.
“Sori, nggak maksud ngaret, tadi ke bengkel dulu sebentar, nambal ban motor aku bocor..”
Kilah Deni.
“Huuu alasan saja..”
Rizal tak percaya.
“Mending dimulai aja.. Ntar kedulu pagi, jadi malah pada begosip gitu..”
Agus melerai teman temannya.
Kembali kami mengulangi kejadian yang sama dengan tempo hari, aku diajak kak faisal pulang kerumah dalam keadaan mabuk. Kepalaku pusing sekali hingga aku tertidur hingga pagi dan terbangun dengan kepala yang masih berdenyut denyut. Rasanya malas sekali ke sekolah, tapi aku tak mungkin bolos, soalnya takut di tanya macam macam sama mama.
Pulang sekolah aku bermaksud untuk langsung tidur. Tapi kak faisal kembali mengganggu waktu tidurku. Ia mengajak temannya main sega di kamarku, alasannya sega miliknya rusak. Alhasil aku nggak bisa tidur karena suara teman teman kak faisal yang berisik. Teriak teriak sambil main sega membuat aku hampir frustrasi. Akhirnya aku turun dari tempat tidur dan keluar kamar. Aku duduk di kolam ikan depan rumah, memandangi ikan gurami yang berenang diair yang mulai berubah jadi kehijauan karena lumut.
“sayang kok duduk sendirian disitu, kak faisal mana?”
Tanya mama yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakangku.
“Lagi di kamarku ma, main sega sama temannya..”
jawabku sambil menaburkan segenggam makanan ikan, yang langsung di kerubuti ikan ikan gurami itu.
“Loh emangnya tipi di kamar faisal kenapa, kok jadi ganggu tipi kamu?”
“Sega punya dia rusak..”
jawabku singkat.
“Kebiasaan si faisal, apa aja kalo dikasih sama dia nggak pernah panjang umurnya.. Dasar anak satu itu.. Entah mau jadi apa.. Nantinya..”
Mama menggelengkan kepala prihatin.

TRAGEDI LIBURAN
“Liburan udah dekat, rencananya kamu kemana yo?”
Tanya Arthur saat kami berkumpul dirumahku sepulang sekolah, hari ini kami pulang lebih cepat karena ulangan umum, jadi siapa yang lebih dulu selesai mengerjakan soal, ia sudah boleh langsung pulang.
“Belum tau, nggak ada rencana soalnya, emangnya kamu mau kemana?”
Aku balik bertanya pada Arthur.
“Bisanya aku ke lubuk linggau main ke rumah Nenek..”
“Aku sih ketempat bibik saja, di Lahat..”
Timpal Arya tanpa ditanya.
“Kalau aku nggak kemana mana, liburan tetap aja dirumah..”
Anto nimbrung.
Sejak jam sebelas kami berkumpul di taman belakang rumah, suasana disini memang enak dan teduh, mama sengaja mendekorasinya untuk bersantai, tumbuhan bunga dan pohon tabulampot tumbuh tertata seolah olah alami. Ditambah lagi kolam ikan yang dibentuk mirip air terjun mini dan tanaman hias yang merambat. Tadi bik tin sudah mengantarkan sirup jeruk dengan batu es, juga camilan serta kue kue yang enak, teman temanku jadi betah. Anggita duduk di ayunan bersama diah, satu satunya teman cewek yang akrab dengan anggita.
“Gimana kalo kita liburan sama sama aja, ke kebun pamanku di sekayu, enak loh suasananya, aku jamin..”
anggita setengah berteriak memberikan usul.
“Wah boleh tuh, pasti asik kita liburan sama sama..”
seru arthur penuh semangat.
“tapi kita nanti menginap dimana, soalnya sekayu kan jauh dari sini, mana nggak ada kenalan, ntar malah kita terlantar disana..”
arya mengutarakan kekuatirannya.
“jangan takut bego, kalau aku udah nawarin tuh, nggak mungkin nggak dipikir dulu, kita bisa nginap dirumah paman barang dua hari tiga hari, nggak masalah, tambak ikan pamanku luas, kita bisa bakar bakar nantinya..”
“bakar diri kali…”
celetuk eka dengan gaya kemayu ciri khas nya.
“iya ntar ramai ramai kami bakar elo..!”
cibir bayu cemberut.
Eka dan bayu sudah satu bulan ini sering ikut bergabung bersama kami.
Kami memang satu kelas. Kedua anak itu sebangku. Eka mengingatkan aku dengan angga, agak kecewek cewekan, ia sedikit latah, tapi tak rugi kami mengajaknya ngumpul soalnya gerak gerik dan tingkahnya menjadi hiburan bagi kami, kalau ada eka, susah rasanya untuk mempertahankan mood sedih, soalnya ia selalu bisa membuat kami tertawa. Kadang tanpa bicara pun ia sukses memancing kami untuk tertawa. Cuma yang sering bikin risih kalau latahnya kumat, tak perduli dimana tempat, ia akan tanpa sengaja melontarkan kata kata jorok yang membuat kotoran kuping orang yang kolot bisa meloncat.
Kami sih oke oke aja dengan hal itu. Tapi bagaimana terkadang muka kami menjadi merah karena menghadapi pandangan marah orang orang.
Selebih dari itu eka adalah mesin humor.
Sedangkan bayu teman sebangkunya itu suka nyinyir sendiri kalau melihat tingkah eka. Mereka hampir tiap hari perang mulut. Tapi tak pernah sampai berantem apalagi tak teguran.
jam empat teman teman bubar, aku masuk kedalam rumah, mama baru saja pulang sedang menutup pintu mobil.
“capek ma?”
aku menghampiri mama membantunya membawakan tas kerjanya.
“makasih sayang, capek nggak terlalu, cuma sedikit lelah pikiran..”
mama berjalan disampingku ke rumah.
“faisal mana?”
“sejak pulang sekolah, habis ganti baju langsung ngeloyor gitu aja..”
jawabku sambil meletakkan tas kerja mama diatas buffet.
Mama menghenyakkan tubuhnya dikursi sofa, tangannya memijat mijat pelipisnya.
“mama ada masalah?”
tanyaku sambil memperhatikan raut keletihan diwajah mama. Beliau hanya tersenyum.
“mama nggak apa apa sayang, kamu udah makan?”
“udah ma, tunggu sebentar aku buatin teh hangat dulu..”
mama tersenyum menganggukan kepalanya.
“makasih ya sayang..”
aku langsung pergi meninggalkan mama dan pergi ke dapur, membuatkan secangkir teh.
“ini ma, diminum dulu biar capeknya hilang..”
aku meletakkan teh diatas meja.
“assalamualaikum..”
kak faisal masuk ke dalam rumah. Dia tak sendirian. Aku hampir tak percaya kak faisal bersama amalia. Mama tertegun melihat amalia yang terlihat sekali seperti segan dan malu.
“eh mama udah pulang ya?”
sapa kak faisal agak kikuk, mama tak menjawab hanya mengangguk pelan.
“masuk mel, nggak usah malu..”
aku berdiri menyuruh amalia masuk. Dengan ragu amalia masuk ke ruang tamu dan menyalami mama.
“teman sekolah faisal ya?”
tanya mama memperhatikan amalia dari atas ke bawah bagai seorang juri yang menilai model yang berjalan dicatwalk, tapi pandangan itu tak menyiratkan kepuasan.
Diperhatikan seperti itu sama mama tentu saja membuat amalia semakin salah tingkah hingga ia menjawab pertanyaan mama dengan agak terbata bata.
“i..i..iya tan.. Tante..ss..aya.. Teman sekolah f..faisal..”
aku kasihan sekali melihat wajah amalia yang semakin pucat seolah terpidana yang menunggu vonis dari hakim.
“tinggal dimana?”
lagi lagi nada pertanyaan mama seperti menghakimi.
Amalia terdiam sejenak seolah memikirkan sesuatu yang rumit, tapi aku bisa mengerti dengan kegelisahannya itu, seandainya aku yang menjadi amalia, aku juga akan mengalami rasa gelisah yang sama.
“di sekip tante.. Tak jauh dari masjid nurul hidayah..”
jawab amalia nyaris tak terdengar.
Mama mengangguk masih mengamati amalia dengan pandangan menilai.
“mama kok kayak petugas investigasi kepolisian aja, disuruh duduk dulu ma, kok orang baru datang bukannya di jamu malah diinterogasi gitu..”
protes kak faisal tak enak hati sama amalia.
Seperti tersadar mama langsung menyuruh amalia duduk, walau dengan agak ragu, amalia duduk di sofa depan mama. Aku bisa melihat tubuhnya agak gemetaran. Aku jadi kasihan sama amalia.
“papa kamu kerja dimana?”
kembali pertanyaan mama keluar, amalia seperti tercekat, bingung harus menjawab apa.
“papanya sudah tak ada lagi ma, ia sekarang dengan ayah tirinya..”
kak faisal yang menjawab pertanyaan mama. Amalia semakin dalam tertunduk.
“ayah tiri..? Oh begitu.. Ayah tirimu kerja apa?”
mama terlihat sekali ingin tahu pekerjaan ayah amalia.
“aku ke belakang sebentar mau suruh bik tin bikin minum..”
ujarku sambil berdiri, mama mengangguk. Aku langsung ke dapur mencari bik tin.
Setelah meminta tolong pada bik tin agar membuatkan minuman, aku kembali keruang tamu bergabung dengan mama.
“jadi ayah kamu pengangguran?”
suara mama terdengar bagai menyiratkan ketakpercayaan. Amalia mengangguk tanpa suara.
“ibu kamu?”
bagai kurang puas dengan jawaban amalia tadi mama kembali bertanya. Kulihat kak faisal ikut ikutan gelisah.
“ma udah dong, amalia kan temannya kak faisal, untuk apa sih mama tanyakan hal tak penting begini..”
aku mengingatkan mama agar tak terlalu kebablasan bertanya, karena itu hanya akan membuat amalia semakin merasa tak nyaman.
“siapa bilang pertanyaan mama ini tak penting, selama ini faisal belum pernah membawa satupun temannya yang perempuan kerumah ini, kalau sampai faisal membawanya, pasti ada sesuatu yang khusus dengan mereka, dan mama berhak tau tentang calon menantu mama..”
jawab mama tanpa aku sangka sangka. Wajah kak faisal langsung memerah saga, demikian juga dengan amalia. Ia menunduk semakin dalam, jarinya memain main rumbai kursi sofa dengan panik.
“mama apa apaan sih..”
sungut kak faisal kesal, ia cemberut memandang mama.
“mama tak mau kalau sampai kamu memilih pacar yang salah sal, apa mama terlalu berlebihan?”
mama balik bertanya dan memandang kak faisal tajam. Aku merasa suasana menjadi mulai panas.
Bik tin menghampiri kami sambil meletakkan minuman dingin yang aku minta tadi diatas meja. Setelah itu bik tin kembali ke dapur.
“diminum mel..”
aku menawari amalia. Ia tersenyum tipis sambil mengangguk, mukanya pucat sekali.
“kamu berapa bersaudara?”
mama kembali bertanya.
“lima tante, dua kakak dan dua adik..”
jelas amalia risih.
Mama mengambil gelas diatas meja dan meminum isinya sedikit, kembali menatap amalia tajam.
“papa belum pulang ya ma?”
tanya kak faisal yang aku duga hanyalah alasan untuk mengalihkan perhatian mama dari amalia.
“belum, biasanya juga jam segini belum pulang, kamu kan udah tau.. Kok pake bertanya lagi?”
rupanya mama menyadari maksud kak faisal dan itu tak mempan.
Aku jadi mengerti sekarang, kenapa kak faisal ragu untuk mengajak amalia kerumah, kalau melihat begini reaksi mama. Aku sebetulnya tak enak hati juga sama amalia, terlihat sekali ia begitu tertekan seolah olah ingin segera terbang jauh jauh dari sini.
“sudah lama kenal sama faisal?”
mama mendorong gelas amalia pelan ke arah amalia dan memberi isyarat agar amalia meminumnya.
Seperti ragu amalia mengambil gelas minuman itu dan meminumnya sedikit.
“sudah dari kelas satu ma..”
kak faisal yang menjawab pertanyaan mama itu.
“kalian udah pacaran berapa lama?”
tembak mama langsung pada intinya. Kak faisal langsung tercengang mendengar pertanyaan mama yang nyaris tak terduga duga itu, amalia langsung terbatuk batuk, buru buru melepaskan gelas dari bibirnya dan menaruh kembali ke meja. Sebagian minuman membasahi bagian depan bajunya.
Mata mama mendelik melihat amalia yang panik mencari saputangan untuk membersihkan bajunya yang putih berceceran noda merah muda. Aku menarik nafas prihatin. Kak faisal cepat cepat menghampiri amalia dan membantunya mengelap baju amalia. Mama melihat adegan itu dengan mata melotot tak suka.
“Sal, dia belum jadi isteri kamu, jangan terlalu berlebihan…!”
ujar mama dengan suara tinggi.
Kak faisal seperti tak mendengarkan kata kata mama terus saja berusaha membantu amalia. Dengan risih amalia mencoba menolak bantuan kak faisal, hatiku tiba tiba menjadi cemburu melihat kak faisal yang begitu perhatian sama amalia.
“mama betul kak.. Kalian itu cuma pacaran..!”
kak faisal langsung berbalik begitu mendengar kata kataku tadi, ia terdiam sejenak, menggaruk kepalanya yang tak gatal, mama melemparkan lirikan penuh arti padaku. Senang karena aku mendukung kata katanya tadi. Kak faisal duduk kembali, kulihat ekspresi wajah amalia nyaris nyaris seperti mau menangis.
“rio kekamar dulu ya ma..”
aku beranjak dengan sebal, mama mengangguk. Tanpa melihat kak faisal dan amalia lagi aku langsung meninggalkan mereka dan masuk ke kamarku.
Aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, terkenang kak faisal yang begitu perhatian sama amalia membuat perasaanku tak menentu. Sebetulnya wajar saja kak faisal demikian karena amalia pacarnya. Namun hati kecilku tak sanggup untuk menerimanya. Aku mulai mengerti perasaan ini, apakah aku menyukai kakakku sendiri… Kalau itu memang betul aku bingung harus bagaimana. Aku ternyata memang seorang gay dan parahnya lagi aku menyukai kakakku sendiri, dulu aku bingung mengartikan apa yang aku rasakan terhadap rian, rupanya itu adalah perasaan mendamba. Aku tak mungkin mengatakan terus terang tentang perasaanku ini, kak faisal bisa membenciku nantinya. Aku tak ingin itu terjadi. Andai keluargaku tau, entah apa reaksi mereka. Aku tak ingin membuat suasana rumah yang tenang menjadi panas. Aku sadar, aku harus menerima resiko atas perasaanku ini. Aku hanya bisa diam diam mencintai kak faisal. Aku tak bisa berbuat apa apa untuk menghalaunya. Biarlah rasa ini akan hilang sendiri nantinya. Aku yakin aku bisa mengatasinya. Namun entah kenapa semakin aku mencoba untuk menenangkan diri, semakin kalut perasaanku. Aku sudah menyadari jati diriku yang sesungguhnya, aku makin merasa tak menentu ketika menyadarinya.
Aku turun dari tempat tidur, kemudian keluar dari kamar. Aku mengintip mama, kak faisal dan amalia dari balik gorden. Entah apa yang sedang mama katakan. Namun wajah kak faisal terlihat tegang sementara amalia tak berani menatap mama. Pastilah mama sedang menasehati mereka berdua. Aku tau mama tak setuju kak faisal berpacaran dengan amalia. Aku tak lagi membenci amalia, karena aku tau, bukan amalia yang aku benci, tapi aku benci pada diriku sendiri yang menaruh perasaan yang tak pada tempatnya. Siapapun pacar kak faisal, akan membuat aku merasa cemburu. Tapi mama beda, ketaksetujuan mama lebih diakibatkan pada latar belakang keluarga amalia. Sebetulnya aku juga tak setuju dengan mama, aku juga berasal dari keluarga dengan latar belakang yang nyaris tak beda dengan amalia. Aku telah merasakan bagaimana pahitnya tak memiliki apa apa. Hidup hanya untuk bertahan asalkan bisa makan.
Tak bisa memiliki barang barang bagus yang diinginkan seberapa kuat menginginkannya. Cari makan sehari untuk makan sehari. Tapi aku mempunyai keluarga yang harmonis. Walaupun dulu aku dan yuk tina kurang akur tapi akhirnya kami berdua bisa mengatasi masalah itu. Aku jadi merasa begitu jahat pada kak faisal, dalam hati kecilku aku merasa senang mama tak menyetujui hubungan mereka. Aku belum siap melihat kak faisal berpacaran. Kak faisal yang selalu baik dan perhatian padaku. Setiap hari dirumah selalu bersama kak faisal. Membuat aku menyayanginya lebih daripada sekedar sayang terhadap kakak.
Aku melihat amalia berdiri dan menyalami mama. Kemudian amalia berjalan ke pintu. Mama tak bergeming sementara kak faisal mencoba untuk menahan amalia, namun amalia seolah tak perduli dengan langkah terburu buru segera meninggalkan kak faisal. Mama berbalik masuk ke ruang tengah. Saat melihatku, mama tersenyum simpul kemudian naik ke tangga menuju kamarnya.
Aku segera menemui kak faisal, yang berusaha menarik tangan amalia namun ditepis amalia, setelah terlepas amalia langsung berlari meninggalkan pekarangan rumah dan kak faisal yang termangu.
“kenapa kak?”
tanyaku pura pura prihatin.
Kak faisal memandangku dengan sedih, matanya berkaca kaca. Ia menggelengkan kepala tanpa semangat dan berjalan meninggalkanku dengan lesu.
Betapa aku ingin memeluk kak faisal dan menghiburnya. Tapi aku tak ingin jadi munafik karena sebetulnya aku senang sekali melihat kejadian tadi. Kasihan kak faisal, aku nyaris kesulitan menyembunyikan perasaan senang dalam hatiku. Aku akan masuk neraka karena hal ini, Aku membatin.
****
tumben malam ini kak faisal tak kemana mana, ia hanya berkurung dalam kamar, saat aku masuk, wajah kak faisal sangat kusut. Aku menghampiri kak faisal dan mencoba menghiburnya, namun kak faisal hanya tersenyum dipaksakan, sekedar menghargai jerih payahku saja. Selama aku tinggal dirumah ini, belum pernah sekalipun aku melihat wajah kak faisal semurung ini, biasanya kak faisal selalu ceria dan penuh semangat. Aku menjadi makin iri dengan amalia, begitu berpengaruhnya amalia membuat kak faisal seperti ini.
Aku mengajaknya main game tapi kak faisal menggeleng, aku ajak makan ia juga menggeleng. Akhirnya ia menyuruh aku meninggalkan ia sendirian karena ia lagi tak mau bicara apa apa dan ingin sendirian saja tanpa ada yang mengganggu.
Aku menghela nafas kesal. Bahkan aku pun tak mampu membuat kak faisal mampu sejenak melupakan amalia.
“faisal didalam?”
tanya mama yang berdiri didepan kamar kak faisal.
“iya ma, ia lagi tak mau di ganggu..”
jawabku sambil menutup pintu kamarnya.
“nanti ia akan mengerti kalau maksud mama itu baik.. Ia masih terlalu muda, masih panjang jalan yang akan ia lalui nanti.. Kalau salah memilih pacar dan isteri, hanya akan membuatnya terjatuh.. Mama tak mau masa depannya jadi kacau hanya karena ini..”
urai mama panjang lebar. Aku mengangguk, namun tak sepenuhnya menyimak.
malam ini gerimis turun, suasana agak dingin, jalanan agak sepi dari kendaraan yang melintas, seharian aku dikamar memandangi rinai air hujan yang membasahi tanah. Daun daun bergoyang karena berat menampung tetesan air yang mengumpul diatasnya. Suasana hatiku saat ini tak menentu, kak faisal mengurung diri dalam kamar sejak tadi sore, aku sudah coba memanggilnya tapi tak ada respon, entah kak faisal sudah tidur atau ia memang sengaja tak menjawab. Aku tak tahu kak faisal pasti marah sama mama, tapi mama pasti punya alasan tak menyetujui hubungan kak faisal dengan amalia. Walaupun aku tak sepenuhnya setuju kalau materi yang dijadikan alasannya.
“rio.. Udah tidur ya?”
terdengar suara om sebastian dari luar kamarku sambil mengetuk pintu.
“belum om.. Masuk aja..”
jawabku agak keras.
Handle pintu diputar pintu terbuka, om sebastian masuk kedalam kamarku.
“lagi ngapain yo?”
aku menoleh ke om sebastian.
“nggak ngapa ngapain om, emangnya kenapa?”
“jalan sama om mau nggak?”
om sebastian berdiri disampingku.
“kan gerimis, emangnya om mau mengajak aku kemana?”
om sebastian melingkarkan lengannya di bahuku.
“Nanti kamu juga tau sendiri, mau nggak?”
om sebastian mengulangi pertanyaannya.
Aku mengangguk cepat, aku senang om sebastian mengajak aku jalan jalan, selama aku disini, baru kali ini om sebastian mau mengajak aku dan aku tak mau menyia nyiakan kesempatan ini.
Setelah pamit sama mama dan papa, aku mengikuti om sebastian ke garasi, om sebastian menyuruh aku masuk ke dalam mobil, tadinya aku kira om sebastian bakalan mengajak aku jalan pake motornya.
Sepanjang perjalanan kami mengobrol dengan asik, banyak hal yang aku ceritakan sama om sebastian, termasuk kejadian tadi sore. Om sebastian agak terkejut mendengar ceritaku itu. Ia cuma menggeleng gelengkan kepalanya.
“ini 19 ilir, masjid itu namanya masjid agung..”
om sebastian menunjuk sebuah masjid berwarna putih yang megah, aku terpana menatap masjid itu, memang sebelumnya aku sudah pernah melihat masjid agung, soalnya teman teman sering mengajak aku berkeliling di jalan merdeka ini.
“wah om, masjid itu bagus banget ya..”
aku berkomentar sekadar menyenangkan hati om sebastian.
“iya yo.. Kalo dibanding dengan masjid terbesar di bangka, masih besar masjid agung.. Dibangka itu surau..hehehe”
om sebastian menyombongkan kemajuan kotanya. Aku mencibir mendengar om sebastian.
“kita ke jembatan ampera aja.. Kamu pasti belum pernah melihat jembatan itu malam hari.”
“wah boleh tuh om”
jawabku antusias.
meskipun gerimis banyak yang nongkrong di area dekat jembatan ampera, om sebastian memarkir mobil di tempat yang agak strategis dekat pinggiran sungai. Beberapa gerobak berbaris menjual nasi goreng, mie rebus dan macam macam makanan. Aku menyusuri pinggiran sungai musi yang beriak riak berkilau terkena pancaran cahaya lampu. Betul betul indah.
“kesitu aja ya..!”
tunjuk om sebastian ke satu arah.
Aku mengangguk mengikuti om sebastian. Dibeberapa sudut kulihat ada beberapa orang sedang berdua duaan, sepertinya mereka sedang pacaran.
“om kok nggak bawa pacarnya aja?”
tanyaku ingin tau.
Om sebastian tak menjawab, ia tersenyum kecil dan merangkul pundakku.
“duduk disini aja ya, kamu lapar nggak, mau om beliin bakso?”
“boleh om, agak lapar nih.. Hehehe..”
“tunggu disini sebentar, jangan kemana mana..”
om sebastian meninggalkanku, ia mendekati gerobak bakso yang berada tak begitu jauh dari tempat aku duduk.
Aku memandang ke depan melihat air sungai yang berombak kecil, rinai air hujan yang setipis benang masih jatuh sesekali membentuk bercak tak kasatmata diatas sungai.
“terkadang kalau lagi suntuk om bisa berjam jam duduk disini, rasanya begitu tenang..”
ujar om sebastian yang tak aku sadari sudah berdiri di sampingku.
Aku memandang om sebastian dengan tertarik.
“dulu om selalu disini bersama pacar om…”
om sebastian menggantung kata katanya.
“lalu, dimana pacar om sekarang?”
tanyaku dengan penasaran.
Om sebastian tercenung menatap sungai dengan nanar, seolah sedang mengingat kejadian yang telah berlalu.
“itu sudah lama sekali, bertahun tahun lalu waktu om masih sma…”
“pacar om sekarang dimana?”
selidikku curiga melihat ekspresi sedih yang jelas terpeta di raut wajah om sebastian.
“dia sudah lama meninggal…”
tandas om sebastian dengan suara bagai tercekik. Aku terpana menatap wajah om sebastian.
Keheningan beberapa saat antara aku dan om sebastian, hingga penjual bakso mengantarkan dua porsi bakso pesanan om sebastian tadi.
“dimakan rio, ntar keburu dingin..!”
perintah om sebastian karena melihat aku masih bengong dan mengabaikan bakso yang ditaruh bapak tadi di sampingku.
“iya om..”
aku mengangguk, om sebastian juga mengangkat mangkok baksonya.
Kami makan bakso tanpa bicara hingga habis seluruh isi dalam mangkok. Aku menaruh mangkok kosong disampingku.
“pacar om meninggal karena apa?”
aku masih penasaran dengan cerita om sebastian yang belum tuntas.
“bunuh diri…”
jawab om sebastian refleks.
“bu-nuh…di..ri..?”
aku setengah tak percaya.
Om sebastian mengangguk.
“apa masalahnya om…?”
suaraku bergetar menanyakan itu.
“hubungan kami di tentang oleh kedua orangtua, entah siapa yang mengadu sama mama tentang hubungan kami..”
om sebastian menunduk seolah serius melihat air sungai.
“kenapa sampai orangtua om tak setuju?”
aku menjadi semakin tertarik.
“karena dia lelaki…”
om sebastian menatapku tajam, jantungku terasa langsung berhenti berdetak mendengarnya.

1 komentar: