Kamis, 03 Maret 2011

“fairuz….”
suara mama terdengar seperti tercekik.
“iya… Kenapa tante, kaget melihat saya, atau tante tidak suka dengan kedatangan saya?”
ia menerobos masuk tanpa memperdulikan siapapun yang ada diruangan ini.
Om sebastian berdiri mencegatnya.
“jangan macam macam fairuz, apa maksud kamu datang kemari, apa kamu mau membuat kekacauan lagi seperti dulu..?”
hardik om sebastian marah.
Aku terdiam memperhatikan kejadian itu, terus terang aku sangat kaget sekali. Tadi sempat aku mengira itu kak faisal, mengapa mereka begitu mirip sekali, walaupun setelah aku melihatnya beberapa lama terlihat kalau dia lebih tua dari kak faisal, aku perkirakan umurnya sekitar 27 tahun. Dia juga punya kumis tipis dan jambang yang tebal yang tak dimiliki kak faisal. Sorot matanya pun terlihat agak sangar. Siapakah dia, kenapa mama begitu kaget.
“kenapa tak mengabari saya..?”
ia bertanya pada mama, suaranya begitu dingin.
“mama tak tahu kemana harus menghubungi kamu..”
jawab mama singkat, mama terlihat semakin gelisah. Sementara itu kedua orangtua amalia masih tercengang menatap pemuda yang baru datang itu.
“papa kemana?”
“papamu lagi dirumah kakek mu di dusun..”
“aku tadi dari makam faisal, aku baru mendapat kabar ia meninggal kemarin..”
katanya sambil duduk di kursi.
Jadi dia bernama fairuz, ia juga anak papa, kalau begitu selama ini rupanya kak faisal punya seorang kakak yang bernama fairuz, sudah hampir delapan tahun aku tinggal disini baru hari ini aku mengetahui tentang semua ini. Masih ada hal yang disembunyikan dariku. Ternyata kak faisal bukan satu satunya putera kandung papa, masih ada fairuz.
lalu kemana dia selama ini. Kenapa baru muncul hari ini. Aku sedikit takut dengannya. Terus terang saja ada sesuatu yang tak aku sukai dari sikapnya, Sorot matanya dan juga cara ia bicara yang terkesan angkuh.
“kamu datang kesini sama siapa?”
tanya om sebastian tajam.
“sendirian om, memangnya kenapa? Jangan takut… Mama tak akan pernah datang kemari, ia tak sudi menginjak rumah ini selama perempuan masih disini..”
ia menunjuk mama tak sopan. Mama tak bereaksi apa apa cuma diam. Wajah mama betul betul kalut, belum pernah aku melihat mama sepucat itu.
“kamu sudah melihat makam adik kamu, jadi kamu sudah boleh pergi..”
ujar om sebastian datar.
“wah om.. Lupa ya kalau aku berhak berada disini, aku adalah anak suharlan…”
ia tersenyum melecehkan om sebastian.
Melihat gelagat yang kurang nyaman, ibu dan ayah amalia pamit pulang. Mama mengantar mereka hingga ke beranda, setelah itu mama kembali masuk. Belum ada keputusan apapun yang diambil mengenai nasib amalia. Kedatangan kak fairuz yang tak terduga duga seolah membawa hawa yang tak menyenangkan dalam rumah ini.
“sudah siang, lebih baik kita semua makan dulu..”
ajak mama sambil berjalan menuju dapur. Om sebastian dengan kedua temannya berdiri. Aku pun ikut berdiri lalu beranjak ke dapur.
“bas, tolong kamu jangan kemana mana dulu, tinggallah sedikit lama disini, paling tidak setelah fairuz pergi..”
mama memohon pada om sebastian agak berbisik seolah tak ingin terdengar oleh kak fairuz.
“iya kak tenang aja.. Yang penting sekarang aku makan dulu, sudah lapar banget nih..”
om sebastian menepuk perutnya yang datar.
“oh ya maaf.. Silahkan duduk, sebentar saya sama bibik persiapkan makan siangnya dulu ya..”
mama tersipu melihat kedua teman om sebastian yang masih berdiri menunggu. Lalu mama pergi ke dapur masak. Bik tin keluar dengan membawa mangkuk porselen berisi lauk pauk yang aromanya membangkitkan selera lalu menyusunnya diatas meja. Aku duduk disamping om sebastian, baru saja aku mau menanyakan tentang kak fairuz tiba tiba kak fairuz masuk ke ruang makan.
“wah aku tak ditawari makan siang ya.. Tak apa apa lagian tadi saya sudah makan, jadi tak perlu kelaparan disini..”
katanya terdengar sinis, ia merogoh saku jaketnya dan mengambil sebungkus rokok lalu menyulutnya sebatang. Ia menghembuskan asap dari mulutnya dengan gaya seorang koboi.
Aku mencuri curi melihatnya diam diam namun tak urung juga ia memergoki aku. Ia langsung melotot. Buru buru aku membalik piring di depanku dengan kikuk.
“siapa kamu?”
tanya kak fairuz yang entah kapan sudah berdiri di belakangku. Sesaat aku terdiam, bingung harus menjawab apa.
“anak mama..”
mama yang baru keluar dari dapur sambil membawa sepiring ikan bakar yang menjawab.
“anak tante…?”
kak fairuz nyaris berteriak seolah betul betul kaget mendengar jawaban mama.
“iya… Memangnya kenapa,.. Kamu kaget…?”
mama balik bertanya.
“bukannya waktu tante dulu menikah dengan papaku, tante tak punya anak?”
kak fairuz menyipit menatap mama.
“mama sudah punya anak waktu menikah sama papa kamu.. Tolong fai, nanti saja kita bahas masalah ini, mama akan jelaskan semuanya nanti..”
mama mengerling pada kedua teman om sebastian yang masih diam duduk dikursi makan.
“silahkan makan, maaf siapa namanya?”
tawar mama dengan ramah.
“saya bernhard tante..”
jawab yang mirip orang flores.
“saya wahyudi tante..”
yang agak putih dan ganteng menjawab.
“oh ya silahkan dimakan nak wahyudi, nak bernhard.. Jangan sungkan sungkan..”
Mama kembali menawari mereka dengan ramah.
Kak fairuz menarik kursi kosong yang ada disampingku.
“bik ambil piring satu lagi..”
mama memerintah bik tin.
“tak perlu, saya tak makan..”
larang kak fairuz.
Bik tin yang baru saja mau beranjak mengambil piring untuk kak fairuz jadi serba salah. Bergantian ia memandang mama dan kak fairuz untuk menyakinkan siapa yang harus ia ikuti perintahnya. Aku yakin bik tin juga pasti bingung dengan keberadaan kak fairuz saat ini, kemunculannya yang begitu mendadak dan seolah mama tak mengharapkannya.

“nama kamu siapa?”
ia bertanya padaku lagi.
“rio..”
aku menjawab singkat, nyaris saja aku tersedak oleh ayam yang aku kunyah dan hampir aku telan namun tak jadi. Buru buru kuambil segelas air dan meminumnya.
“senang tinggal disini?”
tanyanya lagi.
Aku menoleh menatapnya, pertanyaannya begitu aneh seolah hendak menghinaku dari nada suaranya.
“fairuz jaga sikap kamu, rio lagi makan… Nanti saja kalau mau tanya tentang dia tunggu dia selesai..”
peringat om sebastian tak suka. Kak fairuz cuma tersenyum sinis lalu berdiri mendorong kursi dan meninggalkan kami.
Aku lihat mama seperti tak begitu berselera makan. Mama seolah sedang berpikir, bagaikan ada masalah berat yang menghimpit di pikirannya.
Setelah kami semua selesai makan, bik tin membereskan meja. Teman om sebastian langsung pamit karena mau kembali ke kantor, sedangkan om sebastian tetap tinggal atas permintaan mama. Aku pergi ke kamarku, lalu masuk kamar mandi dan menggosok gigi. Aku memandang bayangku di cermin. Masih sedikit sembab mataku akibat terlalu sering menangisi kak faisal. Sampai detik ini entah kenapa rasanya aku belum juga bisa merelakan kepergian kak faisal. Terkenang masa masa bersamanya begitu membuatku sedih. Terlalu banyak kenangan yang indah untuk dikenang. Walaupun kak faisal pergi dengan meninggalkan masalah yang belum terselesaikan, namun itu tak mengurangi perasaan sayang dan hormatku terhadapnya. Andai saat ini kak faisal masih hidup dan menyaksikan sendiri kedatangan kak fairuz, aku tak tahu bagaimana reaksi kak faisal. Tak sedikitpun aku menduga ternyata kak faisal punya kakak. Aku tak bisa tak percaya karena mama dan om sebastian telah menyakinkan aku kalau kak fairuz memang kakak nya kak faisal yang berarti anak papa atau anak tiri mama, namun kenapa ia memanggil mama dengan tante bukannya mama yang seperti faisal memanggil mama. Sikapnya juga sangat tak ramah terhadap mama seolah ia sangat membenci mama. Aku akan menanyakan semua ini pada mama nantinya. Aku tak suka mendapat kejutan seperti ini. Aku betul betul tak siap.
Setelah selesai menggosok gigi aku keluar dari kamar mandi. Aku naik keatas tempat tidur. Baru saja aku mau memejamkan mata, terdengar suara ribut dari ruang tamu. Bergegas aku turun dari tempat tidur dan berlari keluar kamar.
Betapa kagetnya aku saat melihat kak fairuz sedang menarik mama dengan kasar menyeret mama keluar dari rumah. Sementara itu om sebastian berusaha sekuat tenaga menahan kak fairuz hingga kak fairuz jatuh terjerembab diatas lantai. Kak fairuz berdiri dengan cepat hendak menarik mama lagi namun tiba tiba om sebastian melayangkan tinjunya tepat mengenai muka kak fairuz. Mama menangis terisak. Aku berlari menghampiri mama.
“jangan halangi saya om.. Jangan halangi saya.. Perempuan ini yang telah menyebabkan adikku meninggal..”
teriak kak fairuz sangar mukanya memerah hingga nampak bengis. Urat urat lehernya bertonjolan. Om sebastian menahannya dengan kuat membekap kak fairuz agar jangan sampai kelepasan menyakiti mama lagi.
“kak masuk kamar kakak sekarang.. Rio cepat bawa mama kamu masuk kamar, kunci pintunya cepat…”
perintah om sebastian sambil terengah karena kak fairuz beronta untuk melepaskan diri dari om sebastian. Aku tercengang kebingungan. Hingga aku seperti orang kikuk.
“rio cepaaaat.. Bawa mama kamu masuk ke dalam kamar..”
om sebastian mengulangi lagi perintahnya kali ini dengan suara yang lebih tegas dan keras. Seolah baru tersadar aku langsung menuntun mama dengan cepat masuk ke dalam kamarnya. Aku mengunci pintu kamar mama. Mama duduk diatas tempat tidur, bahu mama tergoncang goncang karena menangis. Aku mendekati mama dan memegang bahunya. Mama mendongak memandangku. Air mata mama berlinang membasahi pipinya.
“ma ada apa ini? Kenapa ma.. Rio butuh penjelasan sekarang.. Kenapa kak fairuz bisa tiba tiba ada.. Kenapa ia begitu membenci mama, kenapa juga mama tak pernah bercerita tentang keberadaannya selama ini?”
aku mencecar mama dengan pertanyaan pertanyaan.
Mama menyusut airmatanya dengan ujung lengan baju. Mama menarik nafas berat. Sambil menunduk mama bercerita dengan suara bercampur isakan.

+++

“sudah saatnya kamu tahu semua cerita tentang masa lalu kamu dan mama, sebelum kamu tahu dari orang lain, hingga kamu membenci mama, lebih baik mama mengambil resiko itu, mama tak mau lagi menutupinya…”
ujar mama terisak isak. Aku menatap mama kebingungan, air mata mama masih deras mengalir. Aku jadi kasihan sama mama.
“sudahlah ma, kalau mama memang tak sanggup untuk menceritakannya, rio tak memaksa ma… Rio tak mau mama sampai sakit..”
aku memegang tangan mama dan kuusap lembut. Mama merangkulku dan bersandar didadaku.
“tidak sayang, sudah waktunya kamu tau, kamu sekarang telah dewasa dan bisa berfikir… Mama tak mau lagi menyimpan ini…”
mama membantah tetap tegas pada pendiriannya. Aku menghela nafas panjang, mama memang keras kepala, kalau sudah memutuskan sesuatu tak bisa terbantah.
“terserah mama kalau begitu, asalkan mama tak tertekan hingga membuat mama sakit, memangnya apa sih yang mama mau ceritakan?”
tanyaku hati hati. Mama tersenyum lemah.
“waktu itu mama masih terlalu muda, baru berusia delapanbelas tahun, mama berkenalan dengan seorang pria yang membuat mama terhanyut, begitu tampan.. Baik dan simpatik.. Yang telah membuat dunia mama jungkir balik…”
mama berhenti, menarik selembar saputangan dari dalam saku blousenya lalu menyusut hidungnya.
Aku menunggu dengan sabar mama melanjutkan ceritanya, aku begitu ingin mengetahui bagaimana awalnya hingga aku ada didunia ini. Apakah itu disebabkan karena cinta atau keterpaksaan saja. Sudah begitu lama aku mengharapkan mengetahui semua ini. Hari ini semua akan segera terungkap.
“pemuda itu bernama alvin, dia sangat baik, begitu banyak yang menyukainya.. Mama masih mengingat dengan jelas bagaimana pertemua kami pertama kali, waktu itu mama baru lulus sma, bersama teman teman di belinyu bangka mama membantu bibi kamu, kakak mama, menjaga warungnya. Disitulah awal mama berkenalan dengan alvin, hampir setiap hari dia belanja di toko itu. Hingga pada suatu hari mama memberikan uang kembalian lebih karena salah menghitung. Ia kembali lagi untuk memulangkan sisanya. Mama terpesona dengan kejujuran alvin. Kami berkenalan, setelah itu kami berdua sering bertemu, dalam beberapa kali bersama, entah kenapa mama jadi semakin menyukainya.. Alvin berasal dari medan tapanuli, anak dari orang yang cukup berpengaruh… Mama sebetulnya tau kalau tak mungkin bisa berhubungan dengan alvin.. Tapi perasaan cinta mama sudah begitu dalam.. Begitu juga alvin, dia sangat menyadari posisinya dalam keluarga yang menjunjung tinggi patrinealisme, masih memegang adat dengan erat. Ibaratnya hubungan kami itu bagai mahligai diatas pasir. Begitu banyak perbedaan yang memberi jarak pada kami… Namun pikiran yang belum matang dimasa menuju kedewasaan membuat kami tak mengindahkan semua itu, hingga akhirnya keluarga alvin tau mengenai hubungan kami..”
mama berhenti sejenak untuk menarik nafas. Keletihan tampak memayungi matanya.
“apakah keluarga alvin menentang hubungan mama dengan alvin ma?”
tanyaku ingin tahu. Mama mengangguk.
“iya sayang… Sejak mereka tahu, alvin dicari oleh kakaknya, ia disuruh pulang ke medan, tapi alvin menolak, ia tak mau menuruti keinginan keluarganya untuk meninggalkan mama, namun keluarganya tak mau menyerah, mereka tak ingin kesalahan terulang untuk kedua kalinya, kakak perempuan alvin yang paling tua dibuang oleh keluarganya karena menikah dengan muslim dan menjadi mualaf, padahal alvin begitu dekat dengan kakaknya itu, ia sangat bersedih kehilangan jejak kakaknya.. Sampai pada suatu hari alvin mengajak mama menikah. Mama yang terlanjur sangat mencintainya menerima pinangan alvin, kami menikah tanpa persetujuan keluarganya, menikah secara islam dirumah nenekmu.. Saat itu mama merasa paling bahagia didunia ini..”
mama kembali berhenti karena menangis lagi. Aku ikut menangis bersama mama. Aku bisa membayangkan betapa menderitanya mama.
“dua bulan mama tinggal dirumah nenek bersama suami mama, alvin.. Sedikit sedikit ia mulai belajar mengaji dan sholat, walaupun dia belum menjadi muslim.. Itu membuat mama semakin mencintainya.. Tak lama kemudian mama hamil.. Mengandung kamu nak… Buah cinta mama dengan alvin papa kamu..”
suara mama semakin tersendat sendat. Aku menggenggam tangan mama semakin kuat. Mama tak tahu kalau aku telah mengenal om alvin, aku dekat dengan papa kandungku. Aku sudah bisa membayangkan kenapa mama bisa mencintainya. Om alvin yang sangat tampan, kharismatik, cerdas.. Sederetan kelebihan kelebihan yang ia miliki wajar saja mama sampai sebegitunya.
“saat keluarga papamu tau mengenai pernikahan kami, mereka mencari papa kamu, setelah berhari hari mereka berhasil menemukan kami, anehnya mereka tak marah, malah mereka menyuruh papa dan mama ikut mereka ke medan. Pertama mama bersama mereka keadaan baik baik saja, mereka baik dan perhatian sama mama, ditambah lagi mama lagi hamil, kemudian seminggu setelah itu, papa kamu ikut amangtuanya Ke sibolga, saat itulah topeng mereka terbuka, mama mereka siksa, tak ubahnya seperti pembantu, dalam keadaan hamil mereka menyuruh mama berkerja berat, mulai dari membereskan rumah, mencuci baju hingga memasak, semua mama sendiri yang mengerjakan. Kalau ada kesalahan sedikit saja mereka mencaci mama.. Bahkan tak segan memukul mama..”
mama sesungukkan menangis.
“shhhh… Mama sudahlah.. Jangan diteruskan kalau itu membuat mama sakit…”
aku menenangkan mama, namun ia menggeleng.
“tidak nak, kamu berhak mengetahui semuanya.. Agar dikemudian hari tak lagi terjadi kesalahpahaman.. Mama tak mau lagi memendam ini sendirian..”
mama masih bersikeras. Aku menggeleng gelengkan kepala penuh keprihatinan.
“dua minggu lebih papamu belum juga pulang, entah apa yang dia lakukan di sibolga.. Opung borumu mengatakan kalau papamu dipertemukan dengan paribannya disana.. Dan mereka akan menikah nantinya.. Saat itulah kesabaran mama habis, mama menampar mulut opung borumu, entah setan apa yang membisikkan mama untuk melakukannya, hingga terjadi keributan besar. Sejujurnya mama sudah tak tahan lagi, setiap hari dihina.. Kesabaran mama ada batasnya. Nantulangmu memukul mama begitu juga saudara saudara papamu yang lain, malamnya mama kabur diam diam, dengan menumpang mobil truk yang lewat mama ke palembang kemudian naik kapal kembali ke bangka…”
aku termenung mendengarkan cerita mama tanpa bersuara, aku menyimak dan membayangkan cerita yang mama alami, ternyata cerita emak dulu nyaris sama.. Betapa berat penderitaan mama.
“mama bertemu dengan emak angkat kamu.. Dia yang telah banyak membantu mama, sebetulnya mama banyak berhutang budi padanya.. Mama sangat menyesal pernah bersikap kasar kepadanya..”
mama berhenti menarik nafas lagi.
“setelah usia kamu beberapa bulan mama meninggalkanmu diam diam.. Mama percaya kalau kamu telah berada di tangan orang yang tepat… Mama pergi ke palembang dengan hati yang hancur karena harus meninggalkan kamu… Betapa mama menyayangi kamu.. Namun mama punya impian.. Mama ingin menjadi orang yang kaya, yang tak akan ditindas lagi oleh orang orang, mama ingin punya kedudukan serta kekuasaan.. Akhirnya mama terpaksa bekerja di tempat hiburan malam di palembang ini…”
jantungku terasa berhenti berdetak mendengar pengakuan mama. Ternyata mama sampai bertindak sedemikian jauhnya demi mendapatkan uang. Aku betul betul sedih, aku menangis seakan tak terima.
“maafkan mama nak.. Mama tak tau lagi harus melakukan apa waktu itu.. Mama sedang galau, hanya itu pekerjaan yang bisa mama lakukan sebagai penyambung hidup.. Mama juga terpaksa melakukannya.. Setiap kali mama melayani tamu, wajahmu selalu terbayang, setiap malam mama menangis setiap ingat kamu, wajahmu yang masih polos, mama berdosa dan dikejar kejar perasaan berdosa.. Tapi mama tak bisa berbuat banyak..mama ingin kembali menjemputmu bila mama telah berhasil…… Tak lama kemudian mama kenal dengan suharlan papa tiri kamu.. Ia sangat sopan dan baik sama mama.. Ia tak seperti kebanyakan pria yang datang kepada mama, ia memperlakukan mama seperti seorang wanita terhormat. Padahal mama tahu saat itu suharlan telah beristri dan punya dua orang putera. Mama bermain api dengannya.. Walaupun ia tak pernah berlaku tak senonoh, justeru hal itulah yang menimbulkan rasa simpati mama terhadapnya. Secara diam diam mama berpacaran dengannya.. Dan mama jadi mencintainya.. Ia adalah lelaki impian mama yang bisa mewujudkan keinginan mama, masih muda, sukses dan murah hati.. Ia memberikan mama hadiah yang mahal mahal, dari gaun, perhiasan hingga mobil, semuanya ia berikan pada mama. Lambat laun hubungan kami diketahui oleh laras, tante kamu.. Adik papa tirimu. Ia mengancam akan memberitahukan hubungan kami pada isteri papamu. Tapi papamu tak bergeming, ia sangat mencintai mama, ditambah lagi hubungan dengan isterinya tak harmonis lagi, percekcokan sering terjadi. Mama menikah dengan papamu dan menjadi isteri keduanya. Papamu membelikan mama sebuah rumah yang cukup mewah, ditambah lagi modal untuk membuka usaha.. Mama merintis usaha mama dengan giat hingga menjadi sukses seperti yang kamu lihat sekarang ini… Salon mama berkembang pesat, hingga mama bisa membuka cabang dibeberapa kabupaten..bertolak belakang dengan usaha papa kamu, entah kenapa usahanya semakin hari semakin merugi hingga nyaris bangkrut, papamu betul betul terpuruk, namun ia tak mau menerima bantuan dari mama.pada suatu hari saat mama lagi dirumah, seorang wanita datang, ia mengamuk, ternyata itu isteri papa tirimu. Heboh sekali kejadian itu. Ia membawa puteranya yaitu kakak tirimu si fairuz yang waktu itu masih kecil, ia menuduh mama macam macam, mama dibilang mengeruk harta suaminya, membawa sial dan lain sebagainya. bertepatan papamu datang keributan besar tak dapat lagi dihindari hingga berakhir dengan perceraian mereka, akhirnya mama berhasil memiliki papa tirimu seutuhnya. Fairuz dibawa oleh isteri pertama papamu, sedangkan faisal ikut mama. Menganggap dia sebagai pengganti kamu, mama sangat menyayangi faisal, mama sangat memanjakannya karena pada dia mama seolah menemukan dirimu… Sejak saat itu mama tak pernah lagi mendengar kabar mantan isteri papamu. Terakhir yang mama tahu mereka telah pindah ke jakarta. Ia menikah lagi dan menetap dijakarta. Mama berhasil mewujudkan cita cita mama.
tapi ambisi mama tak berhenti hingga disitu, berhubung usia mama masih muda baru 21 tahun, mama mendapat tawaran bekerja disebuah bank swasta, disitu karir mama berkembang pesat hingga mama bisa menjadi direktur utama di bank itu. Mama berhasil melampaui papa kamu sekalipun…”
mama terdiam sejenak. Aku menunggu mama melanjutkan. Aku tak dapat menerka apa yang sedang mama pikirkan, wajah mama sulit untuk dibaca, tak ada lagi airmata karena mama telah mengeringkannya dengan saputangan yang ia pegang. Wajar saja kak fairuz begitu membenci mama karena ia tahu yang terjadi, ia sudah cukup mengerti kejadian yang membuat papanya bercerai dengan mamanya. Mungkin rasa trauma yang ia alami berkembang jadi kebencian, wajar saja ia membenci mama, andaikan aku yang berada pada posisi kak fairuz, aku juga akan berbuat yang sama. Aku sedih, aku tak tahu harus marah, kecewa atau membenci semua ini, namun bagaimanapun semuanya sudah terlanjur terjadi, mungkin mama terpaksa melakukan semua itu karena telah merasakan kerasnya hidup.
“izinkan mama meneruskan cerita mama ini nak..semoga setelah kamu tau semuanya, kamu tak akan membenci mama…”
suara mama pelan dan terdengar parau. Aku menggeleng kaku, sakit rasanya leherku.
“butuh waktu beberapa tahun setelah itu untuk mama mengakui kepada papamu kalau mama punya kamu, yang mama tinggalkan di bangka.. Untungnya papamu tak marah, ia bisa mengerti dan memahami mama, ia mengizinkan mama untuk menjemput kamu. Dan disinilah sekarang kamu berada nak.. Bersama mama..”
mama mengakhiri ceritanya. Aku menunduk membayangkan semua yang baru saja diceritakan mama, rupanya ini kisah hidupku.
“ma.. Ada satu yang ingin rio tanyakan.. Apakah papa kandung rio pernah melihat rio.. Apakah dia tahu tentang rio?”
aku tak dapat menahan keingintahuanku.
Mama menggeleng.
“tidak sayang, papamu belum pernah sekalipun bertemu dan melihat kamu. Mama pernah bertemu sekali dengannya waktu mama pergi ke jambi, mama meminta surat cerai darinya.. Itu sebelum mama menikah dengan papa tirimu. Ia sempat menanyakan tentang kamu, namun mama berbohong, mama bilang telah menggugurkan kamu…”
jawab mama pasti. Ia menatap mataku dalam dalam, seperti ingin melihat ada kemarahan dalam sinar mataku, namun aku terlalu capek untuk marah, jiwaku terlalu lelah melakukan itu, marah terlalu mewah bagiku saat ini.
Aku berdiri meninggalkan mama, ia sepertinya hendak berbicara lagi namun ia urungkan. Aku keluar dari kamar mama dan menutup pintu.
Om sebastian sedang duduk di sofa depan televisi. Ia menoleh waktu melihat aku keluar dari kamar mama.
“mama kamu sudah tak apa apa lagi yo?”
tanya om sebastian sambil berdiri.
Aku menghampiri om sebastian lalu duduk disampingnya. Om sebastian kembali duduk.
“mama lagi istirahat dikamarnya om..”
jawabku apa adanya.
“fairuz lagi istirahat di kamar almarhum… Sepertinya ia bakalan lama disini.. Aku kuatir sama kamu dan mama kamu yo..”
om sebastian terdengar gelisah.
“aku juga om, tadi mama sudah bercerita, aku jadi takut om, kak fairuz betul betul membenci mama, bisa jadi ia akan membenci aku juga nantinya. Kalau sampai itu terjadi, aku tak tahu lagi harus bagaimana…”
aku mengeluh pada om sebastian.
“kalau ada apa apa kamu telpon om saja yo..”
om sebastian mencoba menawarkan jalan keluar.
“semoga tak ada apa apa om.. Aku akan berusaha mendekati kak fairuz, dulu kak faisal juga begitu, ia tak menerimaku, tapi lama lama ia bisa menganggap aku sebagai adiknya kan..”
aku tak mau membuat om sebastian terlalu kuatir.
“semoga saja begitu ya yo, om berharap kamu bisa merubah fairuz, tapi sepertinya berat, pastilah mamanya telah menanamkan dalam otaknya untuk membenci mama kamu yang ia anggap sebagai perusak rumah tangganya dengan papamu. Kita berdoa saja semoga ia bisa berubah…”
harap om sebastian.
Aku cuma bisa mengangguk dan berdoa dalam hati. Semoga apa yang diharapkan om sebastian bisa jadi kenyataan, semoga aku bisa mendekati kak fairuz, sebetulnya aku senang sekali dengan kehadiran kak fairuz, seolah olah mendapatkan kembali kak faisal, mereka berdua begitu mirip, aku betul betul berharap bisa dekat, aku ingin mempunyai seorang kakak. Agar aku tak lagi merasa kesepian dirumah ini.
********
.
Jam tujuh malam sekarang, bik tin sedang sibuk menyiapkan makan malam, om sebastian sempat pulang sebentar tadi sore, namun ia segera kembali lagi bersama tante sukma, aku meminta mereka berdua menginap disini. Tante sukma membantu bik tin memasak di dapur, tante sukma orangnya sangat ramah, dari tadi sore ia mengajak aku mengobrol agar aku bisa melupakan sejenak kesedihan karena kehilangan kak faisal, tante sukma juga ingin melihat sendiri fairuz yang selama ini ia tak tau. Tapi kak fairuz belum keluar dari kamarnya semenjak sore tadi. Aku tak tahu apakah ia masih tidur atau enggan untuk keluar kamar.
Saat makan malam telah siap, aku memanggil mama di kamarnya. Mama keluar dan bergabung di meja makan bersama om sebastian dan tante sukma.
“fairuz nggak makan malam ya?”
tanya tante sukma.
Mama memandang tante sukma lalu melihat om sebastian.
“tak apa apa kak, ada aku disini, rio tolong kamu panggil fairuz di kamar..”
perintah om sebastian. Aku yang baru saja mau duduk jadi urung. Aku ragu. Om sebastian mengangguk untuk meyakinkan agar aku tak takut. Akhirnya walaupun dengan perasaan ragu aku beranjak menuju kamar kak faisal.
Aku mengetuk pintunya dengan pelan.
“kak fairuz.. Makan malam kak..”
tak terdengar jawabn.
“kak.. Makan dulu, nanti kakak lapar..”
aku mencoba membujuknya, aku yakin kak fairuz pasti mendengarkan.
Tiba tiba pintu terbuka dengan disentak, kak fairuz berdiri dengan bertelanjang bulat sambil berkacak pinggang. Rambutnya acak acakan, matanya masih merah pertanda baru terbangun. Wajah kak fairuz seperti tak senang. Mendadak aku gemetaran. Mataku beralih ke bagian bawah pusarnya. Aku ternganga.

++++

“berisik banget sih, ada apa?”
tanya kak fairuz kesal sambil menggaruk garuk area terlarangnya dengan cuek. Aku menahan nafas, gila…! Kak fairuz tidur siang dalam keadaan telanjang bulat, dan dia juga berani masih dalam keadaan bugil membuka pintu, andai orang lain yang memanggilnya tadi tak bisa aku bayangkan bagaimana reaksi mereka.
“maaf kak, udah waktunya makan malam, kakak dipanggil mama untuk makan malam..”
setengah mati aku menahan agar jangan sampai mataku terus melirik ke bagian bawah tubuh kak fairuz.
“aku nggak lapar, makan aja kalian sana!…”
jawab kak fairuz kasar kemudian berbalik dan membanting pintu. Aku nyaris terlonjak kaget, hidungku cuma berjarak beberapa senti dari daun pintu yang mengeluarkan bunyi berdebam. Aku menyeret langkah kembali ke ruang makan. Mama, om sebastian dan tante sukma menoleh kearahku.
“mana fairuz?”
tanya om sebastian, aku mengangkat bahu.
“kalau fairuz ada disini, kemungkinan besar mamanya juga ada di palembang, tak mungkin ia tak menziarahi kuburan faisal..”
ujar mama masuk akal, om sebastian mengangguk setuju.
“iya kak, aku juga berpikiran demikian, belasan tahun sudah mereka menghilang tanpa kabar dan kembali sekarang, aku bingung mereka mendapat kabar kalau faisal meninggal entah dari siapa..”
gumam om sebastian. Tante sukma mengulurkan piring berisi nasi kepada om sebastian.
“kak mega, kalau saran saya sih mendingan kakak telpon bang harlan, suruh dia pulang secepatnya, mungkin dengan ada papanya disini, fairuz bisa lebih segan..”
saran tante sukma.
“aku sudah coba telpon bang harlan, tapi nggak aktif, telpon kerumah syahrul juga nggak ada yang angkat, mungkin mereka lagi pergi dek sukma..”
jawab mama lesu.
“aku akan coba menghubungi bang harlan nanti kak..”
timpal om sebastian.
“makasih dek, semoga bang harlan mau pulang karena tahu ada anaknya datang..”
harap mama.

PRAAAAANG.!!!

kami semua kaget mendengar suara entah apa yang pecah dari ruang tamu. Mama menoleh ke om sebastian lalu serempak kami berdiri dan berlari ke ruang tamu.
Guci keramik antik dari cina setinggi puncak kepala orang dewasa yang biasanya mama taruh di meja sudut antara pintu menuju ruang tengah teronggok diatas lantai menjadi kepingan tak berbentuk lagi. Sementara kak fairuz dengan cuek menyender di samping meja itu sambil merokok.
“fairuz apa apaan kamu!!”
teriak om sebastian marah.
“nggak sengaja, salah sendiri kenapa ditaruh disitu..!”
jawab kak fairuz tanpa berdosa.
“keterlaluan ka…”
“sudah dek, sudah.. Tak usah emosi.. Biarkan saja, lagian sudah pecah, tak akan bisa utuh lagi walaupun kamu marah marah..”
mama menenangkan om sebastian, aku tahu mama pasti sedih karena itu keramik antik yang ia favoritkan. Harganya jangan ditanya lagi, sudah ada kolektor yang berani menawar dengan harga sangat tinggi tapi mama tak mau melepaskannya.
“bik tin..!”
mama berteriak memanggil bik tin. Rupanya bik tin juga ada disini menyaksikan semua ini.
“iya bu..”
“tolong bersihkan pecahan keramik ini, jangan sampai bekasnya melukai kaki..”
ujar mama dengan getir.
Tanpa diperintah dua kali dengan cekatan bik tin membersihkan pecahan keramik itu.
Om sebastian menggeleng gelengkan kepala melihat kelakuan kak fairuz. Tante sukma memegang lengan om sebastian, sepertinya ia takut om sebastian kehilangan kontrol hingga memukul kak fairuz.
“ayo dek kita lanjutkan makan malam..”
mama mengajak kami kembali ke ruang makan.
“fairuz, ayo makan malam, bukannya kamu dari sore belum makan?”
mama berbaik hati menawari kak fairuz. Namun kak fairuz tak bergeming sedikitpun, ia memandang mama dengan bosan lalu beranjak meninggalkan kami tanpa berkata sepatah katapun.
“bukannya itu keramik dari dinasti ming yang harganya ratusan juta kak?”
tanya tante sukma merasa sayang. Mama mengangguk dan tersenyum pahit.
“sudahlah dek sukma, mungkin fairuz benar benar tak sengaja.. Lagian keramik itu sudah ada sebelum aku pindah kesini… Dulu harganya nggak segitu kok”
ujar mama seperti mau menghibur diri sendiri.
Kami kembali duduk di ruang makan, melanjutkan makan malam yang sempat terganggu karena insiden tadi.
Mama sepertinya sudah kehilangan selera makannya. Masih banyak nasi yang tersisa di piringnya namun mama sudah berhenti.
“loh kakak sudah selesai?”
tanya tante sukma heran.
“sudah kenyang dek, maaf ya kakak duluan.. Mau sholat..”
mama beralasan.
Tante sukma hanya bisa mengangguk. Mama beranjak dari meja makan lalu berjalan ke kamarnya. Aku kasihan sekali kepada mama, belum hilang kesedihannya karena ditinggalkan kak faisal, sekarang timbul masalah lain yang membuat pikiran mama kembali tersita. Kenapa kak fairuz tak bisa seperti kak faisal, padahal mereka saudara kandung, kak faisal sangat menyayangi mama seolah mama adalah ibu kandung baginya. Namun kak fairuz begitu membenci mama seolah musuh yang harus ia musnahkan. Andai ini terus berlarut aku kuatir mama bisa stress, om sebastian tak mungkin terus terusan menginap disini karena ia harus bekerja, lagian dia juga sudah punya rumah sendiri.
Aku menghabiskan makan malamku tanpa semangat, padahal masakan tante sukma sangat lezat tapi aku tak bisa menikmatinya karena terlalu banyak beban pikiran.
Aku kembali ke kamar setelah makan, aku ambil hp diatas bantal, ada beberapa sms yang masuk. Beberapa dari rian. Celaka.. Rian minta jemput di kampusnya. Sms ini sudah hampir satu jam yang lalu. Dengan panik aku berlari mengambil kunci mobil kak faisal. Baru saja aku mau mengeluarkan mobil dari dalam garasi, di depanku berdiri kak fairuz. Buru buru aku injak rem. Aku membuka pintu mobil dan turun menghampiri kak fairuz.
“kenapa kak?”
tanyaku heran. Kak fairuz tak menjawab cuma memandangku sinis sambil menadahkan tangan kanannya. Aku bingung apa maksud kak fairuz.
“sini kunci mobil itu…”
pinta kak fairuz padaku.
“kenapa kak?”
aku jadi bingung.
“kemarikan kuncinya.. Cepat..”
perintah kak fairuz dengan gaya seorang raja. Dengan ragu dan masih bingung aku membuka pintu mobil, mencabut kuncinya lalu menyerahkan pada kak fairuz.
Ia langsung mengambilnya dari tanganku kemudian mengantongi kunci itu lalu masuk ke dalam rumah dengan santai. Aku tercengang memandang kepergian kak fairuz. Aku betul betul bingung. Sambil menggaruk kepala aku masuk ke dalam rumah. Aku berpapasan dengan mama di pintu dapur.
“ada apa rio?”
tanya mama heran melihat tampangku yang keruh.
“itu ma, kunci mobil kak faisal yang mau aku pakai diambil kak fairuz..”
jawabku apa adanya tanpa ada niat untuk mengadu.
“apa..? Kenapa ia melakukan itu?”
pekik mama heran.
“entahlah ma, mungkin kak fairuz tak mengizinkan aku memakai mobil itu karena ia menganggap semua milik papanya tak boleh aku pakai..”
aku berasumsi.
Mama diam sejenak, menghela nafas.
“memangnya tadi rencana kamu mau kemana sayang?”
tanya mama sabar.
“mau jemput rian ma, dia sms minta tolong di jemput, aku sudah terlambat satu jam.. Bisa bisa ia marah..”
“ya sudahlah.. Kamu telpon dia, bilang saja tak sempat, mama yakin rian bisa mengerti..”
saran mama serba salah. Aku tahu mama bisa saja berkeras untuk menyuruh kak fairuz menyerahkan lagi kunci mobil itu kepadaku, namun mama tak mau melakukan itu karena tak mau menyulut pertengkaran dengan kak fairuz, cukup sudah tadi sore mama diseret kak fairuz, aku tak habis pikir bagaimana kak fairuz bisa tega mengusir mama. Apa kak fairuz tak tahu kalau mama adalah pemilik rumah ini sekarang dan mama yang berkuasa penuh.
“rio ke kamar dulu ma, mau telpon rian..”
“iya nak, yang sabar ya..”
mama tersenyum lembut sambil mengusap rambutku penuh kasih.
“iya ma..”
aku meninggalkan mama lalu ke kamar. Aku menelpon rian, sudah ku duga rian pasti marah. Ia tak terima karena aku telah membuat ia menunggu lama. Ia memutuskan percakapan. Aku mencoba menelponnya lagi namun tak ia angkat. Bertambah pusing kepalaku. Akhirnya aku menelpon koko. Aku minta jemput sama koko. Untunglah koko bilang ia akan datang setengah jam lagi, jadi aku duduk menonton tipi di kamar sambil menunggu koko. Aku jadi gemas teringat waktu kak fairuz meminta kunci mobil tadi dengan gaya sok berkuasanya itu. Seenaknya saja ia melarang aku memakai mobil itu, padahal selama ini, kak faisal tak pernah keberatan kalau aku meminjam mobilnya.
Pintu kamarku terbuka tanpa ada tanda sebelumnya. Kak fairuz masuk tanpa mengetuk terlebih dahulu ia langsung nyelonong begitu saja dalam kamarku. Aku langsung berdiri dengan heran.
“ada apa kak?”
aku bertanya dengan sopan, walaupun kak fairuz telah bertindak tak sopan kepadaku, namun aku berusaha menjaga sikap terhadapnya.
“mulai hari ini aku yang pakai kamar ini!”
tandas kak fairuz ketus.
Aku tercengang, apakah aku tak salah dengar.
“maksud kakak?”
aku tak yakin.
“kamu sudah tuli, atau memang kuping kamu yang jelek itu tak pernah dibersihkan? Aku bilang mulai hari ini kamar ini milik aku, kamu pindahkan barang barang kamu, aku tak mau tau kamu mau pindah ke mana, pokoknya jam sembilan nanti, semua peralatan kamu tak ada lagi di kamar ini!”
perintah kak fairuz tegas. Aku mematung tak percaya. Aku tak tau harus mengatakan apa.
“ayo buruan.. Jangan kayak orang bego.. Jijik aku lihatnya!”
maki kak fairuz sambil menempeleng kepalaku tak kira kira.

+++

“aduh..!.. Apa apaan kak, sakit tau!”
aku mengusap keningku yang terasa panas akibat di tempeleng tadi.
“kenapa? Kamu nggak suka?”
kak fairuz menarik kerah bajuku.
“nggak..! Aku nggak suka!… Jangan kakak kira aku takut… Lepaskan kak jangan pancing emosiku!”
aku memperingatkannya, namun kak fairuz bukannya melepaskan malah ia semakin kuat mencekal kerah bajuku. Karena kesal aku tinju sekeras kerasnya perut kak fairuz.
“aduh!.. Sialan.!”
kak fairuz mengerang, terhuyung huyung sambil memegangi perutnya.
“keparat!!”
BUUK..
Satu tinjuan telak mengenai mataku, seolah bagai kilatan cahaya lampu kamera selama sedetik yang berubah jadi gelap dan samar pengelihatanku, sakit sekali rasanya. Tenaga kak fairuz betul betul kuat.
Setelah mengatasi terkejut, aku balik menyerang lagi. Aku terjang kak fairuz hingga tubuhnya terhempas ke dinding, tangannya menyenggol lampu tidur hingga terjatuh dan pecah menimbulkan suara ribut. Aku yang kalap tak mau menunggu hingga kak fairuz menyerang lagi, mumpung ia sedang lengah aku langsung menerjang lagi, ia kembali terjatuh. Bertubi tubi aku hantamkan pukulan ke wajahnya. Tiba tiba tanganku dicekal dari belakang. Aku menoleh ternyata om sebastian yang memegang aku. Sementara mama dan tante sukma berdiri tepat ditengah pintu kamarku terlihat ketakutan.
“sudah rio…sudah..!”
om sebastian membentakku.
“lepaskan om, dia yang mulai duluan..!”
aku tak menghiraukan om sebastian, aku berusaha melepaskan tanganku yang ia cekal.
“sudah om bilang!!”
dengan suara menggelegar om sebastian melarangku memukul kak fairuz.
Akhirnya aku mengalah, aku lemaskan tanganku dan mengangguk. Aku memandangi kak fairuz nyalang, jangan ia pikir aku takut padanya. Ia tak bisa selalu semena mena padaku. Kami sama sama pria, sama sama punya tangan dan emosi, jangan ia mengira diamku tadi karena aku takut padanya, aku tak mau kak fairuz mengira aku seorang pengecut yang hanya berani berlindung diketiak mama. Kak fairuz harus tau kalau aku juga bisa emosi dan melawan.
Om sebastian melepaskan tanganku setelah dia rasa cukup aman untuk melakukan itu. Aku beranjak meninggalkan kamarku. Mama yang hendak membantuku tak aku hiraukan. Saat melihat bik tin di dapur aku segera menghampirinya.
“bik, tolong baju dan peralatan yang ada dikamarku, pindahkan semua ke kamar almarhum kak faisal, kamarku mau di pakai kak fairuz..”
bik tin menatapku heran, ia membuka mulutnya hendak bertanya, namun aku menggeleng. Aku terlalu capek untuk menjelaskannya. Aku tinggalkan bik tin lalu aku masuk ke kamar kak faisal. Sebetulnya dirumah ini masih ada tiga kamar kosong termasuk kamar tamu, namun dua kamar yang lain ukurannya terlalu kecil, posisinya pun aku kurang suka, jadi aku lebih memilih kamar kak faisal. Selain kamar itu lebih luas, posisi jendelanya pun langsung menghadap ke kolam ikan dengan air terjun buatan yang ada di taman samping rumah. Posisinya lebih strategis daripada kamarku. Biarlah aku mengalah saja, kak fairuz mau kamarku, silahkan ambil, tapi jangan harap ia bisa mengambil lagi apa yang menjadi milikku seenaknya saja.
Pintu kamar kak faisal terbuka, mama masuk dan menghampiriku.
“mama tau kalau kamu sampai berbuat seperti tadi, pasti karena kamu betul betul emosi..”
tak ada kemarahan pada suara mama.
Aku mengangguk tak bersuara.
Mama duduk disampingku dan memegang bahuku.
“mama tau kamu pasti terganggu dengan kedatangan fairuz, mama bisa mengerti kalau kamu marah, fairuz memang keterlaluan…tapi mama pinta kamu lebih bersabar lagi, bagaimanapun juga kalian berdua itu saudara..”
nasehat mama, suara mama terdengar sedih. Aku mendongak memandang mama.
“tapi ma, ia tak bisa seenaknya pada rio, kalau ia terus terusan memancing emosi, rio tak akan bisa selalu diam.. Lagian dia juga cuma sekedar saudara tiri..”
aku masih keras kepala, aku belum bisa meredakan kemarahanku sepenuhnya.
“iya sayang… Mama tak tau kenapa bisa seperti ini jadinya.. Mama tak menyangka setelah begitu lama ia tak juga berubah, ia tak bisa menerima mama..”
mama berdiri kemudian berjalan menuju jendela, memperhatikan kolam yang mengeluarkan suara gemericik air mengalir.
“kenapa mama tak mengusirnya saja ma, kita kan sudah cukup mendapat banyak masalah, ia tak bisa begitu saja datang seolah olah berkuasa disini..”
ujarku geram.
Mama berpaling melihatku dan tersenyum.
“mama tak bisa begitu sayang, bagaimanapun juga dia anak tiri mama, kalau mama mengusirnya, apa yang harus mama katakan pada papa kamu?… Sudahlah, lama lama ia nanti pasti akan bisa menyesuaikan diri.. Pelan pelan kamu coba dekati dia, tawarkan persahabatan, mama yakin semua orang punya segumpal hati, dan hati itu berwarna merah, itu artinya manusia itu pada dasarnya sama. Tak ada yang beda, yang membuat beda hanyalah suasana serta pengalaman. Terkadang kerasnya hidup ikut mengeraskan hati, itulah yang terjadi pada kakakmu itu, andai kamu mau bersabar, kamu pahami dia, ajak dia memahami kamu, lama kelamaan kalian akan sehati… Anggap dia pengganti faisal, mama yakin… Hatinya tak sekeras yang ingin ia tunjukkan pada kita..”
nasehat mama panjang lebar. Aku diam mencerna semua kata kata mama dalam pikiranku. Aku tak yakin apakah aku bisa melunakkan hati kak fairuz. Ia terlanjur membenci mama, dan aku juga terkena imbas dari kebenciannya itu. Sampai berapa lama aku bisa bertahan, dan sampai berapa lama kak fairuz mampu bertahan dengan kemarahannya… Aku tak habis pikir apa yang membuat kak fairuz mau tinggal disini, kalau ia merasa benci dengan mama, seharusnya ia menjauh bukannya malah memilih tinggal disini. Aku saja belum bisa menghilangkan rasa kaget karena kemunculannya yang tiba tiba. Kalau saja kak faisal tidak meninggal mungkin aku tak akan tau mengenai kak fairuz, aku jadi penasaran apa kak faisal tau mengenai kak fairuz, ia tak pernah membicarakan mengenai itu.
“kamu pikirkan lagi ya sayang!, sekarang mama percaya kalau kamu sudah bisa berpikir dewasa, rio yang mama kenal adalah rio yang hebat, yang membuat mama bangga memiliki putera seperti rio.. Mama berterimakasih karena emak kamu dulu telah mendidik kamu menjadi begini, dulu mama begitu iri pada emak kamu, mempunyai kamu.. Tapi kini mama lebih tenang karena kamu masih anak mama.. Putera kesayangan mama..”
mama mencium pipiku lalu beranjak meninggalkanku sendirian di kamar.
Aku merenungi kata kata mama, tak terasa air mataku mengalir jatuh. Aku buru buru menghapus airmata karena bik tin masuk sambil membawa tumpukan bajuku yang telah terlipat rapi. Mulai hari ini aku pindah di kamar kak faisal, entah kenapa rasanya begitu sunyi di kamar ini, dulunya kamar ini selalu ramai dengan teman teman kak faisal yang berkumpul, kadang menonton, kadang ngeband, kadang minum diam diam, begitu banyak kenangan indah di kamar ini dan aku salah satu saksi hidup yang masih bisa merasakan kenangan yang tak pernah mati tentang kamar ini, tentang kakak yang sangat aku cintai, kak faisal yang meninggal di usianya yang begitu muda. Meninggalkan aku dan keluarga ini. Aku selalu berdoa dalam setiap sholat agar almarhum diampuni semua dosa dan kesalahan, agar dilapangkan jalannya nanti menuju surga yang indah, agar di tenangkan tidurnya di alam sana hingga hari akhir nanti. Aku selalu berdoa agar jasadnya selalu dipelihara. Aku menangis memandangi foto kak faisal yang tergantung di dinding kamarnya. Foto ia memakai baju kaus oblong, kak faisal memang tampan, di foto pada sudut manapun ia selalu terlihat tampan. Senyumnya tak kalah dengan senyum model, sayang kak faisal tak ada minat untuk jadi model. Di foto pun dia kurang suka. Aku sentuh foto itu dengan ujung jariku kemudian aku usap. Air mataku kembali jatuh. Aku kangen kak faisal, aku kangen sekali. Aku sedih tak bisa bersamanya lagi. Tubuhku bergetar mengingatnya. Aku betul betul rindukan saat bersamanya.
Andai waktu bisa di ulang lagi sungguh senang rasanya. Namun itu tak mungkin.
Aku membantu bik tin memasukkan baju bajuku ke dalam lemari kak faisal yang telah kosong. Setelah selesai memindahkan buku buku dan miniatur koleksiku. Bik tin pamit keluar.. Tak lupa aku berterima kasih padanya. Aku selipkan beberapa lembar uang pada bik tin. Ia berterima kasih dengan gayanya yang khas, ia selalu begitu setiap aku berikan uang.
Sudah hampir setengah sembilan baru koko datang.
“eh yo maaf ya, soalnya tadi mendadak mama minta antar ke rumah temannya, jadi aku agak telat..”
koko meminta maaf.
“nggak apa apa ko, yang penting kamu datang..”
“oh ya, kok kamu sekarang pindah ke kamar ini, aku sempat kaget tadi waktu aku mau masuk ke kamarmu yang dulu, di dalamnya ada seseorang…”
suara koko agak aneh.
“iya ko, dia kakak tiriku.. Baru datang dari jakarta..”
aku menjelaskan.
“loh emangnya ada berapa sih saudara kamu, kok selama ini nggak pernah kelihatan?”
koko jadi heran.
“aku juga baru tau, panjang ceritanya.. Yang jelas ada hal lain yang aku ingin tau dari kamu dan aku minta kamu tak perlu bohong atau menutup nutupi lagi, aku butuh kebenaran karena aku sudah tau semua..”
koko bengong, ia ternganga mendengar aku bicara seperti itu.
“maksud kamu apa yo?”
tanya koko heran.
“mengenai om alvin.. Dia kan papa kandungku?”
tembakku langsung ke intinya.
Wajah koko berubah pucat pasi, mungkin ia tak menduga kalau aku bakalan bertanya tentang ini.
“ka.. Kamu tau da.. Dari mana?”
koko terbata bata.
“aku sudah tau semua.. Jadi kamu tinggal ceritakan saja..”
aku tak mau bertele tele.
Koko sepertinya mengerti dari nada suara ku yang sengaja aku buat tegas.
“yah.. Lagian kamu juga udah tau..”
desah koko.
“ya udah cepetan!”
buruku tak sabar.
“sebetulnya om alvin menyuruh aku merahasiakan hal ini darimu yo, kamu tau waktu aku menyadari kalau sebetulnya kamu itu sepupuku, aku betul betul gembira, begitu juga mama..”
ujar koko berapi api, senyumnya tak lepas lepas dari tadi.
“awalnya aku curiga waktu almarhum faisal meminta aku menyelidiki om alvin..”
“itu aku udah tau, aku cuma mau tanya aja, gimana sih sebetulnya om alvin?”
aku memotong penjelasan koko.
“om alvin sangat menyayangi kamu yo, ia berharap sekali suatu hari ia bisa berkumpul dengan kamu, ia mendambakan anak lelaki, yang tak bisa diberikan tante sophie, oh ya yo.. Kamu tau.. Ada kabar baik loh..”
mata koko berbinar binar cerah. Seolah tak sabar lagi menyampaikan berita gembira.
“kabar gembira apa sih?”
aku jadi penasaran.
“akhirnya om alvin menjadi mualaf yo..”
“apaaa..!!?”
“iya yo sumpah… Sudah dua hari yang lalu yo, ia sudah memutuskannya dengan bulat, ia kan sudah cerai dari tante sophie, jadi sekarang ia sementara menenangkan diri di rumah mama.. Beberapa kali ia melihat kami beribadah ia jadi tertarik..”
koko menambahkan.
“lalu..?”
aku ikut gembira mendengar kabar ini, jadi papa kandungku sekarang telah seiman denganku.
“om alvin bilang sebetulnya ia sudah ingin melakukan itu dari dulu, sejak ia mengenal mama kamu yo… Tapi mama kamu keburu meninggalkan om alvin, ia betul betul kecewa waktu itu..”
jelas koko.
“om alvin yang cerita?”
aku ingin tau.
“iya yo, banyak yang ia ceritakan.. Kalau gitu kita kerumah ku saja sekarang, lagipula kamu kan sudah tau kalau om alvin itu papa kamu..”
ajak koko bersemangat. Aku menggeleng. Koko terdiam melihatku, senyumnya langsung lenyap.
“kenapa yo?”
“aku belum mau bertemu dia ko, terus terang aku belum siap..”
“kenapa memangnya.. Ketemu papa sendiri kok belum siap.. Aneh!..”
cetus koko.
“bukan begitu ko, terus terang sebetulnya aku kecewa, om alvin pengecut.. Aku belum bisa menerimanya lagi..”
jelasku keras hati.
“kok begitu..?”
koko makin heran.
“ya begitu.. Emangnya mau ngapain ayo? Pokoknya aku belum siap.. Satu lagi, kamu jangan bilang sama om alvin kalau aku tau ia papaku..”
“aneh!”
koko semakin keki.
“pokoknya aku minta kamu jangan pernah bilang.. Ayo sumpah.!”
aku memaksa koko.
“ngapain harus sumpah.. Udah ah.. Nggak perlu pake sumpah segala, emangnya aku ini nggak bisa di percaya..”
koko mengelak.
“bukan begitu, cuma dalam masalah ini aku cuma ingin betul betul yakin.. Kalau sampai kamu bilang, terus terang aku bersumpah tak akan menerima om alvin sampai aku mati, dan juga aku tak akan menganggap kamu sebagai siapapun lagi..!”
aku mengancam. Koko mendelik padaku. Mulutnya manyun.
“oke oke oke… Demi Allah aku janji tak cerita! Puassss?”
koko sebal.
“bangeeet!.”
aku tertawa dan merangkul koko erat, ia ikut tertawa dan memelukku.
“kita jalan yuk sepupu..”
ujar koko bercanda.
“oke boleh..”
aku berdiri dan mengajak koko keluar.
Koko menyalakan mesin mobilnya, bertepatan sebuah motor bebek memasuki pekarangan rumahku.
Ternyata rian yang datang. Mukanya masam, ia cemberut hingga bibirnya yang tipis hampir membentuk satu garis.
“mau kemana yo!?”
pertanyaan rian lebih mirip seperti ancaman.

+++

“eh rian, ini aku sama koko baru aja mau jalan..”
“tadi kamu bilang nggak sempat jemput aku, ternyata kamu lagi sibuk sama koko ya?”
tuduh rian.
“bukan gitu, aku lagi ada masalah..”
“emangnya masalah apa?”
“ceritanya panjang… Kalau gitu kita jalan sama sama aja, ada hal yang mau aku ceritakan padamu..”
“oke.. Aku pake motor atau ikut kalian?”
tanya rian ragu.
“motor kamu taruh aja di garasi, kita sama sama naik mobilnya koko”
“oke.. Tunggu sebentar..”
rian menggiring motornya ke dalam garasi, lalu ia masuk ke dalam mobil.
“mau kemana kita?”
tanya rian.
“kamu udah makan belum? Lebih baik kita cari makan, ke kafe aja lebih santai untuk mengobrol..”
“boleh, kebetulan aku memang belum makan..”
ujar rian.
“yo, ke kafe mana?”
tanya koko.
“terserah kamu aja lah, apa kita ke kafe tempat kita biasanya?”
aku mengusulkan.
“baiklah..”
jawab koko menekan gas, dan mobil meluncur keluar dari pagar menuju ke jalan raya.
“emangnya kamu ada masalah apa sih kok sampai nggak sempat lagi jemput aku?”
tanya rian sedikit kesal.
“maaf yan, aku tadi berantem..”
“hah? Berantem..! Emangnya sama siapa?”
tanya rian terkejut.
“sama kak fairuz..”
“kak fairuz, siapa dia?”
rian heran.
“itulah masalahnya yan, kak fairuz itu baru datang, ia anak kandung papa, kakaknya kak faisal.. Aku juga baru tau tentang dia..”
aku menjelaskan.
“lalu kenapa kalian berantem?”
rian ingin tau.
“dia marah, sebetulnya aku tak enak menceritakan hal ini, tapi aku juga nggak mau kamu salah paham, ia tak bisa menerima mama sebagai mama tirinya, maka dari itu ia ikut ibu kandungnya.. Dan itu juga berimbas ia jadi tak menyukaiku..”
“lalu ia mengajak kamu berantem?”
“sebetulnya nggak, tapi dia selalu mencari gara gara, ia selalu memancing emosiku..”
“memancing gimana?”
rian makin heran.
“pokoknya ia selalu membuat aku ingin marah, pertama ia mengambil kunci mobil almarhum kak faisal yang mau aku pakai, aku diam saja karena tak mau ribut, setelah itu ia mengusirku dari kamarku sendiri, aku coba sabar, namun ia makin ngelunjak.. Ia memukulku, aku tak terima dan balas menyerangnya..”
aku membeberkan kejadian tadi.
“keterlaluan banget sih kakakmu itu, lagian aneh juga sih setelah kematian faisal ia baru menampakkan lagi batang hidungnya.. Emangnya orangnya seperti apa sih?”
rian ikut kesal.
“mirip banget dengan kak faisal, lebih dewasa lagi, tapi sifatnya itu bikin muak..”
ujarku berapi api.
“ya sudahlah… Yang penting kamu jangan mau disemena menakan dia..”
saran rian.
“nggak boleh gitu dong yan, justru rio harus mencoba mendekati kakaknya itu, kalau ia memusuhinya, nggak bakalan selesai selesai masalah..”
timpal koko yang sedari tadi cuma diam.
“aku sih liat liat dulu ko, kalau emang kak fairuz bisa merubah sikapnya itu, mungkin aku bisa lebih manis, tapi andai ia masih seenaknya saja, aku tak akan tinggal diam!”
aku ngotot.
“betul itu yo, emangnya kamu itu babunya dia, seenaknya saja dia perlakukan kamu..”
rian mengompori.
“dasar kalian berdua..”
koko menggeleng gelengkan kepalanya.
“ko.. Stop.. Itu cafe nya udah lewat.. Huh gara gara keasyikan ngobrol sampai kelewatan deh..”
aku berteriak saat menyadari kami telah melewati kafe yang kami tuju.
“iya sih gara gara keasyikan ngobrol gini deh jadinya, tunggu sebentar aku mutar mobil dulu..”
koko memutar setir berbelok menuju ke jalan tadi, ramai sekali mobil yang lewat hingga kami harus menunggu sedikit sepi baru bisa berbalik. Setelah sedikit sepi tanpa membuang waktu lagi koko membelokkan mobil. Lalu berhenti tepat di depan kafe, seorang tukang parkir memberi komando agar kami memarkir mobil di tempat yang ia arahkan. Rupanya malam ini agak ramai yang berkunjung.
“ayo masuk langsung..”
koko mematikan mesin mobil lalu turun, aku dan rian ikut turun dan berjalan bersama koko memasuki kafe, suara musik langsung terdengar begitu kami menginjak lantai depan, suasananya sedikit temaram karena diberi penerangan yang seadanya namun tak menimbulkan kesan suram. Meja dan kursi ditata teratur berjarak lumayan renggang untuk privasi pengunjungnya. Ditiap tiap meja dihiasi bunga segar dan lilin yang mengeluarkan aroma terapi. Kami memilih meja yang ada disamping agak dekat dengan jendela jendela kaca, hingga pemandangan di jalanan bisa kami lihat sambil menikmati makan malam. Seorang pelayan memakai kemeja putih menghampiri kami memberikan buku menu dan kertas.
Aku mempelajari menu yang tertulis. Koko mencatat makanan yang ia ingin pesan.
“ko tolong sekalian tulis satu porsi spaghetti bolognese sama juice alpukat, juga soft drink.. Kentang goreng sama cumi tepung juga..”
aku menyebutkan makanan dan minuman yang aku pesan.
“aku risotto dan sunrise manhattan punch..”
rian menyebutkan makanan yang ia mau.
“kalian mau coba steak disini nggak, enak loh.. Aku biasanya pesan steak kalau makan disini..”
koko mengusulkan.
Rian agak ragu dan memandangku. Aku mengangguk padanya.
“boleh..”
jawab rian.
“tenderloin atau sirloin?”
tanya koko sebelum menulis.
“terserah kamu aja, aku nggak ngerti..”
ujar rian agak malu.
“yang sirloin aja yan..”
aku mengusulkan.
“iya.. Tentu saja.. Yang sirloin lebih enak..”
rian setuju mengangguk angguk dengan semangat.

+++

“kamu pasti terganggu dengan kedatangan fairuz..”
kata koko dengan simpati.
“sebetulnya aku senang sih, cuma kenapa ia harus bersikap memusuhiku seperti itu, padahal aku ingin bisa dekat, bagaimanapun juga kehadirannya disaat kepergian kak faisal seolah mengobati kesedihanku ko..”
aku berterus terang.
“mungkin pendekatanmu yang belum tepat..”
sela rian.
Aku menghela nafas, lalu memperbaiki posisi duduk lebih santai.
“dia tak pernah memberi kesempatan aku untuk mengenalnya..”
“lalu kalau begitu terus apa kamu bisa tahan?”
“entahlah… Aku akan berusaha sabar, semoga kak fairuz bisa merubah sikapnya..”
“apakah dia bakalan lama?”
rian penasaran.
“semoga nggak..”
aku berharap.
Percakapan kami terhenti karena seorang pelayan datang mengantar minuman.
“terimakasih..”
aku tersenyum pada pelayan seorang gadis usia kisaran 22 tahun. Ia membalas tersenyum lalu meninggalkan kami.
“aku harap dia tak membuat masalah lagi..”
ujar rian gusar.
“semoga saja… Aku capek yan, aku tak suka berantem, apalagi saat ini suasananya tak tepat untuk itu, semoga kak fairuz bisa lebih peka, aku kasihan sama mama.”
ujarku kalut.
“sudahlah jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu jadi stress..”
koko menasehati.
“iya ko, aku juga berusaha agar tak terlalu memikirkan itu, banyak hal lebih penting harus dilakukan.”
“nanti malam aku menginap ditempat kamu, biar fairuz tak macam macam..”
rian memegang tanganku. Cepat cepat aku tarik sebelum terlihat oleh koko. Rian mendelik tak suka, namun aku langsung melemparkan tatapan meminta maaf dan meminta pengertian. Rian melengos ke samping, koko mengangkat alis menatapku.
“ada apa yo?”
“nggak ada apa apa ko…”
aku pura pura tak apa apa.
Pelayan kembali datang kali ini dua orang, membawa makanan lalu menyusun ke atas meja.
“aku yang spaghetti..”
ujarku saat pelayan itu mau meletakkan piring datar berisi spaghetti didepan meja rian.
“maaf…”
pelayan itu meletakkan spaghetti didepan mejaku.
Setelah pelayan itu pergi, kami langsung menyikat makanan tanpa menunggu lama.
“wah enak juga ya, dagingnya empuk..”
sela rian sambil mengunyah daging steak medium pesanannya tadi.
“udah aku bilang, pasti kamu suka..”
koko tersenyum senang.
“gimana nih, boleh kan aku menginap ditempat kamu..?”
rian mengulangi lagi pertanyaanya yang belum sempat aku jawab.
“tentu saja boleh yan…”
aku mencoba bersikap biasa didepan koko, sebetulnya aku senang sekali mendengarnya.
“oke kalau gitu…”
rian melanjutkan lagi makannya dengan lahap. Kasihan sekali aku melihatnya makan, sepertinya ia jarang makan seperti ini, wajarlah seorang anak kost pasti tak bisa terlalu sering makan di restoran.
Aku menggulung spaghetti di garpu lalu memakannya, lumayan enak, bumbunya yang kental dan pedas terasa tajam bercampur rasa asam mayonaise.
“aku kasihan memikirkan amalia…”
cetus koko tiba tiba. Aku nyaris tersedak buru buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya.
“kenapa emangnya ko?”
“pasti ia sedih, soalnya kan pernikahan mereka tinggal sehari, aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya..”
“entahlah ko.. Mungkin itu sudah takdirnya, itu belum seberapa dari yang kami rasakan, kehilangan keluarga… Yang bertahun tahun tinggal satu rumah dan telah dekat, rasanya tak bisa aku lukiskan…”
kesedihan kembali mengisi rongga hatiku, bayangan wajah kak faisal yang sedang tersenyum melintas di pikiranku. Aku jadi kehilangan selera makan. Rian mengamatiku tajam. Diamati seperti itu aku jadi kikuk, aku langsung pura pura sibuk mengaduk spagheti dengan garpu seolah olah menikmati.
“kenapa yo?”
rian melepaskan garpu dan pisau yang ia pegang.
Aku diam memandangi kerlip lilin dalam gelas berwarna biru tua ditengah meja. Seolah ada bayangan wajah kak faisal disana.
“lebih baik jangan bicarakan terus mengenai faisal, kamu harus mengerti rio, ko!”
rian mengingatkan koko. merasa apa yang dikatakan oleh rian ada benarnya, koko mengangguk.
“maaf yo, aku tak bermaksud terus mengingatkan kamu pada faisal, seharusnya kita disini untuk membuatmu melupakan kesedihan, ini aku malah membuat kamu jadi tambah sedih..”
sesal koko tak enak hati.
“tak apa apa ko, mungkin karena masih baru aja aku sulit melupakan kak faisal..”
aku tersenyum agar koko tak merasa bersalah.
“kalau udah nggak selera jangan dipaksa..”
timpal rian. Aku mengangguk. Sesaat hanya keheningan yang menemani kami bertiga hingga tuntas rian dan koko menghabiskan makanan mereka.
Sampai perjalanan pulang kami bertiga diam.
Koko mengantar aku dan rian hingga ke pekarangan rumahku.
“sampai besok yo..”
ujar koko dari dalam mobil sambil membuka kaca.
“iya ko.. Makasih ya, hati hati di jalan..”
koko meninggalkan kami, aku mengajak rian masuk ke dalam rumah lewat pintu garasi.
“loh bukannya kamar kamu ada diruang tengah?”
tanya rian heran waktu aku membuka pintu kamar kak faisal.
“kan udah aku bilang kalau kak fairuz mengajak aku tukar kamar..”
rian menepuk keningnya.
“oh iya ya.. Hehehe sori..”
ia tersenyum malu.
“ya udah.. Masuk dulu..”
aku melebarkan pintu, rian masuk lalu aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya.
“cuci muka dulu sana…”
aku menyuruh rian.
“oke bos..!”
ujar rian sambil menirukan gaya orang memberikan hormat pada bendera. Aku cuma tertawa melihat tingkahnya.
Rian masuk ke dalam kamar mandi sementara aku membuka lemari mencari baju dan celana untuk rian pakai tidur.
“sikat gigi baru ada dalam laci belakang cermin..”
teriakku pada rian yang masih berada dalam kamar mandi.
“iya… Nggak usah.. Aku pake sikat gigimu saja..”
rian balas berteriak dari kamar mandi.
“hei.. Jorok amat, nggak boleh sikat gigi dipake satu kampung, ntar banyak bakteri..”
aku tertawa.
“biarin aja.. Lagian kita sering ciuman bibir, apa itu nggak mengandung bakteri?”
suara rian terdengar kurang jelas karena ia bicara sambil menyikat gigi.
“pelan pelan ngomongnya dodol! Emangnya kamu mau serumah tau kita pacaran?”
sungutku sebal.
“hahaha.. Sori… sori.. Lupa..”
kepala rian nongol dari pintu kamar mandi, mulutnya berlepotan busa pasta gigi.
“idih jorok amat.. Nggak manners banget!”
protesku pura pura jijik. Rian tertawa terbahak bahak lalu batuk batuk tersedak busa.
“rasain!”
aku merapikan tempat tidur dan menyusun bantal, baru saja aku berbalik, rian memelukku. Terasa ada sesuatu yang keras menekan pinggulku. Aku berbalik, rian cengengesan dengan tubuh tanpa sehelai benangpun.

+++

Aku tersenyum lebar melihat rian yang polos.
“sudah lama aku nggak meluk kamu kayak gini sayang..”
bisik rian pelan di telingaku. Nafasnya terasa hangat membelai daun telingaku. Sedikit banyak aku jadi terangsang.
“iya yan, maaf akhir akhir ini aku memang sedikit sibuk dengan masalahku.”
rian mulai menjilati kupingku, lembut lidahnya menyapu belakang telingaku membuat bulu dibawah tengkukku berdiri.
“shhh… Yan.. Sabar.. Aku mau menyikat gigi dan cuci muka dulu..”
aku mendorong tubuh rian pelan namun ia semakin mempererat pelukannya.
“tak apa apa sayang…”
rian mulai menggigiti kupingku, aku menggelinjang kegelian.
“sudah.. Sudah rian, hentikan dulu… Tubuhku masih keringatan..”
rian tak perduli malahan semakin gencar menjilati bagian belakang kupingku, turun ke tengkuk, rasanya hangat lembut dan basah, tanpa terasa tanganku malah mendorong tubuh rian makin menempel ke tubuhku. Rian cengengesan.
“aku betul betul suka melakukan ini.. Rasanya tak ada yang bisa menguasaimu seperti aku..”
suara rian makin memburu. Aku sudah tak tahan lagi rasanya, langsung aku tangkap kejantanan rian yang sudah mengeras dari tadi, begitu kokoh berurat berwarna kecokelatan. Mengacung seolah hendak menerkam mangsa, begitu perkasa.
“ahhhh… “
rian mendesah, tubuhnya mengejang.

+++

Kejantanan rian berdenyut dalam genggamanku, terasa hangat dan keras. Rian mencengkeram bahuku dan menekan hingga aku berlutut tepat didepan kejantanannya. Tanpa menunggu lama aku langsung mencaplok kejantanannya dengan mulutku. Aroma kejantanan bercampur cologne maskulin menyeruak pembuluh hidung, membuat aku semakin bernafsu, tanpa jijik sedikitpun aku melumat batang keras itu dengan rakus. Rian mendesah sambil memejamkan matanya. Tangannya semakin erat meremas rambutku.
“lebih dalam lagi sayang… Ahhh… Iya begitu..”
lenguh rian setengah mendesis. Aku memaju mundurkan mukaku hingga kejantanan rian keluar masuk dalam mulutku seolah terpompa. Semakin keras dan hangat batang yang aku sukai ini.
Aku jilati dengan sepenuh hati seluruh permukaan batang berotot yang gempal hingga turun ke testisnya yang agak berkerut dan kasar ditumbuhi bulu bulu ikal keriting dan pendek. Lidahku menyapu hingga sela sela pangkal pahanya. Rian merenggangkan pahanya sedikit lebar agar aku bisa lebih mudah menjangkau bagian yang paling tersembunyi. Suara kecipak ludahku beradu dengan lidah dan kulit testis rian menambah semangat aku mengeksplorasi bagian terintim dari tubuh perkasa rian. Dengan refleks rian mengangkat tubuhku dengan tangannya di sela ketiakku. Rian merengkuh tubuhku hingga menempel di tubuhnya, lalu ia melumat bibirku dengan ganas. Aku menyambut lidah rian yang menelusup ke dalam mulutku, dengan gerakan halus, bibirku mengulum bibir rian, sementara tanganku mengusap usap punggungnya dengan gerakan erotis hingga ke tulang panggulnya. Rian menggigiti bibir bawahku pelan, lidahnya menyapu gigiku, aku membuka bibirku sedikit dengan pasrah, aku betul betul mabuk dengan cumbuan rian. Sesaat ia menghentikan kegiatannya, aku terdiam menanti apa yang ia akan lakukan. Rian tersenyum penuh arti.
“aku ingin malam ini kita bercinta sepuas puasnya, aku sudah tak bisa lagi menahan…”
bisik rian ditelingaku. Sesekali ia mengigit daun telingaku. Lidahnya menerobos ke dalam telingaku, membuat aku menggigil hingga berdiri seluruh bulu di tubuhku.
“aduh sayang, geli…. Aaaaaah… Teruskan… Aku suka..”
aku menelengkan leher ke samping.
“aku tau titik di tubuhmu yang paling kamu suka untuk disentuh..”
rian mencucup leherku, menyedot dan menggigit hingga aku ngos ngosan.
“sayang, jangan dibikin tanda, nanti orang dirumah ini curiga..”
aku mendorong kepala rian agar tak meneruskan gigitannya dibagian leherku yang terbuka. Rian menghentikan ciumannya, memandangiku dengan heran.
“kenapa sayang?”
aku menarik nafas dan tersenyum.
“bikin tandanya jangan di bagian itu… Ntar mama heran kalau lihat leherku merah merah..”
aku mengungkapkan kekuatiranku. Rian mengangguk mengerti. Lalu ia menunduk sedikit membuka dua kancing kemeja bagian atas yang aku pakai, kemudian ia mencium dadaku. Ia menggigit pelan pelan sambil menghisap. Hingga meninggalkan bekas memerah, rasanya sedikit sakit namun terkalahkan oleh nikmatnya. Semakin lama aku semakin terangsang, keringat mulai mengalir lewat pori poriku. Rian mengerti, ia buka seluruh kancing bajuku, lalu ia lepaskan kemeja yang aku pakai hingga aku bertelanjang dada, rian menggiring aku lebih dekat ke tempat tidur, lalu ia membaringkanku diatasnya. Rian menindih tubuhku, pahanya menekan lututku. Wajahnya sejajar dengan dadaku. Tanpa dikomando ia langsung menjilat putingku. Tubuhku langsung mengejang tak karuan.
“shhhh… Enak banget, teruskan sayang.. Ahhh.. Iya.. Begitu.. Ahhhh…”
aku menyeracau dengan tubuh kejang kejang. Rian semakin bersemangat, bukan hanya itu, tangannya juga memelintir putingku yang satunya seolah sedang memutar tuning radio. Lututku terasa lemas, rasa hangat menjalari ke sekujur tubuh. Lidah rian menjilat semakin turun ke bawah hingga ke perutku, rasanya betul betul geli, aku mencoba mendorong agar rian tak meneruskannya, namun kekuatan rian melebihi kekuatanku yang terasa seolah lenyap, ia semakin gencar mencium dan menjilat terkadang menggigit gemas. Dengan tak sabar rian membuka pengait celana jeansku dan menurunkan resletingnya. Lalu memerosotkan celanaku hingga sebatas lutut. Tak berhenti sampai disitu, ia juga menurunkan celana dalamku, hingga penisku langsung mencuat keluar. Tanpa aba aba ia langsung mencaplok kepala penisku yang berkilat karena mazi yang keluar. Tubuhku bergetar hebat, hangat mulut rian menyelubungi penisku. Rasanya lembut. Dengan menggerakan kepalanya turun naik ia membuat gerakan mengocok penisku dengan mulutnya. Tanganku liar mencengkeram rambut rian mendorong kepalanya agar penisku lebih dalam masuk ke rongga mulutnya. Rian tersentak, dengan megap megap ia mengeluarkan penisku dari mulutnya, ia cemberut.
“jangan gitu dong sayang, aku jadi mual, kepala penismu kena kerongkonganku, rasanya mau muntah..”
protesnya manja.
“iya sayang.. Maaf.. Hehehe..”
seringaiku menahan senyum.
“janji nggak di dorong lagi?”
rian meminta kepastian.
“iya janji..”
aku meyakinkannya. Lalu rian melanjutkan tugasnya yang tadi sempat terhenti. Ia menjulurkan lidahnya, menjilati batang penisku, mulai dari kepalanya yang mengkilat karena tegang sempurna, lalu turun ke ceruk tengah diantara belahan kepala penis di perbatasan leher bertemu batang.
“ahhhh… Sayang… Nikmat banget… Teruskan sayang… Iya begitu…”
aku menggelepar gelepar bak ikan terdampar di daratan. Dengan lihai lidah rian menari nari dipenisku, menyapu dan menjilat seluruh permukaan yang sensitif hingga saraf saraf yang ada di kulit penisku semakin terstimulasi, aku merasakan darahku mengalir lebih deras hingga mengelenyar ke otakku.
Rian menyedot, menjilat dan mengulum tak henti henti seolah tenaganya tak pernah akan habis. Tangannya yang kekar di tumbuhi bulu ikal mengusap dadaku sementara mulutnya tetap bermain dengan lincah di penisku. Aku menggenggam jemari rian yang ramping dan panjang, ia membalas meremas jemariku mesra. Saat ini aku betul betul tergila gila dengan permainan rian. Aku menggerakan panggulku turun naik untuk mengimbangi gerakan rian, sesuatu dalam perutku dibawah pusar seolah berdenyut denyut, memberikan sensasi yang sulit untuk aku gambarkan dengan kata kata. Lidah rian yang lembut turun semakin ke bawah, ia menjilati testisku sambil sesekali mencucupnya.
Aku melebarkan pahaku, membiarkan rian melakukan apapun yang ia sukai di area itu. Sambil menjilati testisku, jari tengahnya memainkan lubang anusku, ia membasahi jarinya dengan ludah, lalu dengan perlahan ia membelai seputaran bibir anusku. Ia membuat gerakan melingkar di sekeliling anusku. Lalu ia membasahi lagi jarinya dengan ludah. Perlahan lahan jarinya menerobos masuk ke dalam lubang anusku. Aku memejamkan mata, sedikit rasa sakit saat jari tengah rian sedikit demi sedikit menelusup masuk ke dalam saluran pembuanganku, aku merasakan anusku membuka, terganjal oleh jari rian. Ia memasukan jarinya semakin dalam hingga tertelan semua masuk dalam anusku. Aku mengejan hingga jari tengah rian seolah terjepit oleh cincin anusku. Ia semakin gencar menjilati penisku. Rian memasukkan penisku ke dalam mulutnya hingga ke pangkal, bulu bulu lebat disekitaran penisku menempel diwajah rian yang putih mulus, begitu kontras, aku bisa merasakan ujung penisku menyentuh amandelnya. Rian sangat mahir melakukan itu, sambil mengulum, lidahnya menari nari , menyapu penisku yang masih berada dalam mulutnya. Rasa sedikit sakit pada anusku tertutup oleh rasa nikmat yang tiada tara pada penisku. Melihat aku mulai rileks, rian memasukan lagi satu jarinya ke dalam lubang anusku, mungkin karena sudah terbuka karena jari satunya telah masuk, tanpa kesulitan berarti satu jarinya lagi menembus lubang anusku. Dua jari rian bersarang dalam lubang anusku. Ia mulai beraksi memaju mundurkan jemarinya hingga keluar masuk dalam lubang anusku. Aku mengernyit sedikit kesakitan saat rian memasukan lagi jari manisnya hingga sukses tiga jarinya masuk dalam anusku, cincin di bibir anusku membetot jari jari rian hingga ia ekstra hati hati menggerakan jarinya agar tak mencederai anusku.
Rian menegakan badannya, namun jarinya tak ia tarik dari anusku, aku diam menunggu dengan pasrah, rian bergerak mundur sedikit, dengan tangan kanannya ia membebaskan celana yang masih menempel di lututku, lalu ia lemparkan ke lantai dengan tak sabar. Rian mengangkat kedua kakiku, lalu mengambil bantal dan ia letakkan tepat di bawah pantatku. Kejantanan rian mengacung keras menempel di pahaku. Aku mencoba untuk serileks mungkin, ku tarik nafas dalam dalam, memang bukan yang pertama kali aku dianal rian, namun aku tetap harus santai agar rasa sakitnya tak begitu menyiksa. Terus terang walaupun bukan ukuran bule, namun batang kejantanan rian termasuk besar. Posisiku sekarang berbaring dengan pantat di sangga bantal serta kaki terangkat di bahu rian. Tubuh rian yang padat dan atletis, berkilat ditimpa cahaya lampu kamar yang terang benderang, aku memang tak mau memadamkan lampu agar aku bisa memandangi tubuh rian yang kekar sepuas puasnya. Aku ingin merekam setiap moment cinta kami berdua detik demi detik tanpa ada sedikitpun yang terlewatkan.
“kamu santai saja sayang… Aku akan berusaha pelan agar tak sakit..”
suara rian bergetar karena birahi. Aku cuma mengangguk dan tersenyum agar rian tak ragu. Rian meludahi telapak tangannya, lalu melumuri batang kejantanannya hingga basah. Aku memang tak suka memakai lotion karena terasa panas dan bikin perih. Aku lebih suka dengan ludah rian, soalnya lebih licin dan sensasinya lebih indah. Rian melebarkan pahaku hingga lubang anusku yang memerah disemaki bulu itu terlihat jelas olehnya. Lalu ia mengarahkan kejantanannya tepat di tengah tengah anusku. Aku tersenyum menatap mata rian. Ia balas tersenyum.
“aku cinta kamu rian…”
ucapku lirih.
“aku lebih mencintaimu dari siapapun..”
jawab rian senang. Ia menggenggam kejantanannya, lalu perlahan ia mendorong hingga kepalanya menempel di anusku. Sedikit demi sedikit ia menekan dengan menggerakan pinggulnya. Anusku mulai membuka, memberi celah agar kepala penis rian bisa masuk, saat itulah rasa sakit mulai datang, aku mengigit bibir, aku tak mau rian tau sakit yang aku rasakan. Mulutku tetap menyungging kan senyum. Rian menatapku lurus dengan nafsu. Aku suka sekali melihat wajah rian seperti ini, pandangan penuh nafsu dan cinta. Apapun akan aku lakukan agar wajah itu tetap seperti itu. Sedikit demi sedikit batang kejantanan rian masuk ke dalam anusku. Kepalanya yang sedikit runcing membuat sedikit cepat membuka. Aku meremas jemari rian dengan kuat. Menikmati penis rian yang masuk perlahan lahan hingga tenggelam seluruhnya ke dalam anusku. Rian melenguh sambil menengadah ke langit langit.
“tahan sayang jangan digoyang dulu..”
ujarku sambil menarik nafas, aku perlu beberapa saat untuk menyesuaikan diri, anusku terasa penuh terpejal oleh kejantanan rian. Bagian dalam perutku entah itu usus atau apa rasanya tersentuh kepala penis rian yang agak panjang.
“iya sayang… Gimana, masih sakit nggak?”
rian menatapku agak kuatir. Aku menggelengkan kepala, aku tak mau rian cemas.
“boleh aku goyang sekarang?”
rian memastikan.
Aku mengangguk sambil terus menatapnya lurus.
Rian menegakan badannya, lalu dengan gerakan lembut ia memompa, hingga kejantanannya bergerak maju mundur memasuki anusku. Panas sekali batang kejantanan rian, bergesek dengan dinding anusku. Sesaat kemudian aku mulai terbiasa, rasanya mulai nyaman.
“agak keras sayang..”
aku mengiba. Rian tersenyum lebar, tanpa dua kali disuruh ia langsung menghentakkan penisnya lebih keras. Aku membuka paha lebar lebar. Rian menjatuhkan badannya didadaku, lalu langsung melumat bibirku dengan rakus. Aku mengimbangi dengan mengoyang goyang pinggulku ke kiri ke kanan sementara rian sibuk memompa. Lidah rian masuk dalam mulutku, aku menyambutnya dengan menghisap lidah rian, bibirnya menghisap hisap bibirku, air ludah kami bercampur di dalam mulut, aku telan bagaikan kehausan. Aku memandangi tubuh bugil kami berdua lewat cermin lemari besar yang ada disamping, begitu erotis hingga aku bertambah terangsang.
“assshhh… Yaaa.. Oh… Yahhh… Teruskanhh… Riaaan… I love youhh sayanghh…”
mulutku tak henti hentinya berdesis dan menyeracau menyebutkan nama rian.
“iya sayang… I love you toooo… Shhhh… Ooooh… Enak banget sayang..”
nafas rian tersengal sengal seolah sedang mencangkul di kebun.
Tubuh rian bergerak naik turun diatasku, aku memeluk erat punggung rian, menarik agar lebih menempel erat di tubuhku. Keringat membasahi tubuh kami berdua hingga terasa licin, kejantanan rian yang keras keluar masuk dalam anusku, rasanya campur aduk antara sakit seperti ingin buang air besar, dan enak karena sesuatu bagian dalam perutku bergesek dengan daging panjang keras dan hangat milik rian, bahagia sekali rasanya saat tubuh kami menyatu dalam cinta seperti ini. Tak ingin cepat berakhir, rasanya ingin tetap seperti ini.
Rian menarik penisnya hingga keluar dari anusku. Aku menatap rian hendak protes, namun rian menggeleng, lalu ia menarik tubuhku. Rian merubah posisinya hingga duduk. Aku mengerti, rian ingin aku mendudukinya. Aku berdiri didepan rian. Masih sempat ia mencaplok penisku sebentar dan mengulumnya. setelah ia lepaskan, Aku langsung berjongkok tepat diatas kejantanan rian, lalu aku duduki pelan pelan hingga amblas semuanya tertelan oleh anusku. Dengan gaya seperti ini aku lebih bebas bergerak, aku bisa mengatur posisi mana yang paling enak. Rian memelukku. Kakinya ia luruskan sementara aku duduk diatas pinggulnya. Aku menggoyang goyangkan pantatku dengan cepat, naik turun, rian mendesis desis dengan tubuh gemetaran hebat, ia mencengkeram punggungku. Memegang pinggangku membantu mengangkat dan menurunkan tubuhku. Rian menjilati pentilku seolah bayi sedang menyusu, sesekali ia gigit dengan pelan. Rian memang perkasa, ia tak cepat keluar, hingga beberapa menit ia kembali merubah posisinya, kali ini ia menggendongku, membawaku dekat ke dinding, rian berdiri, sementara tanganku berpaut dibahunya. Aku mengangkang di gendong rian, kejantanannya tetap berada dalam anusku. Dengan posisi ini wajah kami berdua sejajar. Aku tempelkan hidungku ke pipinya, rian menahan punggungku agar tak merosot, lalu ia bergeser hingga punggungku menempel didinding, dengan begini ia tak terlalu keberatan mengangkat tubuhku karena terbantu dinding. Rian menghentak hentakkan kejantannya semakin kuat, aku sampai meringis berkali kali karena sodokan sodokannya sangat terasa, lubang anusku terasa makin panas, aku membuang pandangan ke samping, saat itulah mataku menangkap bayangan tak asing berdiri diluar jendela sedang mengintip melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Nafasku langsung berhenti saat itu juga. Meskipun gelap diluar aku bisa menebak siapa yang sedang mengintai kami dari luar. Dengan cepat aku dorong rian lalu aku tarik hingga penis rian keluar dari anusku.
“kenapa sayang?”
tanya rian heran.
“gawat rian… Gawat..”
aku panik, langsung memunguti pakaian dan celanaku yang tergeletak di lantai.
“pakai bajumu sekarang juga rian…”
aku melemparkan baju dan celana dalam rian, ia langsung menangkapnya dengan gesit, walaupun tak melihat cermin, aku tahu kalau wajahku pucat pasi. Masih dengan keheranan rian menuruti perintahku, ia memakai pakaiannya kembali. Aku merosot di lantai. Otakku buntu. Aku menoleh ke jendela, tak ada siapa siapa lagi disana. Hanya cahaya lampu taman yang memerangi kolam membias dari celah jendela. Aku tak mungkin salah lihat, tadi mataku dengan jelas bisa melihat dia berdiri tepat disitu sedang mengamati apa yang aku dan rian lakukan.
“kenapa sayang, katakan ada apa..?”
rian berlutut di depanku sambil memegang bahuku.
Aku menggeleng.
“tamat riwayatku… Kiamat rian..”
desisku lemas.

1 komentar: