Kamis, 03 Maret 2011

KEJADIAN JAHANAM
“Pacar om lelaki?…”
bibirku bergetar mengulangi kata kata om sebastian. Aku menatap mata om sebastian, tak ada terlihat tanda kesedihan ataupun ragu, sepertinya om sebastian sangat yakin untuk menceritakan rahasia dirinya yang selama ini tak pernah aku tau.
“iya rio… Kenapa..? Kamu pasti heran kan, atau barangkali kamu terkejut.. Om pahami itu..”
tenang sekali suara om sebastian. Aku jadi bingung harus memberi komentar apa, betul aku sangat terkejut, aku juga heran mengapa om sebastian yang terlihat begitu normal bisa mencintai seorang lelaki, aku jadi tak habis pikir, ternyata aku tak sendirian mengalami ini, rupanya bukan cuma aku yang tak biasa, ada sedikit perasaan senang juga. Namun kenapa sampai pacar om sebastian bunuh diri, aku jadi ingin tahu.
“om maaf boleh aku tau kenapa sampai e,.. Pacar om e,.. Bunuh diri..?”
aku memberanikan diri bertanya. Raut muka om sebastian mendadak berubah, matanya langsung murung, seolah menahan tangis yang hampir tumpah.
“itu yang om tak bisa terima sampai sekarang… Sakit rasanya hati om mengingat kejadian itu..!”
serak suara om sebastian beradu dengan isakan tertahan. Aku menunduk menghindari pandangan om sebastian, aku tak tega. Belum pernah aku melihat om sebastian begini lemah.
“pada waktu hubungan kami diketahui oleh keluarga, mama langsung melarang om untuk bertemu dengan rio..”
om sebastian melanjutkan dengan tersendat sendat.
“ri.. Rio..?”
aku kurang yakin.
“iya.. Namanya rio.. Lengkapnya rio prayuda.. Kami dulu begitu akrab, hingga tak terasa timbul perasaan lebih dari sekadar sahabat, awalnya saat ia mengakui perasaannya itu, om belum bisa menerima, tapi akhirnya om menyadari kalau sebetulnya om juga menyayanginya…”
om sebastian memulai ceritanya. Aku menyimak dengan serius.
“papa langsung memindahkan om ke sekolah lain dengan tujuan agar om tak lagi bertemu dengan rio, sejak saat itu suasana dalam rumah terasa bagaikan api, segala tindak tanduk om selalu diawasi, kemana mana harus ada yang menemani, om betul betul tak bisa melakukan apa apa, cuma yuk laras yang bisa memahami apa yang om rasakan, ia yang selalu menghibur om, mendengarkan segala cerita om walaupun om tahu sebetulnya yuk laras juga tak sepenuhnya bisa menerima kekurangan om ini, namun yuk laras lebih tak bisa menerima saat melihat om begitu menderita..”
om sebastian merogoh kantong celananya dan menarik selembar saputangan lalu menyusut hidungnya. Aku diam menunggu om sebastian melanjutkan ceritanya.
“rio yang lebih menderita ketimbang om.. Dia dipukuli abangnya sampai babak belur, belum lagi ayahnya yang memang keras dalam mendidik, membiarkan saja rio dipukul, itu membuat rio tertekan, perasaan malu mereka mempunyai anak yang menyimpang seperti rio membuat mereka semakin keras pada rio, hampir setiap hari kekerasan terjadi pada rio.. Kalau ada tingkah rio yang kurang mengena dihati abangnya, maka tangannya akan mendarat di wajah dan tubuh rio, namun sayangnya rio tak pernah menceritakan itu pada om, setiap kali kami bertemu walaupun secara sembunyi, rio tak pernah bercerita… Itu yang om sesali sampai sekarang…”
om sebastian tersenyum sinis, seolah mentertawakan kebodohannya sendiri.
“sudahlah om, itu bukan salah om juga, mungkin keadaannya saja yang harus begitu..”
aku tahu nasehatku tak bermutu sama sekali, terus terang aku betul betul tak tahu bagaimana menanggapi cerita om sebastian.
“makasih rio..”
senyum om sebastian sedikit terkuak dari bibirnya. Aku hanya membalas dengan anggukan.
“lalu om, setelah itu apa yang terjadi..?”
aku makin penasaran dengan cerita om sebastian.
“rupanya pertemuan rahasia kami diketahui… Sedihnya lagi, om langsung di pindahkan ke palembang, tinggal dirumah bang harlan, waktu itu faisal masih kecil, yuk laras menentang keras usul papa, namun ia juga tak berdaya, papa bisa sangat keras kalau sudah membuat keputusan. Sejak itu kami kehilangan kontak. Aku disuruh papa ikut tes jadi polisi, katanya untuk mendidik aku menjadi pria sejati.. Namun percuma saja.. Yang namanya orientasi seksual tak semudah yang mereka pikirkan untuk di hilangkan. Meskipun om jadi tentara sekalipun, om tetap akan menyukai lelaki, karena itu sudah takdir om, heh..”
om sebastian mendengus sinis, bagaikan mentertawakan nasibnya sendiri.
Aku tak perdulikan orang yang berlalu lalang, hujan sudah reda, namun langit masih kelabu, karena awan yang menggumpal menutupi cahaya bulan, membuat warna langit tak hitam pekat.
Om sebastian menceritakan bagaimana kejadiannya hingga rio bunuh diri, saat tahu om sebastian sudah pindah dari baturaja, rio betul betul seperti hilang pegangan, ditambah lagi perlakuan kasar keluarganya membuat rio memilih untuk mengakhiri hidupnya. Om sebastian tak di kabari mengenai itu, hingga setahun berlalu saat om sebastian telah menjadi seorang polisi dan kembali ke palembang, om sebastian berkunjung kerumah orangtuanya di baturaja, dengan tujuan bisa bertemu dengan rio, namun om sebastian hanya bertemu dengan batu nisan kaku dan dingin dari marmer, keluarga rio yang menyesal setelah kematian rio memilih meninggalkan baturaja dan pindah ke padang. Hanya tinggal om sebastian yang meratapi pusara rio. Hingga sekarang om sebastian selalu menyempatkan untuk ziarah di kubur rio. Aku terharu mendengar cerita om sebastian, ternyata di balik sikapnya yang tegas dan baik, om sebastian menyimpan kisah yang menyedihkan. Ingin rasanya aku memeluk om sebastian agar bisa mengurangi bebannya walaupun cuma sedikit.

+++

setelah bercerita, om sebastian mengajak aku pulang, karena hari sudah agak larut, sepanjang perjalanan kami membisu, sibuk dengan pikiran masing masing, wajah om sebastian sedikit muram, aku tak mengerti kenapa om sebastian menceritakan hal yang agak sensitif tentang dirinya itu. Padahal itu bagi sebagian orang adalah aib yang harus di simpan rapat rapat, apalagi dia adalah seorang aparat. Kalau sampai om sebastian mau bercerita, itu pastinya karena ia sudah percaya padaku. Cuma yang membuat aku bertanya tanya sekarang, apakah faisal juga sudah tau mengenai hal ini.
Tanpa terasa kami telah sampai dirumah. Aku turun dari mobil langsung masuk ke rumah. sementara om bastian menaruh mobil dalam garasi.
“darimana rio, mama udah tunggu dari tadi…”
terdengar suara mama dari pintu kamarnya. Aku langsung menoleh dengan heran, tak biasanya mama menungguku, ada apa ini. Lagi pula suara mama terdengar agak aneh seperti bicara agak ditahan tahan.
“kenapa ma?”
mama menghampiriku, wajahnya putih tertutup masker tebal, sementara rambutnya masih digulung dengan roll.
“dari tadi siang faisal tak keluar, coba kamu bujuk dia suruh makan..!”
ujar mama seperti berbisik, mulutnya nyaris tak bergerak, sebentar sebentar ia menyentuh pipinya dengan telunjuknya pelan pelan.
“kenapa sih ma.. Biasa aja ngomongnya, nggak usah bisik bisik gitu…?”
aku agak sebal.
Mama menggeleng sambil menunjuk wajahnya dan berkata hati hati.
“mama lagi maskeran, bisa retak kalo terlalu banyak ngomong..”
huuuu.. Dasar mama, udah tau amalnya lagi ngambek, masih aja sempat maskeran, padahal papa lagi ke luar kota, mama memang tak bisa di tebak jalan pikirannya. Aku berlalu dari hadapan mama, bertepatan om sebastian masuk keruang tamu.
“mau kemana rio?”
tanya om sebastian terus berjalan.
“kekamar kak faisal om..”
kataku sambil berjalan menuju kamar kak faisal. Om sebastian masuk ke kamarnya. Mama duduk didepan televisi tapi pandangannya ke arahku.
Pelan pelan aku ketuk pintu kamar kak faisal dan ku panggil dia, tak ada jawaban. Aku ulangi lagi, namun tetap tak dijawab, apakah kak faisal sudah tidur, padahal kan ia belum makan, kasihan kak faisal ia pasti sangat kelaparan, kak faisal pasti sengaja melakukan ini sebagai bentuk protesnya terhadap mama. Tanpa putus asa aku terus mencoba memanggil kak faisal, aku yakin kak faisal belum tidur, soalnya saat aku menempelkan telinga ke daun pintu. aku mendengar seperti ada suara berkresek yang langsung hilang dari dalam kamar.
“kak, bukain dong, rio mau ngomong sama kakak..”
aku mengeluarkan suara memelas biar kak faisal luluh.
“kak, apa kakak marah sama rio.. Kok kakak nggak jawab.. Kak.. Buka dulu sebentar..”
aku tak menyerah, akhirnya tak sia sia usahaku, terdengar sahutan dari dalam kamar.
“tunggu bentar dek..”
aku menghela nafas lega, mama yang sedang memperhatikan aku langsung berdiri, namun aku cepat cepat memberi isyarat agar mama tak buru buru menghampiriku, soalnya kak faisal nggak bakalan mau keluar kalau dia tau ada mama.

+++

pintu kamar kak faisal terbuka, kak faisal berdiri didepan pintu menatapku dengan heran.
“kenapa kamu?”
tanya kak faisal dengan nada seolah olah aku sudah gila.
“kak faisal nggak makan?”
tanyaku cemas.
“nggak..!”
jawab kak faisal ketus.
“nanti kak faisal sakit.. Makan ya kak..!”
“biarin aja, biar mama puas..”
“kakak nggak boleh begitu.. Mama pasti ingin yang terbaik untuk kak faisal..”
aku hampir putus asa dengan kekeras kepalaannya.
“mama tau apa.. Yang terbaik untuk mama belum tentu terbaik untukku..”
kak faisal ngotot.
“boleh aku masuk kak?”
tanyaku hati hati.
“ngapain?”
“ya temani kakak aja..”
“nggak usah, aku mau sendirian..”
“sebentar aja kak..”
pintaku memelas.
“nggak…”
kak faisal mendelik.
“sebentaaaaar aja kak..”
“cerewet!.. Awas kalo lama..!”
kak faisal cemberut sambil melebarkan pintu, aku masuk kedalam dan duduk diatas tempat tidur. Kak faisal menutup pintu secepat kilat. Aku terpana melihat tingkah kak faisal. Setelah mengunci pintu, kak faisal menghampiriku dan menghempaskan tubuhnya keatas tempat tidur.
“kakak sebel sama mama.!”
gerutu kak faisal. Aku pandangi kak faisal, wajahnya memang murung tapi tak pucat, padahal dari tadi siang belum makan.
“nanti rio bantu bicara sama mama kak, tapi mendingan kakak makan dulu, nggak ada gunanya kalo udah sakit..”
aku mencoba memberikan jalan keluar.
“nggak ah, nggak ada selera… Kamu aja gih makan sana kalo laper..!”
kak faisal mendumel.
“loh kok malah rio yang kakak suruh makan, rio itu udah berapa kali makan dari tadi kak, masa sih gara gara amalia kakak jadi cengeng kayak gini..”
aku mendesah melihat kelakuan kak faisal yang kayak anak kecil.
Kak faisal mendadak bangun dan beringsut cepat duduk disampingku.
“apa maksud kamu bilang kakak cengeng?”
tuntut kak faisal tak terima. Aku menahan senyum, lucu juga melihat kak faisal kalau sedang merajuk.
“ya apalagi kalo bukan cengeng kalo ada masalah mengurung diri dalam kamar kayak cewek aja..”
tapi kata kataku terputus karena kak faisal langsung menowel keningku.
“enak aja kalo ngomong..!”
kak faisal berdiri kemudian berjalan dengan cepat menuju ke televisi dan membuka laci dibawah televisi. Kak faisal mengeluarkan satu bungkusan plastik hitam kemudian ia lemparkan ke arahku. Untung saja aku sigap menangkapnya.
“apa ini kak?”
tanyaku heran sambil membuka bungkusan plastik itu. Mataku terbelalak begitu tahu apa isi dalam kantong plastik ini.
“puas!!”
ujar kak faisal kembali menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.
Aku mengangkat bahu dan menggelengkan kepala, dasar kak faisal emang tak mau rugi, rupanya ia makan juga dari tadi walaupun berkurung dalam kamar. Kak faisal menyiapkan roti di kamarnya. Bodoh sekali aku kenapa sampai tak terpikir kalo biasanya dikamar kak faisal ada makanan.
“awas kalo dibilangin sama mama ya!”
kak faisal mengacungkan tinjunya ke arahku.
“dasar curang!”
aku menimpuk kak faisal dengan bantal.
“hei apa apaan ini dek..!”
kak faisal kelabakan menghindar.
Aku terus memukuli kak faisal, ia Akhirnya karena capek aku berhenti dengan nafas tersengal sengal.
“adek ini ngerusak mood aja..!”
gerutu kak faisal sambil tertawa.

+++

“salah kak fai sendiri.. Ada masalah bukannya berbagi… Ini malah milih menyepi..”
cibirku sambil baring disamping kak faisal.
“mama ada ngomong apa tadi?”
tanya kak faisal penasaran.
“mama cuma kuatir kakak nggak makan aja.. Percuma kak, sepertinya mama tetap nggak akan setuju kakak pacaran sama amalia…”
aku mencoba jujur, namun itu malah membuat kak faisal kembali murung.
“mama tak berhak melarang larang aku pacaran dengan siapapun.. Lagian dia bukan mama kandungku.”
aku terkejut mendengar apa yang barusan kak faisal ucapkan. Tak kusangka sama sekali kalau ia akan mengatakan itu.
“kak… Kenapa ngomong kayak gitu, mama melakukan itu karena ia sayang sama kakak.. Mama sudah menganggap kak faisal anak kandungnya kak.. Tak pantas kakak bicara kayak gitu..”
suaraku agak tinggi karena tersinggung, tak kusangka kak faisal bisa sepicik itu.
“kalau mama memang sayang kenapa ia tak suka melihat kakak senang..”
bantah kak faisal masih tetap dengan pendiriannya.
Aku menarik nafas dalam, susah juga rupanya kalo kak faisal sudah ngambek, baru keliatan kalau ia keras kepala.
“terserah kakak menilai mama, mungkin mama belum tau siapa amalia, nanti juga kalau kakak sabar, mama mungkin akan luluh.. Lagipula amalia kan cukup baik kak..”
nasehatku sok bijak.
“iya kalo emang gitu, gimana kalo mama tetap nggak bisa terima?”
kak faisal mulai ragu.
“ya kakak mengalah aja, lagipula kalian kan masih muda juga, itu kan cuma cinta saudara tua..”
“huuuu.. Lo itu saudara tua, tak ada cinta saudara tua dalam kamusku.. Kakak serius sama amalia.. Kakak mau nanti kalau kakak dewasa, menikah sama amalia…!”
kak faisal berkeras.
Ada yang menghimpit dadaku saat mendengar pernyataan kak faisal, entah kenapa aku jadi sedih, aku merasa begitu cemburu pada amalia, begitu sayangnya kak faisal padanya. Rasanya tak rela kak faisal dimiliki orang lain.
“dek.. Kakak ngantuk, adek mau tidur disini atau dimana?”
nada kak faisal setengah mengusir.
“rio tidur dikamar rio aja kak..”
jawabku sambil bangun dan turun dari tempat tidur.
“tolong matiin lampunya dek..”
ujar kak faisal sambil menarik selimut. Aku menekan sakelar hingga kamar kak faisal gelap, kemudian aku keluar dan menutup pintu.
Mama sudah tak ada lagi diruang menonton, jam sebelas sekarang, seisi rumah pasti sudah tidur.
Aku masuk kamar dan tidur.
Aku terbangun subuh subuh karena bermimpi buruk, dan tak bisa tidur lagi hingga terang. Jadi aku pergi ke sekolah dengan keadaan mata masih mengantuk.
Pulang sekolah keadaan rumah begitu sepi. Tadi kak faisal tak aku temukan di sekolah, padahal tadi pagi aku lihat ia berangkat walau lewat pintu belakang dan nggak pamit sama mama maupun papa. Kemana kak faisal bolos, agus, rizal dan teman temannya yang lain aku lihat ada di sekolah. Kalau mama tau kak faisal bolos, pasti mama bakalan marah.
Aku duduk di depan teras, kemana sih seisi rumah ini, kok nggak ada. Kalau mama dan papa sih pasti masih di kantor, tapi bik tin kok nggak ada.
Setengah jam aku menunggu karena tak bisa masuk. Untunglah tak berapa lama kemudian om sebastian pulang dengan motornya. Om sebastian agak heran juga melihat aku duduk diteras masih mengenakan seragam sekolah.
“kok nggak masuk rio?”
tanya om sebastian naik ke tangga teras dan membuka sepatunya.
“nggak ada siapa siapa dirumah om..”
jawabku sambil berdiri.
“ya ampun om lupa bilang, bik tin tadi pulang kampung, katanya ibunya sakit.. Jadi dia harus pulang..”
om faisal menepuk keningnya dan tertawa.
“rumah dikunci..”
sungutku sebal.
“tunggu sebentar, biasanya kunci di tinggal di situ.”
ujar om faisal mendekati pintu dan berjongkok mengangkat vas bunga lalu menuang isinya ke telapak tangannya. Betul saja sebuah anak kunci langsung meluncur dari dalam vas ke telapak tangan om sebastian.
“kamu pasti belum makan.,”
om sebastian memutar anak kunci di lobangnya dan pintu terbuka. Aku mengikuti om bastian masuk.
“gerah banget ya..”
om sebastian membuka kancing baju bagian atas.
“rio mau ke kamar dulu om, ganti baju.”
kataku sambil berjalan menuju kamarku.
“iya om juga mau ganti baju.”
jawab om sebastian.
Aku masuk dalam kamar dan membuka baju. Tiba tiba om sebastian masuk. Aku berbalik, pandangan om sebastian agak aneh. Entah kenapa ia menatapku tajam seolah tak pernah melihatku sebelumnya.
“kamu betul betul cakep rio..”
suara om sebastian terdengar ganjil.
“ah om bisa aja..”
aku tersipu malu.
“om mau melihat kamu telanjang… Tubuh kamu sudah mulai tumbuh.”
om sebastian menghampiriku.
Aku tersipu urung membuka baju.
“ah om ini bisa aja.. Nggak ah om, malu…”
“nggak usah malu sama om rio, bukannya kamu juga udah pernah lihat om telanjang kan..”
paksa om sebastian, aku tak yakin apa om sebastian serius atau cuma main main.
Om sebastian mendekatiku, nafasnya terdengar agak memburu, tak biasanya om sebastian berlaku aneh seperti ini, membuat aku merasa sedikit takut.
“katanya tadi om mau ganti baju..!”
aku mengalihkan pembicaraan yang tak enak ini.
“itu bisa nanti, om mau lihat kamu ganti baju.. Punya kamu sebesar apa?”
aku terhenyak mendengarnya, om sebastian sudah mengaku kalau ia gay tadi malam, dan sekarang ia bersikap aneh, masa ia mau melihat aku telanjang, bukannya aku ini ponakannya.
“rio.. Jujur.. Om suka sama kamu..!”
om sebastian menghampiriku tangannya langsung memegang dadaku dan mencoba membuka bajuku.
“om jangan om.. Sadar.. Aku ini rio..”
“ya rio, om tau kamu rio.. Om sangat mencintai kamu..”
om sebastian menarik seragamku dengan paksa.

+++

“om sudah lama menahan…kamu betul betul bikin om penasaran..”
om sebastian mendorongku hingga terbaring diatas tempat tidur.
Aku meronta ronta, namun tangan om sebastian yang kuat membetotku hingga aku sulit untuk bergerak.
“om jangan… Sadar om aku.. Aku ini rio… Om jangan..”
aku betul betul takut, om sebastian bukan seperti yang aku kenal selama ini, ia seperti kerasukan, padahal semalam om sebastian masih lembut dan baik, begitu cepat ia berubah, aku seakan tak mengenalnya.
“jangan berontak rio, om akan memberikan sesuatu yang tak akan kamu lupakan seumur hidup…”
om sebastian menindih tubuhku dengan kasar. Dadaku terasa sesak karena tubuh om sebastian yang kekar begitu berat.
Nafas om sebastian menerpa wajahku, tangannya menelusuri dadaku yang setengah terbuka. Aku merinding, berdiri semua bulu disekujur tubuhku. Mual serasa ingin muntah. Ditambah lagi kepalaku yang tiba tiba jadi pusing.
Om sebastian tak berhenti.
Tanganku yang memukul mukul tubuh om sebastian tak ia indahkan seolah tak ada rasanya sama sekali.
“semakin kamu beronta, om jadi semakin nafsu, kamu betul betul bikin om tergila gila…”
dengan serampangan om sebastian membuka paksa seragam kemeja putih di tubuhku hingga beberapa kancingnya terlepas dari jahitan.
“om jangan…”
suaraku semakin melemah. Aku takut sekali, namun dibalik itu ada rasa penasaran. Jantungku berdebar tak menentu. Om sebastian mungkin sudah gila.
“sudahlah tak usah melawan, tak ada siapa siapa disini, rumah ini besar, kamu teriak pun tak kan ada yang bakalan mendengar..”
om sebastian terus menindihku dengan liar. Aku kehabisan tenaga untuk melawan, lututnya menekan pahaku hingga tak bisa bergerak. Ngilu sekali rasanya. Aku sudah pasrah, tak mungkin juga aku melawan, kata kata om sebastian benar, percuma saja aku teriak. Air mataku mengalir seiring satu persatu pakaianku dilucuti dari tubuh hingga tak tersisa apa apa.
“indah sekali.. Tubuhmu betul betul mulus rio.. Om betul betul suka sama kamu.. Jangan menolak, om tak akan menyakiti kamu…”
bibir om sebastian menyapu dadaku perlahan lahan menimbulkan rasa geli yang membuat aku merinding. Aku memejamkan mata kuat kuat, pasrah sudah apapun yang om sebastian lakukan. Waktu berjalan seolah makin lambat, terbaring menghentak hentak seiring dorongan tubuh om sebastian beserta rasa sakit tak tertahankan yang baru sekali ini aku alami diantara kebencian dan rasa mual namun hanya bisa diam. Tubuhku bagaikan dimasuki benda yang menyakitkan. Aku menjerit namun om sebastian membekap mulutku. Hampir satu jam hingga akhirnya om sebastian berhenti, meninggalkan aku yang masih terbaring meringkuk kesakitan. om sebastian memakai bajunya keluar dari kamar seolah tak terjadi apa apa.
Dengan sisa tenaga yang masih aku miliki aku turun dari tempat tidur kemudian mengunci pintu kamar. Aku meringkuk disudut ranjang dengan tubuh gemetaran. Bercak darah membasahi lantai dan seprei.

++++

“rio… Bangun nak.. Sudah hampir maghrib..”
puasa mama terdengar dari luar disertai ketukan pintu.
Aku tak menjawab, tak bergeming terbaring diatas lantai telanjang bulat. Rasa nyeri makin menjadi di saluran pembuanganku. Bagaikan ada yang robek. Tubuhku panas dingin bagai demam.
“rio.. Rio.. Bangun sayang..”
kembali terdengar suara mama.
Aku tetap tak menjawab, aku tak mau mama melihat keadaanku ini, aku betul betul takut. Beringsut aku mengambil lap dari bawah tempat tidur kemudian membersihkan sisa sisa darah yang menetes di lantai.
Suara mama tak terdengar lagi, hanya langkah kakinya yang menjauhi kamar semakin terdengar samar. Aku betul betul membenci om sebastian lebih dari apapun di dunia ini.

++++



aku mandi hampir menghabiskan satu bak air hingga menggigil kedinginan, berkali kali aku menyabuni tubuhku, menyiram menyabuni lagi dan menyiram lagi seolah olah dengan begitu aku bisa menghilangkan segala bekas paksaan om sebastian tadi. Aku terpuruk di samping bak mandi. Meringkuk dengan tubuh basah kuyup. Aku sangat ketakutan bercampur marah. Aku jijik bila ingat kejadian tadi. Hilang segala kekagumanku pada om sebastian. Sosok yang selama ini begitu aku percaya. Sakit rasanya hatiku.
Untuk mengadu itu tak mungkin, selain malu akupun tak mau membuat keadaan rumah jadi ribut, belum selesai masalah kak faisal, sekarang aku yang begini. Bisa bisa mama jadi stress. Aku berdiri sempoyongan. Rasa sakit masih terasa dibagian bawah perutku. Dengan tertatih aku keluar dari kamar mandi, mengeringkan tubuh dengan handuk. Aku tarik seprei penutup tempat tidur yang dikotori bercak darah kemudian aku siram dengan air dalam kamar mandi hingga aku yakin bekas darahnya hilang.
Waktu aku memakai baju, terdengar pintu kamar di ketuk.
Aku terkejut sekali, aku takut kalau yang mengetuk pintu adalah om sebastian, aku tak ingin melihat mukanya lagi.
“dek.. Buka pintu.. Kakak mau ngomong.!”
suara kak faisal terdengar. Aku langsung lega. Cepat cepat aku buka pintu. Kak faisal langsung masuk.
“udah mandi dek?”
tanya kak faisal sambil mengamatiku dari atas hingga kebawah.
“su.. Sudah kak.. Ke.. Kenapa.?”
tanyaku terbata bata.
Kak faisal mengernyitkan keningnya.
“kenapa adek kayak orang gugup gitu?”
selidik kak faisal heran.
“nggak.. N..ng.nggak kenapa.. Napa kak..”
jawabku berusaha terdengar santai namun gagal total.
“adek nggak usah bohong, pasti ada sesuatu, kenapa muka adek pucat gitu.. Adek sakit ya?”
kak faisal mendekatiku dan mencoba untuk menyentuh keningku namun aku langsung mundur menghindarinya. Kak faisal terpaku memandangku.
“dek ada apa sih?”
cecar kak faisal kurang puas. Aku menggeleng tak menjawab.
“ada yang ganggu adek di sekolah ya?”
tuduh kak faisal asal.
“nggak kak.. Nggak ada..”
“trus kenapa adek jadi aneh gini?”
“nggak kenapa napa kak, kenapa sih curigaan gitu, kan aku udah bilang nggak ada apa apa..”
aku berusaha mengatur suaraku biar terdengar netral jadi kak faisal tak curiga lagi.
“ya sudahlah kalo emang nggak ada apa apa.. Kakak cuma mau nanya, tadi di sekolah ada yang nanyain kakak nggak?”
tanya kak faisal ingin tau.
Aku menggeleng.
“nggak ada kak..”
“dek tolong jangan di bilang sama mama kalo tadi kakak bolos..”
suara kak faisal memelas.
“iya kak..”
“mau ikut kakak jalan nggak?”
tawar kak faisal.
“rio kurang enak badan.. Kakak pergi aja, rio mau istirahat..”
kak faisal menatapku tajam.
“tadi katanya nggak apa apa.. Kalau memang sakit mendingan kerumah sakit aja dek, bilang sama mama minta antar ke tempat praktek dokter langganan mama..”
kak faisal menunjukkan perhatiannya. Aku jadi terharu, walaupun ia juga sedang banyak pikiran namun masih perduli padaku.
“makasih kak, kayaknya sih cuma demam biasa, dibawa tidur juga sembuh kok.. Nggak usah ke dokter..!”
aku menutupi kepanikanku, gawat kalo sampai mama tau aku kurang enak badan, bisa bisa aku dibawa ke dokter dan semua akan terbongkar, aku tak mau itu terjadi.
“ya sudah.. Kamu istirahat saja, kakak mau jalan dulu, bete dirumah..”
“kakak mau kemana?”
“rumah amalia, mau minta maaf sama dia..”
jawab kak faisal.
“hati hati kak.. Semoga berhasil.”
kak faisal tersenyum lebar, kemudian ia menghampiriku dan memelukku.
“makasih dek…”
aku membisu, ingin rasanya menangis. Pelukan kak faisal sedikit mengangkat beban dihatiku. Andai saja kak faisal tau apa yang aku rasakan terhadapnya, masih maukah ia memelukku seperti ini, andai juga ia tau apa yang baru saja terjadi, apakah kak faisal tak akan memandang rendah aku? Aku takut kak faisal jadi berubah bila mengetahui semua ini.
Kak faisal melepaskan pelukannya kemudian keluar dari kamarku.
Aku mencoba memejamkan mata namun sulit sekali untuk tidur. Kejadian tadi selalu melintas dalam pikiranku bagaikan film yang diputar terus menerus hingga membuat aku merasa jadi gila. Aku menangis sepanjang malam. Terlebih ingat dengan emak, rasanya aku mau kembali saja ke bangka, tenang dalam lindungan emak, tak ada masalah berat walaupun hidup bersahaja.

+++

sudah tiga hari ini om sebastian tak pulang kerumah, aku tak tau apa ia menghindar atau memang sibuk kerja. Yang pasti aku merasa lebih aman, rasa nyeri sudah hilang, tapi aku masih bergidik bila teringat.
Kak faisal juga mulai jarang tidur dirumah, ia langsung pergi setelah pulang sekolah, tanpa memberitahuku kemana. Mama tak punya kesempatan untuk menegurnya karena kak faisal terlihat sekali menghindari mama, aku betul betul kesepian dirumah, bik tin belum pulang dari kampung. Jadi setiap hari mama beli makanan jadi.
Siang itu saat aku sedang sendirian dirumah, baru saja mau mengambil piring di rak, tiba tiba terdengar suara motor om sebastian. Jantungku terasa langsung anjlok. Buru buru aku taruh kembali piring yang aku pegang. Secepat kilat aku berlari menuju ke kamar. Aku mengunci pintu kamar, jantungku berdebar debar tak menentu.
Aku takut sekali dengan om sebastian, wajahnya yang beringas saat ia memaksaku, tak akan bisa hilang dari bayanganku. Aku takut ia melakukan hal itu lagi. Belum hilang betul rasa sakitnya, aku berdoa dalam hati semoga mama atau siapapun saja yang tinggal disini segera pulang.
“rio.. Kamu didalam?”
jantungku mau copot saat pintu kamarku di gedor beradu dengan suara om sebastian. Aku tak menjawab. Duduk bengong menatap lantai. Tak perdulikan om sebastian memanggil manggil hingga akhirnya ia capek sendiri dan berhenti. Lega sekali saat om sebastian terdengar menjauhi kamarku. Aku beranjak hendak baring di tempat tidur. Namun kembali aku nyaris teriak saat wajah om sebastian nongol dari balik kaca jendela kamarku.
“hei.. Di panggil kok nggak jawab.. Bukain pintunya dong…!”
om sebastian menempelkan wajahnya di kaca.
Aku menggeleng pelan. Bodohnya aku kenapa sampai tak terpikir untuk menutup gorden, tentu saja om sebastian akan periksa dari luar halaman, kamarku kan terletak diruang utama, jendelanya cukup strategis dari halaman samping. Jadi om sebastian cukup keluar dari pintu ruang keluarga sudah kelihatan dengan jendela kamarku.
“rio jangan takut.. Om nggak akan nyakitin kamu kok.. Buka ya sayang..”
om sebastian tersenyum lebar seolah tak pernah ada kejadian apa apa antara kami.
Aku jadi kebingungan apakah tetap berkurung dalam kamar atau malah membuka pintu.
“ayo dong rio, aku kan om kamu, kok kamu jadi takut gitu sih… Kamu marah ya sama om.. Iya deh om minta maaf..”
kata kata itu meluncur dengan mulus dari bibirnya tanpa beban. Seolah permintaan maaf itu diucapkan semudah kata “apa kabar”.
“om lagi ngapain ngintip kamar rio?”
terdengar suara kak faisal.
Aku menarik nafas lega, untung saja kak faisal cepat pulang. Dari balik jendela aku lihat kak faisal berjalan menghampiri om sebastian dan ikut ikutan menempelkan wajahnya ke kaca untuk mencari tau.
Ia nyengir lebar saat melihat aku.

“dek lagi ngapain?”
tanya kak faisal dari balik jendela. Aku tersenyum
“nggak apa apa kak, cuma ketiduran tadi..”
jawabku sambil membuka pintu kamar lalu keluar menemui kak faisal yang ternyata sudah masuk ke dalam rumah.
“mama belum pulang dek?”
“belum kak.. Mungkin sebentar lagi..”
“ikut kakak kerumah koko ya dek..”
ajak kak faisal.
“ngapain kerumah koko kak?”
aku agak heran.
“tadi kakak kerumahnya, mama koko arisan ntar malam, dan katanya banyak makanan, jadi ia nyuruh kita datang, mamanya bilang gitu dek..”
kak faisal menjelaskan. Aku mangut mangut.
Om sebastian menatapku seolah ada yang ingin dia katakan namun terhalang dengan keberadaan kak faisal, aku tak mengacuhkannya. Andaikan dia melakukan pendekatan yang beda mungkin aku masih bisa menerimanya. Aku jadi curiga apakah kak faisal juga sudah pernah mendapatkan pelecehan seperti yang om lakukan kepadaku. Semoga saja tidak.

+++

“assalamualaikum..”
mama rupanya sudah pulang.
“waalaikum salam.. Udah pulang ma..”
jawabku sambil membantu mama membawa barang barang belanjaannya ke dapur.
“iya sayang.. Bibik belum pulang jadi mama musti pulang lebih awal, hari ini mama mau masak.. Mana kak faisal?”
tanya mama sambil meletakkan sepatunya di rak.
“dikamar ma..”
ujarku singkat, mama mengangguk mengerti. Kak faisal memang belum teguran sama mama, ia masih kesal atas sikap mama terhadap amalia.
“mama ke kamar dulu, ganti baju..”
mama naik ke tangga menuju kamarnya.
Waktu aku mau ke dapur, om bastian mencegatku dan menarik tanganku.
“om mau bicara..!”
ujarnya tegas.
Aku mencoba melepaskan cekalan tangannya namun tenaga om sebastian betul betul kuat, ia menyeretku masuk kamarnya.
Setelah kami berada didalam ia langsung menutup pintu dan menguncinya.
“buka om! Apa apaan ini..!”
aku berontak.
“jangan teriak…!”
dengan panik om sebastian menutup mulutku.
Aku meronta ronta hampir sesak nafas, om sebastian menutup mulutku tak kira kira hingga hidungku pun tertutup membuat aku sulit bernafas. Perlahan lahan om sebastian melepaskan aku saat aku mulai berhenti melawan.
“rio, om tak mau menyiksa kamu, tapi tolong kamu juga jangan menyiksa om begini.. Om sayang kamu rio..”
ratap om sebastian serba salah. Aku melengos geram, sayang tapi memaksa, aku tak mengerti apa yang ada dipikiran om sebastian, enak saja dia bilang menyayangiku dan menyukaiku, tapi ia tak menanyakan apakah aku menyukainya. Ia main paksa, untung saja aku cowok, coba seandainya cewek, tentu masalah ini tak akan bisa ditutupi lebih lama, karena ada kemungkinan hamil, atau itu juga ada dalam pikiran om sebastian makanya dia berani melakukan perbuatan bejatnya itu disaat rumah sepi.
“aku mau keluar om, tolong buka pintunya..!”
aku berlari ke arah pintu. Om sebastian makin terlihat putus asa. Sepertinya dia juga kesal melihat aku yang tak bisa ia ajak bicara.
“rio tolong.. Om itu butuh bicara sebentar aja..”
“nggak.. Rio benci, om sudah menyakiti rio..”
aku tetap bertahan.
Tanpa aku duga tiba tiba om sebastian memelukku kuat kuat, seolah menahan agar aku tak pergi.
“om sayang kamu rio, terserah kamu mau percaya atau tidak..”
bisik om sebastian terengah engah, bibirnya menyusuri pipiku. Terasa hangat dan sedikit kasar oleh bulu jambangnya.
“om jangan…”
“om tau kamu sama dengan om, kamu juga gay.. Om bisa merasakan itu rio..”
suara om beradu dengan nafasnya yang tak teratur seolah bagaikan ada badai di kupingku.
Jantungku berdebar, darimana om tau, apakah om juga tau kalau aku menyimpan rasa terhadap kak faisal, padahal setahuku tak pernah sedikitpun aku menunjukan perasaanku itu.
“om jangan mengada ada..!”
aku menepiskan tangan om dari tubuhku. Namun secepat kilat ia memelukku lagi.
“om tak bisa kamu bohongi.. Rio, kamu itu masih remaja, om sudah dua kali umurmu.. Om tau sekali, dan om menyukai kamu.. Jadilah pengganti rio.. Tolonglah om, berikan lagi semangat hidup om yang dulu pernah hilang..”
puasa om sebastian sudah mulai melemah, seolah ia betul betul capek sekali. Perlahan ia melepaskan aku.
“pergilah kalau mau keluar.. Om tak akan memaksa lagi.. Cuma itu yang om ingin katakan.. Om mencintaimu..”
om sebastian berjalan gontai ke jendela. Kemudian memandang keluar tanpa berkedip, seolah pandangannya kosong.
Aku terdiam, dengan ragu memutar kunci.
“maafkan om rio..”
hanya itu kata yang kudengar sebelum akhirnya aku keluar dari kamar om sebastian.

+++

aku bergegas ke kamar, kemudian mengunci pintu dan mandi. Setelah itu aku berganti baju. Jam tujuh malam aku ikut kak faisal kerumah koko.
Seperti sudah menunggu, mama koko menyuruh aku dan kak faisal masuk. Koko sedang membantu pembantunya membereskan meja makanan.
“hai rio… Udah ditunggu dari tadi..”
ujar koko menghampiriku dan kak faisal.
“duduk dulu, nih aku lagi beresin meja..”
koko mempersilahkan.
Aku dan kak faisal mengangguk kemudian duduk.
“nak rio, sebentar ya sayang.. Tante ngambilin kue.. Pasti nak rio suka..!”
mama koko tersenyum lebar tergopoh gopoh ke dapur seolah menjamu tamu istimewa. Aku tertunduk malu, jadi nggak enak melihat keakraban keluarga koko padaku. Kak faisal sepertinya tak keberatan, ia tersenyum simpul melihat kesibukan mama koko.
“enak juga ya dek punya wajah yang mirip sama orang…”
bisik kak faisal.
“apaan sih kak..”
balasku jengah.
“ini kue nya.. Coba dicicip ya nak rio, nak faisal.. Nggak usah malu malu.. Masih banyak kok..!”
mama koko meletakan piring besar berisi kue cokelat yang terlihat sangat lezat sekali. Ada buah cherry di tiap tiap puncak potongan kuenya mirip dengan yang aku sering lihat di buku buku.

+++

“sebentar ya tante siapin empek empek dulu.. Sementara menunggu, dicicip dulu kuenya ya..!”
mama koko meninggalkan kami.
Aku dan kak faisal makan kue ditemani koko.
“tiap hari mama itu nanyain kamu terus..”
beritahu koko.
Aku menelan kue dalam mulutku.
“masa sih ko?”
tanyaku heran.
“iya yo.. Kamu nggak tau betapa sayangnya mama sama almarhum dulunya..”
jelas koko. Aku terdiam, kasihan juga keluarga koko harus kehilangan sosok yang mereka sayangi dalam keluarga mereka.
Mama koko keluar dari dapur sambil membawa empek empek panas baru digoreng. Kemudian menaruh diatas meja.
Mama koko menghampiri kami.
“udah siap empek empeknya. Ayo kita makan sama sama..”
tawar mama koko. Aku menoleh ke kak faisal, ia mengangguk.
“ayo ntar keburu dingin.”
tambah koko.
Aku dan kak faisal berdiri dan berjalan menuju ke meja makan.

+++

“makan yang banyak nggak usah malu malu…”
ujar mama koko sambil menuang cuka dalam mangkuk kecil lalu mengulurkan padaku.
“iya tante.. Makasih banyak..”
jawabku sedikit malu sambil mengambil mangkuk yang diberikan mama koko.
“wah ada pesta ya,.. Om ketinggalan nampaknya..”
serempak kami menoleh ke arah datangnya suara. Ternyata om alvin bersama anak dan isterinya.
“wah kok ndak kasih tau mau balik hari ini..?”
mama koko agak kaget.
“iya kak.. Soalnya kakaknya sophie tadi siang udah keluar dari rumah sakit..”
jelas om alvin sambil menghampiri kami.
“enak banget nih aromanya.. Kebetulan kami memang belum makan malam..”
om alvin menarik kursi dan bergabung bersama kami. Isteri om alvin, tante sophie duduk disamping om alvin.
“om.. Ini rio teman koko yang mirip sama kak johan..”
ujar koko tak ku sangka sangka.
Om alvin tersenyum padaku.
“iya betul betul mirip johan.. Kok bisa ya..”
“dia itu mirip om juga.. Soalnya kan wajah kak johan mirip banget sama om..”
celetuk koko membuat aku mukaku jadi mengembang karena malu.
“iya pa.. Kalau dilihat ia mirip banget sama papa..”
tambah tante sophie.
“rio tinggal dimana?”
tanya om alvin.
“sekip om..”
jawabku singkat menghindar dari tatapan om alvin.
“dek alvin dimakan dulu, katanya lapar..”
mama koko mengingatkan.
“oh iya.. Malah jadi ngobrol..”
balas om alvin sambil mengambil sepotong empek empek telor.
Jadilah malam itu kami makan sambil membahas kemiripan wajahku dengan almarhum johan dan juga om alvin.
Selesai makan koko mengajak aku dan kak faisal duduk di taman depan rumahnya.
“ko..om alvin sudah lama menikah dengan tante sophie?”
aku bertanya karena merasa penasaran. Tadi waktu duduk dekat om alvin aku merasa seperti begitu ingin lebih dekat lagi. Entah kenapa bagaikan ada dorongan dari hati untuk mengetahui tentang om alvin lebih banyak.
“sudah sih, sekitar 6 tahunan lah.. Dulu sih sempat heboh juga.. Soalnya pernah dulu kejadian om alvin mau menikah tapi menurut cerita mama, orangtuanya tak merestui.. Soalnya mereka cukup trauma dengan kepergian mama yang menikah dengan papa..”
koko bercerita.
Aku diam mendengarkan cerita koko.
“jadi om alvin sama tante sophie itu di jodohkan ya..”
tanya kak faisal ingin tau.
“iya.. Menurut mama, om alvin tak mau lagi menjalin hubungan dengan perempuan.. Ia sulit melupakan pacarnya yang dulu..”
koko merenung.
“tapi sepertinya hubungannya dengan tante sophie begitu harmonis.”
ujar kak faisal.
“dulunya om alvin menentang perjodohan itu, aku dengar mereka sudah beberapa kali bertengkar hingga hampir bercerai, namun om alvin masih memikirkan anaknya..”
jelas koko. Aku merasa simpati sama om alvin, pastilah berat baginya menjalani pernikahan tanpa rasa cinta.
“sebetulnya mama juga kurang suka sama tante sophie, kebiasaanya yang suka berdandan, belanja. Dan tak mau masak, bagi mama tak pantas dilakukan oleh wanita yang sudah menikah.. Untung saja om alvin cukup sabar, dan hingga kini bisa mengimbangi tante sophie..”
tambah koko panjang lebar. Mendengar penjelasannya itu aku merasa seakan telah mengenal om alvin.
“ko.. Udah setengah sepuluh, kami pulang dulu ya..”
pamit kak faisal melirik arloji di tangannya.
“kok buru buru amat sih.. Nanti aja lah..”
koko mencoba menahan kak faisal.
“adek udah mau pulang belum.. Kalo belum kakak pulang dulu..”
tanya kak faisal padaku. Aku jadi bingung.
“udah lah rio ntar aja, biarlah kalo faisal mau pulang duluan, ntar aku bisa antarin kamu pulang.”
tawar koko. Aku diam sejenak mempertimbangkan. “oke lah.. Kakak pulang aja duluan ntar aku biar diantar koko aja..”
jawabku.
“oke kalau gitu aku pulang duluan..”
kak faisal meninggalkan kami. Setelah kak faisal pergi koko mengajak aku masuk ke dalam.
Mama koko sedang ngobrol sama om alvin, tante sophie dan anaknya tak kelihatan.
“tante mana om?”
tanya koko.
“udah tidur ko..eh mana teman yang satunya lagi.”
tanya om alvin.
“faisal udah pulang om, aku masih mau ngobrol sama rio.
..”
“menginap disini aja nak rio.. Tempat tidur koko luas kok..”
ujar mama koko dengan nada berharap.
“kapan kapan aja tante, soalnya aku belum izin sama mama..”
aku menolak secara halus.
“kan ada telpon, coba telpon aja ke rumah..”
mama koko memberi usul.
“iya rio.. Nggak apa apa kok.. Sekalian temani koko..”
tambah om alvin.
Aku terdiam, nggak enak juga menolak kebaikan mereka, lagipula aku merasa sangat nyaman disini. Akhirnya aku mengangguk setuju.
Aku pinjam telpon rumah koko memberitahu mama, untung saja mama mengizinkan.
Mama koko senang sekali begitu tau aku diperbolehkan menginap disini.
Kami mengobrol hingga jam sebelas sampai akhirnya mama koko mengantuk dan pamit tidur. Sementara itu om alvin dan koko belum mengantuk mengajak aku menonton bola.
Aku nggak suka bola, jadi hanya dia depan televisi pura pura menikmati permainan konyol itu.
Setelah setengah jam aku mulai bete. Baru saja aku mau bilang kalo aku ngantuk dan mau tidur, tiba tiba koko berdiri. Rio nonton aja dulu, aku ke kamar mau tidur dulu, nggak apa apa kok ada om alvin yang temani, ntar kalo udah ngantuk nyusul aja ke kamar.. Oke..”
kata koko sambil menguap.
“iya.. Nggak apa apa..”
jawabku senang, hilang sudah ngantukku. Akhirnya aku ada kesempatan berdua dengan om alvin.
“om pernah ke bangka.?”
tanyaku begitu koko sudah pergi.
Om alvin mengalihkan pandangannya dari televisi dan tersenyum padaku.
“sudah.. Dulu sekali mungkin sudah belasan tahun..!”
Jawab om alvin.
“emangnya rio udah pernah ke bangka.?”
ia menambahkan
“aku kan dari bangka om, baru beberapa bulan disini.. “

“oh kamu asli bangka ya..! Om kira kamu memang orang sini..”
om alvin jadi antusias.
“iya om, dari lahir tinggal di bangka..”
jawabku
“kok bisa pindah ke palembang?”
tanya om alvin nampak tertarik.
“panjang ceritanya om, aku juga nggak nyangka bisa gitu..”
aku menggantung kalimatku.
“maksudnya?”
om alvin penasaran.
Kemudian meluncurlah cerita bagaimana sampai aku bisa terdampar di palembang ini.
Berkali kali om alvin mengerutkan kening saat mendengar ceritaku.
“jadi kamu baru tau kalau selama ini ibumu bukanlah ibu kandung, dan ternyata kamu cuma anak titipan?”
komentar om alvin serius. Sementara televisi masih menanyangkan acara bola, jadi terabaikan begitu saja.
“iya om..!”
“kamu lahir tahun berapa?”
tanya om alvin.
“1980 om…”
jawabku santai.
“waktu om di bangka kisaran tahun 1978.. Dan pindah kembali ke palembang tahun 1980…”
ucap om alvin pelan.
“ibu kandungmu siapa namanya yo?”
om alvin menatapku tajam. Aku jadi gugup ia pandangi seperti itu.
“nama mama meganingrum suharlan.., emangnya kenapa om?”
aku agak heran.
“nggak… Nggak kenapa napa..”
suara om alvin terdengar sedikit aneh.
“maaf om ngantuk.. Om mau tidur dulu ya..”
ujar om alvin tiba tiba. Tanpa berkata apa apa lagi langsung meninggalkanku sendirian depan televisi. Aku cuma bisa bengong. Dasar om alvin, aku kan belum puas ngobrol sama dia. Akhirnya aku matikan televisi dan menyusul koko ke kamar.
Koko sudah tidur, di dadanya terbentang buku komik yang nyaris jatuh. Aku ambil buku itu kemudian kutaruh dimeja. Setelah itu aku tidur.

+++



MASALAH DEMI MASALAH.

“sudah mama bilang jangan lagi pacaran dengan gadis itu…!”
pekik mama marah. Aku yang sedang berbaring malas malasan sambil baca buku dikamar hampir saja terlonjak kaget. Buru buru turun dari tempat tidur berlari keluar.
“malas bicara sama mama tak bakalan mengerti…!”
balas kak faisal tak kalah kerasnya.
“jangan membantah fai..! Mama melakukan itu demi kebaikan kamu sendiri!”
bentak mama histeris.
“fai udah dewasa ma, fai bisa memilih sendiri cewek yang fai inginkan.. Mama tak berhak mengatur ngatur fai..!”
jawab kak faisal keras kepala.
“mama berhak mengatur kamu karena mama adalah ibu kamu..!”
“tidak… Mama tak berhak..kenapa mama selalu memaksakan kehendak mama..fai juga berhak memilih apa yang fai ingin ma..!”
lawan kak faisal dengan emosi, wajahnya merah menahan amarah.
Aku menggeleng gelengkan kepala prihatin. Kok nggak selesai selesai juga masalah ini, kak faisal keras kepala mama juga keras kepala tak ada yang mau mengalah diantara mereka karena mereka berdua beranggapan sama sama benar.
“aku akan tetap pacaran sama amalia tak perduli mama setuju atau nggak, titik!!”
serang kak faisal sambil meraih tas ranselnya diatas meja makan, dengan cuek meninggalkan mama.
“fai tunggu dulu..!! Mama belum selesai bicara..!”
mama menjerit mengejar kak faisal.
Namun kak faisal tak menghiraukannya.
“terserah…!”
kak faisal meraih motornya di depan teras kemudian menghidupkan mesinnya lalu ngebut meninggalkan pekarangan. Mama menggelengkan kepala dan menarik nafas panjang. Kemudian berbalik masuk kerumah.
“ada apa ma?”
tanyaku iba.
“biasalah rio, kakakmu itu, keras kepala, tak mau menerima masukan dari orang lain..”
jawab mama kesal.
“ya sudahlah ma, kenapa juga sih mama melarang larang kak faisal pacaran sama amalia… Kalau mama melarang terus malah jadinya kak faisal makin mengejar ngejar amalia ma..”
ujarku sok menasehati mama.
“kamu belum kenal sama kakakmu itu rio, kalau ia sudah memilih, sulit untuk diubah..!”
mama mendesah kesal.
“ya sudahlah kalau gitu kenapa juga mama repot repot..”
aku menghempaskan pantat diatas sofa.
“apa nanti kata teman teman arisan mama, kok calon mantu mama kayak gitu..mama bisa malu..”
mama mengeluh.
“ngapain juga mikirin mulut orang…Ma apa mama tega kak faisal menderita hanya karena mama lebih memilih gengsi mama ketimbang perasaan kak faisal?”
ujarku hati hati.
Mama menatapku tajam.
“kamu pikir mama tak sayang sama faisal? Walaupun dia bukan anak kandung mama, tapi mama menyayanginya rio.. Sejak umur 8 tahun mama sudah merawatnya..”
keluh mama sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Terlihat sekali mama begitu letih. Bahkan baju kantornya pun belum di ganti.
“ma… Coba mama mengenal amalia dulu.. Beri kesempatan mereka ma, kalau memang amalia tak baik, aku yakin kak faisal juga akan mengerti nantinya…”
aku coba memberikan jalan keluar.
Mama terdiam seperti sedang mempertimbangkan usulku tadi.
“jadi maksud kamu mama harus menyetujui hubungan mereka?”
tanya mama kaget.
“mau tak mau ma.. Daripada kak faisal dan mama harus bertengkar terus, sementara mama sendiri bilang kak faisal keras kepala kalau sudah memutuskan sesuatu..”
tandasku sambil meninggalkan mama.

+++

lagi lagi kak faisal nggak pulang tadi malam, entah menginap dimana aku juga nggak tau. Wajah mama masih keruh, sarapannya cuma ia main mainkan dengan sendok.
“kenapa sih ma, papa liat dari tadi mama kok nggak makan, udah hampir siang loh.. Ntar mama kesiangan loh..”
tanya papa yang heran dengan sikap mama yang aneh.
“faisal pa..”
ujar mama sebal.
“oh iya faisal kemana ma.. Kok papa nggak liat?”
papa seperti baru menyadari kalau kak faisal absen sarapan bersama.
“itulah papa, terlalu sibuk dengan urusan sendiri, malah anaknya nggak diperhatikan lagi..”
protes mama kesal.
“loh.. Kan ada mama… Lagipula mama tau sendiri gimana sibuknya papa.. Emangnya ada apa sama faisal ma?”
tanya papa dengan sabar.
“faisal pa, tak mau mendengarkan pendapat orang lain, maunya dia terus yang didengarkan..”
mama mengeluh.
“faisal kan remaja ma, ya wajar aja dia bersikap seperti itu, mungkin sudah jamannya anak sekarang lebih bebas dan tak ingin diatur atur..”
ujar papa santai.
“papa ini bagaimana sih.. Makanya si faisal itu jadi kurang ajar.. Apa apa selalu papa bela, semua keinginannya selalu papa turuti, kalau begini caranya mendingan papa aja yang mendidik dia.. Mama udah capek!”
semprot mama sambil berdiri dan meninggalkan kami. Sementara sarapannya tak sedikitpun mama sentuh.
Papa melongo melihat mama yang meninggalkan ruangan makan dengan kesal.
“ada apa sih dengan kak faisal yo?”
tanya papa sambil mendorong piringnya yang sudah kosong ke tengah meja.
“itu pa.. Mama nggak setuju dengan pacarnya kak faisal..”
jawabku sambil mengunyah potongan terakhir dendeng balado dari piringku.
“faisal sudah punya pacar? Wah.. Kok papa belum dikenalin ya.. Dasar anak papa itu..”
ujar papa tertawa terkekeh.
“itu masalahnya pa.. Mama nggak setuju dengan pacarnya kak faisal..”
aku mengulangi penjelasanku tadi.
“maksudnya?”
tanya papa heran.
Kemudian meluncurlah kronologis cerita percintaan kak faisal dengan amalia, bagaimana keadaan amalia dan ketaksetujuan mama dengan hubungan mereka itu. Papa cuma diam mendengarkan penjelasanku. Sesekali ia mengangguk anggukan kepala.
Setelah aku selesai bercerita, papa seperti termenung. Entah memikirkan apa aku sendiri tak tau. Tiba tiba papa berdiri dan menyusul mama ke kamar.

entah apa yang papa bicarakan dengan mama dalam kamar, yang pasti setelah mereka keluar berdua, tak terlihat lagi ada tanda tanda kekesalan diwajah mama, bahkan mereka pergi ke kantor sama sama.
Aku tak sekolah karena liburan sudah dimulai, sebetulnya teman teman mengajak aku liburan ke desa tapi aku menolak karena aku masih ada masalah yang belum diselesaikan.
Aku bertanya tanya kemana kak faisal, ada kemungkinan ia menginap dirumah agus. Daripada menebak nebak tak pasti mendingan aku telpon saja agus langsung. Namun begitu aku tanyakan ternyata agus juga tak tau menahu, katanya sudah dua hari tak bertemu kak faisal. Aku berterima kasih dan menutup telpon, setelah itu aku telpon rizal dan teman teman kak faisal yang lain yang memungkinkan jadi sarang persembunyian kak faisal, namun sia sia, tak satupun temannya yang tahu dimana keberadaan kak faisal, dasar kak faisal pinter banget sih cari tempat sembunyi. Sepi juga rasanya rumah tak ada kak faisal, mana liburan lagi.. Aku cuma bisa menggerutu dalam hati.
“rio.. Nggak jalan?”
jantungku langsung berdesir mendengar suara om sebastian.
“nggak..!”
aku menjawab dengan malas. Sialan aku tak menyadari kedatangan om sebastian jadi nggak keburu masuk kamar.
“kamu masih marah sama om ya?”
tanya om sebastian menghampiriku.
Aku tak menjawab, pura pura sibuk membuka kulkas dan mencari makanan dalamnya.
“rio kok nggak jawab… Om tau sikap om sudah keterlaluan.. Tapi om sudah tak bisa mengendalikan diri.. Maafkan om ya..”
suara om sebastian agak parau.
“minta maaf untuk apa om.. Sudahlah aku ingin lupakan kejadian itu.. Jangan diingat ingat lagi..”
jawabku ketus sambil meninggalkan om sebastian. Aku masuk kamar kemudian menutup pintu dengan membantingnya.
Andai saja om sebastian tak melakukan pemaksaan mungkin aku tak akan bersikap seperti ini, namun apa yang telah om sebastian lakukan waktu itu betul betul menyakitkan. Ia memaksa memasukkan alat vitalnya kedalam anusku, itu betul betul sakit dan hampir membuat aku pingsan. Sampai sekarang aku masih gemetaran kalau mengingatnya.
Baru saja aku mau menyalakan televisi. Pintu kamarku terbuka. Om sebastian masuk tanpa mengetuk pintu.
“rio.. Apa yang harus om lakukan agar kamu tak marah?”
tanya om sebastian dengan mengiba.
Aku mencoba menghindari tatapan mata om sebastian. Jujur timbul perasaan iba, namun aku harus menjaga gengsi.
“waktu itu om khilaf.. Om tak dapat lagi menahan..”
om sebastian terdengar putus asa, suaranya agak sengau.
“khilaf om bilang…?”
tanyaku terkejut.
“maksud om begini.. Om..”
putus putus kalimat om sebastian.
“maksud om apa?”
tantangku berani.
“eng.. Maksud om.. Kejadian itu.. Om.. Terpaksa lakukan. Karena om sangat menyayangi kamu.. Dan om tak tau bagaimana harus memulai..”
om sebastian mengaku. Aku diam tak merespon.
“om tau om salah.. Tapi entah mengapa om bisa menyukai kamu.. Sifat dan gerak gerikmu mengingatkan om dengan dia..”
lanjut om sebastian, tanpa ia menyebut nama, aku sudah bisa menebak kalau yang ia maksudkan itu adalah almarhum rio prayuda.
“aku bukan rio prayuda om.. Aku rio krisna julian.. Dan kami beda.. Usia kami berdua pun beda jauh..”
ujarku tak acuh.
“om tau.. Tapi entah kenapa, om selalu mencari sosok yang seperti dia.. Om terobsesi dengan dia, kenangan masa lalu masih begitu membekas dihati om… Hingga sekarang om tak pernah berhubungan dengan siapapun..”
om sebastian coba menjelaskan.
“usia kita jauh beda om.. Rio akui memang rio menyukai lelaki.. Tapi om telah membuat rio jadi takut.. Om membuat rio kesakitan..”
aku tetap berkeras.
“om akan menebusnya dengan cara apapun asalkan kamu maafkan om.. Katakan apa yang harus om lakukan..?”
memelas sekali om sebastian.
“om tak perlu melakukan apa apa…”
ujarku pada akhirnya.
“kamu memaafkan om?”
tanya om sebastian tak yakin.
Aku tak menjawab.
Om sebastian mendekatiku kemudian meraih tanganku. Tanpa kuduga tiba tiba ia memelukku. Aku yang tak siap, sangat kaget sekali namun tak berniat untuk melepaskannya. Om sebastian mencium pipiku dan mendekapku dengan erat. Ia berbisik.
“om sangat mencintaimu rio.. Tolong jaga rahasia ini.. Om mohon.. Andainya kamu tak bisa menerima, om mengerti.. Biarlah om tak akan mengganggumu lagi… Besok om akan pindah dari sini.. Om akan tinggal di barak saja..”
aku menelan ludah tak tau harus menjawab apa. Seiring dengan mengendurnya pelukan om sebastian. Aku masih mematung saat om sebastian keluar dari kamarku dengan lesu. Sebetulnya aku ingin memanggil om sebastian namun entah kenapa tenggorokanku seolah olah kaku dan tercekat.
Hingga om sebastian terdengar meninggalkan rumah dari suara motornya yang terdengar makin menjauh. Entah kenapa tiba tiba airmataku mengalir tanpa dapat ku tahan.

+++

sudah dua hari kak faisal tak pulang, mama mulai panik, seisi rumah tegang karena mama selalu menangis dan marah marah.
“apa kita perlu lapor ke polisi pa, mama kuatir… Tak biasanya faisal begini.”
isak mama diruang tamu. Aku jadi tak menentu, semua yang dihubungi tak tau menahu keberadaan kak faisal, termasuk teman teman akrabnya. Aku hampir kehabisan akal mau mencari kemana.
“sabar ma, nggak perlu seekstrim itulah, wajar ma faisal kan sudah dewasa sekarang, mungkin mama cuma belum terbiasa.. Pada waktunya anak lelaki ingin bebas ma..”
tegur papa sabar.
“papa ini bagaimana sih? Bukannya mikir malah tenang tenang saja.. Kalau faisal pergi dari rumah tidak dalam keadaan marah mungkin mama lebih tenang pa.. Mama takut faisal melakukan hal hal yang tidak kita inginkan…”
jerit mama dengan panik.
“sssst… Mama tenang dong, papa itu bukannya tak perduli pada faisal, wong dia itu anak papa satu satunya.. Ya pastilah papa sangat memikirkan dia…”
papa mencoba membujuk mama. Ada terbersit rasa sedih mendengar kata kata papa, betapa mama menyayangi kak faisal yang notabene bukan anak kandungnya. Tapi papa mengatakan kak faisal hanya satu satunya anak lelakinya. Jadi keberadaanku dirumah ini mungkin hanya dianggap papa sebagai tamu.
Aku berdiri hendak ke kamar.
“mau kemana rio?”
tanya mama disela isakannya.
“kekamar ma.. Rio mau istirahat..”
jawabku lesu sambil berjalan ke kamar.
Aku berbaring ditempat tidur dengan pikiran berkecamuk. Mengapa aku harus terlahir sebagai anak haram, yang statusnya tak jelas begini, begitu banyak kekurangan pada diriku. Andaikan aku tahu dimana papa kandungku yang sesungguhnya tentu aku akan sangat bahagia. Dulu waktu masih tinggal bersama emak, ayahku begitu cepat meninggalkanku hingga aku tak merasakan kasih sayangnya. Saat aku tinggal bersama mama, papa tiriku jarang ada dirumah hingga kami berdua tak begitu dekat. Hanya sesekali sarapan bersama.
Dan dari kata kata papa tadi sepertinya hanya aku yang menganggap ia sebagai papa. Sedangkan papa hanya mengatakan cuma faisal satu satunya anak lelakinya. Aku sedih sekali, rupanya keberadaanku dirumah tak ada artinya dimata papa, hanya sebagai anak kandung mama saja, selebih nya tak ada yang spesial bagi papa. Aku cuma menumpang dirumah ini.

+++

“rio.. Ada telpon untuk kamu..”
mama mengetuk pintu kamarku.
Aku turun dengan malas dan membuka pintu.
“dari siapa ma?”
tanyaku heran, tumben ada yang telpon, teman temanku pada berlibur semua, jadi siapa yang menelponku.
“katanya koko.. Ayo cepat dia sudah nunggu tuh..!”
bergegas aku ke ruang tengah dan mengangkat telpon.
“halo..”
“ya halo, ini rio ya?”
balas suara di seberang.”
“iya ko, ada apa?”
“jalan yuk.. Mau nggak?”
“kemana?”
“belum tau sih, ya jalan aja.. Mau nggak?”
aku berpikir sebentar, sepertinya tak ada salahnya aku jalan jalan, dirumah juga nggak ngapa ngapain, lumayan bisa ketemu om alvin lagi.
“oke deh, aku tunggu ya..”
jawabku akhirnya.
“sip.. Sepuluh menit lagi aku jemput..”
suara koko terdengar sangat senang.
Aku menutup telpon dan kembali ke kamar, mencuci muka habis itu ganti baju.
Tak menunggu lama koko sudah sampai dirumahku. Aku langsung menemuinya.
“wah.. Udah siap rupanya.”
koko tersenyum lebar melihatku.
“ayo.. Langsung aja..”
ajakku.
Koko berdiri dan pamit sama mama.
“kalau lihat kak faisal tolong suruh pulang ya.. Bilang mama mau bicara..”
ujar mama dari depan pintu.
“iya ma..!”
jawabku sambil naik ke boncengan.
“udah yo?”
tanya koko memastikan aku sudah duduk nyaman.
“udah ko..”
jawabku.
“peluk aja yo ntar jatuh..”
koko menarik gas motor hingga jalannya agak ngebut.
“iya ko..”
aku melingkarkan lengan di perut koko.
“sering ke IP?”
tanya koko sedikit menoleh kebelakang.
“jangan ke IP Ah.. Bosan.. Kemana lah asal nggak kesana..”
aku keberatan.
“kalo gitu kita ke benteng kuto besak aja.. Mau nggak, kamu pasti belum pernah kesitu kan?”
tawar koko.
“wah boleh.. Boleh, aku belum pernah kesana..”
jawabku antusias.
“oke kita kesana sekarang..”

Suasana yang langsung ku tangkap saat tiba adalah sebuah bangunan yang menghadap ke sungai musi, dengan pelataran yang luas dan barisan pohon palem, sangat indah…

+++

jam setengah enam tepat koko mengantarku pulang, aku mengajak koko mampir, semula ia menolak dengan alasan sudah hampir maghrib tapi aku paksa akhirnya koko tak bisa menolak.
“ini kamarku ko, silahkan masuk..!”
aku mengajak koko masuk dalam kamarku.
“wah.. Besar banget kamarmu, mana isinya lengkap.. Pasti betah seharian didalam kamar ini..”
desis koko sambil mengitari pandangan ke seisi kamar.
“ya nggak lah ko, kalo udah tiap hari nggak bakalan betah…”
aku tersenyum mendengar kata kata koko.
“mau minum apa?”
tanyaku.
“terserah..”
“panas atau dingin?”
“coffemix ada?”
“ada.. Tunggu sebentar ya..”
“nggak usah buru buru..”
seru koko.
Aku ke dapur mengambil cangkir dan mencari coffemix yang biasanya ditaruh di dalam rak dinding. Untung saja masih ada.
“ini ko..”
aku meletakkan coffemix panas diatas meja belajar.
“makasih yo..”
“rumah sepi, nggak ada siapa siapa..”
“faisal belum pulang juga ya?”
tanya koko.
“belum, udah dua hari ini..”
“apa sih masalahnya?”
“biasalah ko, kak faisal bertengkar sama mama gara gara mama nggak ngasih ia pacaran sama amalia…”
jawabku terus terang.
“mamamu nggak setuju… Kenapa?”
koko agak heran.
“nggak tau juga, mungkin mama kurang sreg aja kali..”
jawabku asal.
“papa sama mamamu kemana?”
tanya koko lagi.
“nggak tau, udah biasa mama nggak dirumah jam segini.. Mungkin ke tempat saudara cari kak faisal.”
aku menduga duga.
“rio boleh aku numpang mandi?”
tanya koko sambil mengipas ngipas tubuhnya yang agak keringatan.
“boleh kok.. Mumpung belum gelap.. Ntar aku ambilin handuk dulu..”
ujarku sambil membuka lemari dan mengambil handuk bersih yang masih terlipat.
“ini handuknya ko..”
aku memberikan handuk pada koko.
“makasih..”
koko mengambil handuk lalu menyampirkan diatas bahunya.
Koko melepaskan baju kaus yang ia pakai. Kemudian celana jeansnya. Ia masuk kamar mandi dengan berlilitkan handuk di pinggang. Putih mulus kulit koko untuk ukuran cowok. Betul betul bersih dan klimis. Tapi tubuhnya cukup atletis dan sedap dipandang. Cocok sekali ia jadi pemain film atau bintang iklan.
Tak sampai sepuluh menit koko selesai mandi. Keluar dengan berlilitkan handuk. Rambutnya yang lurus agak acak acakan karena basah.
“pake baju aku aja ko.. Baju kamu udah bekas keringat..”
tawarku.
“nggak apa apa ya?”
koko bertanya.
“nggak masalah.. Sebentar aku ambil..”
aku membuka lemari lagi mencari baju untuk koko.
“ini..!”
aku melemparkan baju kaus putih dan celana pendek pada koko.
“thanks yo… Sekalian celana dalam boleh?”
koko menangkap baju yang aku lemparkan.
“emang kamu mau pake celana dalam ku?”
“nggak apa apa kalo kamu nggak keberatan.”
“ya udah..tunggu sebentar.”
aku mengambil celana dalam kemudian memberikan pada koko.
Aku menyalakan televisi sementara koko berganti pakaian.
Dari cermin aku lihat koko sedang memakai celana dalam. Aku pura pura tak melihat. Nafasku turun naik melihat tubuhnya yang polos. Betul betul indah. Begitu mulus dan bersih.
Setelah berpakaian koko duduk disampingku.
“boleh pinjam telpon nggak, mau kasih tau mama aku lagi disini..”
“tunggu sebentar aku ambil telponnya.”
jawabku sambil keluar dan mengambil telpon tanpa kabel.
Koko menelpon mamanya memberitahu ia menginap dirumahku.
“apa kata mamamu?”
“boleh.. Mama mengizinkan.. Tumben biasanya mama paling melarang aku menginap dirumah teman. Katanya kayak kepiting siput. Suka dirumah orang hehehe”
jelas koko sambil tertawa.

+++

Mumpung ada Koko disini aku ingin bertanya lebih banyak mengenai Om Alvin. Soalnya aku agak penasaran juga, Aku tak tau kenapa aku merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai dia. Hanya yang kutahu tiap berdekatan dengan Om Alvin aku merasa betah.
Anak om Alvin cuma satu satunya yang bernama Astrid yang tempo hari aku lihat, menurut Koko, tante Sophie tak bisa lagi memberikan anak untuk Om Alvin karena ada kista di Rahim Tante Sophie. Padahal Om Alvin sangat berharap bisa mempunya anak laki laki.
Kadang kehidupan memang tak bisa ditebak. Ada yang begitu mengharapkan kelahiran anaknya tapi tak kunjung datang. Ada yang tak mengharapkan malah diberikan. Kadang bingung juga. Tapi memang begitu kenyataannya, tak semua yang manusia inginkan bisa dikabulkan.
“Ko, udah larut, mendingan kita tidur dulu..”
Ajakku karena kasihan melihat Koko sudah menguap berkali kali dari tadi.
“Nggak terlalu ngantuk juga Yo.. Kalau masih mau ngobrol nggak apa apa kok..”
“Nggak lah, aku juga mau istirahat, mataku juga udah mulai ngantuk..”
aku menarik selimut.
“Biasanya kamu tidur gelap atau terang?”
Tanyaku.
“Bisa gelap bisa terang, kalo mata udah ngantuk aku nggak perduli lagi..”
jawab Koko memperbaiki posisi bantalnya.
“Kalau gitu aku matiin aja lampunya biar lebih nyenyak.”
Aku turun dan mematikan lampu hingga kamar menjadi redup.
.
Keesokan harinya aku mengantar Koko, tentu saja bersama mang Tono.
Jam sembilan lewat tiba dirumah Koko, Mamanya sedang memasak. Beliau senang sekali waktu melihat Aku dan Koko datang.
“Wah tante udah nyangka Rio bakalan kesini, kebetulan tante masak yang spesial hari ini, Nak Rio makan siang disini aja ya…”
Senyum Mama Koko terkembang sumringah.
“Nggak usah repot repot Tante, jadi nggak enak.. Ada yang bisa Rio bantu Tan?”
Aku menghampiri Mama Koko yang kelihatan sibuk memotong sayuran.
“Nggak.. Biar tante udah biasa Sayang.. Kamu duduk aja di depan sama Koko..”
Mama rio tertawa senang.
“Om Alvin mana ma?”
tanya Koko.
“Tadi katanya ngajak Astrid jalan jalan..”
“Bareng Tante Sophie juga ya Ma?”
“Iya.. Tadi Om Alvin nyuruh Tante Sophie bantu Mama, Tapi kamu kan tau sendiri gimana Tantemu itu. Mana mau dia disuruh masak..”
Jawab Mama koko.
“Aku ke kamar dulu ya Ma..”
“Iya.. Nggak apa apa.. Bikinin Rio minuman, trus kue yang ada di Kulkas juga dikeluarin, untuk kalian Ngemil, Soalnya Mama baru selesai Masak jam Sebelas nanti..”
Ujar Mama Koko.
Aku mengikuti Koko ke kamarnya. Bermalas malasan sambil membaca komik. Hingga tak terasa sudah Jam sebelas Saat Mama Koko memanggil kami agar makan siang.
Ternyata di meja makan sudah ada Om alvin, Tante Sophie, dan Anaknya Astrid. Aku mencoba tersenyum pada Om Alvin, namun ia seperti tak melihat, Langsung sibuk dengan Makanannya.

+++

Aneh sekali sikap Om Alvin, Ia tak sekalipun menoleh padaku walau hanya sekedar basa basi menawari makan. Kemarin kemarin ia ramah dan bersahabat. Padahal banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Bahkan hingga selesai makan pun Om Alvin seperti tak menyadari ada aku.
Selesai makan, aku diajak Koko nonton tipi.
Meskipun film kesukaanku sedang ditayangkan, namun tak konsentrasi sedikitpun. Dalam pikiranku cuma Om Alvin.

+++

aku pulang walaupun mama koko dan koko menahan agar aku tinggal lebih lama.
Mang tono datang sepuluh menit setelah aku telpon. Om alvin entah kemana, sejak selesai makan ia langsung masuk kamar bersama isterinya dan belum keluar hingga sekarang. Aku jadi bingung dengan sikap om alvin, kenapa bisa berubah begitu drastis. Apa aku ada salah kata terhadapnya kemarin, sehingga ia tak ramah lagi padaku. Sebetulnya aku mau bersikap tak perduli, namun hatiku berbicara lain. Aku seolah merasa semakin penasaran. Makin tergelitik untuk mendekati om alvin. Biarlah hari ini aku tak ada kesempatan bicara dengannya. Semoga om alvin dan isterinya belum keburu pulang ke jambi.
Sampai dirumah aku betul betul kaget. Ada mama, papa, om sebastian, tante laras, om beno, serta odie, dan satunya lagi yang membuat aku tadi nyaris tak percaya adalah amalia. Apakah itu berarti kak faisal sudah pulang..? Aku menoleh kiri kanan melihat kak faisal namun tak ada.
“hai sepupu.. Apa kabar?”
sapa odie langsung menghampiriku dengan semangat, senyumnya tersungging lebar.

“hai odie, kapan datang.. Kok nggak kasih tau dulu?”
aku menyambut uluran tangan odie dan menjabatnya.
“maaf bukan nggak ngasih kabar yo, tadi juga mendadak diajak kesini sama mama..”
jelas odie.
“dari mana aja kamu?”
tanya tante laras.
“rumah teman.”
jawabku singkat.
“kelayapan nggak karuan, udah tau ada masalah dirumah…!”
tembak tante laras tanpa perasaan. Mukaku terasa panas tak menyangka ia akan berkata seperti itu.
“sudahlah dek laras, jangan berlebihan, rio sedang liburan, lagipula dari kemarin ia juga tak kemana mana, tadi rio mengantar temannya pulang.”
jelas mama sabar.
“kak mega tak perlu selalu membelanya mentang mentang ia anak kandung kakak!”
tante laras kelihatan emosi.
“kenapa jadi bertengkar, faisal belum juga ketemu sudah merembet ke masalah lain..”
tukas om beno menengahi. Mama tertunduk, sementara tante laras cemberut dengan mulut mengerucut seolah sedang menelan gerutuan yang hampir keluar.
“sudah di cek ke teman temannya, barangkali ia menginap disalah satu rumah temannya..?”
cetus tante laras.
“sudah, semua temannya yang kami tau sudah dihubungi, tapi tak ada satupun yang tau..!”
jawab papa.
“makanya kak, kalau bertindak itu pikir pikir dulu!”
tante laras kumat lagi.
“tolong dek laras jangan memperkeruh keadaan, itu semua aku lakukan demi kebaikannya sendiri…”
mama membela diri.
“iya..! Kebaikan menurut kakak.. Memangnya kakak tau apa yang terbaik untuk faisal?”
tante laras tak mau kalah.
“sabar ma, nggak usah emosi gitu, percuma, faisal entah kemana, kalian malah ribut ribut!”
timpal om beno.
“iya yuk, ngomong yang bener kenapa?”
sambung om sebastian, dari tadi ia mencuri curi pandang ke arahku. Tapi aku pura pura tak menyadari.
“kalau sudah begini dimana kita harus cari faisal, terpaksa kita lapor ke polisi untuk membantu cari faisal..!”
keluh papa prihatin.
“itu semua gara gara kamu!”
mama menunjuk wajah amalia dengan berang. Amalia terisak tak berani menatap mama. Aku kasihan sekali pada amalia.
“E…e..e.. Jangan asal tunjuk anak orang dong! Kenapa lagi kak mega menyalahkan amalia, mau cari kambing hitam untuk kesalahan kak mega!”
hardik tante laras tak sabar.
“ma udah ma.. Jangan ribut!”
om beno kelabakan menenangkan isterinya.
“kalau bukan karena gadis gembel ini tak akan terjadi seperti ini!”
pekik mama histeris. Sambil berdiri kalap menghampiri amalia.
Om sebastian yang sigap langsung menghadang mama agar tak kelepasan memukul amalia. Tante laras yang duduk dari tadi ikut ikutan berdiri.
“kak sadar kalo ngomong! Lupa ya dulu kakak itu siapa?”
hardik tante laras tanpa tedeng aling.

“jangan ungkit ungkit masa laluku laras!”
jerit mama kesal.
“kan kakak yang memulai, seolah kakak berasal dari keluarga terhormat, keluarga kaya.. Mentang mentang sudah diangkat derajatnya sama bang harlan, kakak jadi sombong..!”
tikam tante laras tanpa belas kasih.
Semua tercengang mendengar apa yang tante laras katakan. Mama terpaku seolah kehilangan kata kata.
“dek laras jaga ucapanmu, bagaimanapun juga dia isteriku dan itu artinya dia kakak iparmu juga… Kamu seharusnya lebih hormat, kata katamu itu sungguh慡℁阄愀͡С6兑℁阄儀͑Сv慠Łԡ–慠́ԡvnak anak kita disini..!”
papa mulai terpancing kemarahannya.
Amalia semakin terisak, ia terlihat sangat ketakutan.
“rio, mendingan kita ke kamar kamu aja yuk.. Kayaknya bakalan ada perang bintang disini..”
bisik odie pelan.
“tunggu die, aku takut terjadi apa apa.. Kasihan amalia, aku bingung kenapa dia bisa ada disini..”
aku mengungkapkan kekuatiranku pada odie.
“mama kamu yang menjemputnya, tante mega pikir amalia tau dimana keberadaan kak faisal, jadi tadi kami sama sama ke rumahnya setelah mama kamu menanyakan alamat amalia ke teman kak faisal..”
jelas odie. Aku terdiam, lututku jadi lemas, aku pernah melihat mama emosi seperti ini sebelumnya, dan mama tak akan mau mengalah, kejadian itu terus membekas di ingatanku, bagaimana mama dan emak dulu bertengkar. Dan sekarang tante laras yang juga keras sedang bertengkar dengan mama gara gara kaburnya kak faisal.
Aduh kak faisal kenapa sih pake kabur segala, padahal cuma masalah kecil seperti ini. Betapa kekanak kanakannya kak faisal, bukannya memperjuangkan cinta tapi malah lari dari kenyataan. Aku tak bisa mengerti dengan jalan fikiran kak faisal. Kesal juga aku memikirkannya. Kalau sudah begini semua jadi terseret. Apa tak ada ketenangan dirumah ini. Percuma saja harta berlimpah serta fasilitas yang lengkap tapi minim keakraban. Sering ada masalah, hilang satu masalah terbit masalah lain.
“pokoknya kita harus mencari faisal..! Jangan sampai terjadi apa apa sama faisal.. Kak mega tak bisa menjalankan amanah mendiang yuk lina, untuk menjaga faisal, merawatnya seperti anak kandung sendiri.. Kak mega telah gagal…!”
berondong tante laras tanpa henti. Sementara mama hanya duduk terdiam sambil terisak.
“maaf laras, kamu salah, aku sangat menyayangi faisal, tak kurang kasih sayang yang aku curahkan untuk dia, tak ada sedikitpun aku berpikir untuk membedakan dia dengan rio, aku betul betul menyayangi faisal seperti anak kandungku sendiri…”
isak mama dengan tubuh terguncang karena tangis.
“sudahlah ma, tak ada gunanya menyalahkan kak mega, faisal memang nekat, kita tau sendiri bagaimana sifatnya.”
om beno meredakan kemarahan tante laras.
“jangan menyalahkan mega terus dong dek, abang juga lagi pusing sekarang, jangan menambah masalah lagi..”
ujar papa lemah, terlihat wajahnya begitu capek. Empat hari sudah kak faisal menghilang tanpa tau kemana rimbanya, semua menjadi panik sekarang dan tak ada yang bisa berpikir jernih menyikapi masalah ini.
“sekarang kita ke kantor polisi dulu, sebastian tolong kerahkan teman temanmu untuk ikut membantu cari faisal,…”
om beno memberikan solusi.
“amalia, betul kamu memang tak tau menahu dimana faisal?”
om sebastian bertanya pada amalia.
Amalia mengangkat kepala, menatap om sebastian takut takut, bibirnya gemetar seolah sedang menjalani sidang yang menentukan vonis berat baginya.
“be.. Betul om, sungguh.. Sa.. Saya tidak tau.. Saya bertemu faisal terakhir waktu pembagian raport, dia mencoba memanggilku, tapi aku menghindar..”
kentara sekali amalia begitu ketakutan.
“ya sudah kalau memang begitu,..”
tukas om sebastian.
“jangan bohong kamu, tak mungkin kamu tak tau dimana faisal, dasar kecil kecil udah gatal!”
hardik mama tak mau mendengarkan penjelasan amalia.
“cukup kak..! Jangan menyalahkan amalia terus… Cukup kekacauan yang kakak buat! Biarkan faisal memilih sendiri gadis mana yang ia mau..!”
bentak tante laras tak sabar.
Mama mau membalas kata kata tante laras namun cepat cepat papa potong.
“ayo kita berangkat sekarang, kalau ribut terus nggak bakalan selesai, bisa bisa sampai subuh perang mulut terus!”
“betul, lebih baik kita berangkat sekarang..!”
timpal om beno bosan.
Mama berdiri dan menghampiriku.
“sayang mama sama papa pergi dulu cari kak faisal, kamu jangan kemana mana dulu, temani odie disini..”
“iya ma… Rio temani odie, hati hati dijalan ma..”
ujarku iba. Kasihan mama, ia pasti merasa sangat bersalah.
Sepeninggal mereka, aku dan odie duduk di depan televisi.
“kemana ya kak faisal..?”
celetuk odie sambil menyenderkan punggungnya di kursi.
“entahlah die, aku juga kurang tau, aku belum begitu hafal dengan teman teman kak faisal, aku takut kak faisal berbuat nekat, soalnya pergaulan kak faisal agak parah, teman temannya banyak anak yang nakal..”
aku mengungkapkan kekuatiranku.
“semoga aja kak faisal nggak ngapa ngapain, cuma sekedar kabur ke rumah temannya.”
harap odie.
“iya die semoga..”
aku menghibur diri sendiri. Padahal dalam hatiku begitu cemas. Aku tau karakter kak faisal bagaimana. Tak bisa dilarang ataupun ditentang. Keinginannya sudah biasa dituruti. Ketika ia dilarang, ia tak bisa menerima, jiwanya masih labil. Ia memang nakal, tapi ia juga manja. Terkadang aku tak habis pikir dengan pola laku kak faisal. Sebetulnya sikap tante laras tadi sangat berlebihan. Wajar saja mama tak terima, karena sepengetahuanku, mama sangat menyayangi kak faisal.
Hati mama pasti sakit dengan hinaan tante laras.
Aku heran kenapa papa begitu lemah, mama itu isterinya sepatutnya ia bela.

KRING…. KRING…KRING..

Suara telpon yang berdering keras mengagetkanku. Bergegas aku angkat.
“halo…”
“ya halo, bisa dengan rio..?”
jawab suara diseberang, yang aku kenali sebagai suaranya koko.
“ini koko ya?”
“oh, ini rio ya.. Lagi ngapain yo?”
tanya koko.
“lagi nonton sama sepupuku dirumah, ada apa ko?”
“hari ini tante sophie pulang ke jambi sama astrid, tadi om alvin nanyain kamu.. Katanya habis nganterin tante ke bandara, om alvin bilang mau ngajak jalan… Dia nyuruh aku ngajak kamu yo.. Gimana, sempat nggak?”
tumben, om alvin yang beberapa hari ini cuek sama aku tiba tiba mau mengajak aku jalan jalan, lalu tante sophie pulang, kenapa om alvin tidak ikut?
“gimana ya ko, bukan aku menolak, soalnya lagi ada masalah dirumah, lagipula ada sepupuku baru datang dari baturaja, nggak enak kalo aku tinggalin…”
aku menolak dengan berat hati.
“yaaa… Kecewa dong aku.. Ajak aja sepupumu, nggak masalah kok yo..!”
“bukan cuma itu masalahnya ko.. Dirumah lagi panas, kak faisal belum pulang, takutnya nanti mama marah.. Kapan kapan aja ya ko, sampaikan salam sama om alvin, bilang aku bukan nggak mau, tapi belum bisa…”
jawabku berat hati, padahal aku betul betul ingin sekali jalan jalan bareng om alvin, tapi mau bagaimana lagi, nggak mungkin aku pergi bersenang senang sementara masalah dirumah belum selesai. Bisa bisa tante laras makin tak menyukaiku.
Aku menutup telpon lalu kembali menemui odie yang menunggu depan televisi.
“siapa yo?”
tanya odie ingin tau.
“temanku koko.. Dia mau ngajak keluar..”
jawabku sambil mengambil remote dan membesarkan volume televisi.
“terus kamu nolak?”
odie ingin tau.
“iya die, nggak mungkin aku pergi, lagipula kak faisal kan belum pulang.”
“kita tunggu aja kabar dari mamamu, mereka kan lagi berusaha untuk mencari kak faisal.”
ujar odie tersenyum.
“die kamu pasti belum makan ya?”
tanyaku.
“belum sih, tadi belum sempat sarapan karena buru buru mau kesini.. Ditambah lagi tadi orangtua kita nyaris berantem, jadi hilang selera..”
“kalo gitu aku temani kamu makan, kedapur yok..”
ajakku sedikit menyesal kenapa bisa nggak kepikiran mengajak odie makan dari tadi, kasian dia pasti sudah kelaparan sekali habis menempuh perjalanan jauh dari baturaja ke palembang, dan hingga sekarang belum makan apapun.
“yo maaf ya, sebetulnya aku sudah punya rencana kalo sekali lagi aku kemari aku mau bawain kamu helikopter remote yang bisa terbang, aku mau kasih sama kamu, tapi aku lupa bawa karena tadi terburu buru…”
ujar odie masih tetap duduk.
“ya ampun odie, nggak usah terlalu dipikirin, nggak apa apa kok, lagian kamu kesini aja udah bikin aku senang, nggak perlu bawa apa apa.. Aku jadi malu, justeru aku belum ngasih apa apa sama kamu, sekarang kita makan dulu ya sobat…”
aku merangkul bahu odie, betapa baiknya odie, dia sangat tulus.. Menyesal dulu aku sudah bersikap tak ramah terhadapnya hanya karena aku kurang menyukai ibunya. Untung saja odie tak mengambil hati. Kebaikan odie mengingatkan aku akan erwan. Dulunya erwan selalu baik terhadapku. Ternyata walaupun aku telah berpisah jauh dari erwan. Aku masih diberikan tuhan teman yang sebaik erwan. Sayang nya odie tinggal jauh dari sini. Jadi aku hanya jarang jarang sekali bisa bertemu dengannya. Aku harus bisa menyenangkan hati odie dan membuatnya merasa betah, mumpung dia masih disini, aku akan berusaha menahannya untuk tinggal disini lebih lama selama liburan. Semoga kak faisal bisa segera ditemukan. Jadi besok besok aku bisa mengajak odie berjalan jalan.
Sampai di dapur aku memeriksa lauk diatas meja, aku tak tau ada nggak nya, soalnya tadi aku sudah makan dirumah koko, bik tin belum pulang, dan mama juga jarang masak. Semoga saja ada yang bisa dimakan. Kasihan odie kalau sampai nggak ada apa apa.
Ternyata kekuatiranku beralasan. Tak ada apa apa diatas meja, mama tak masak, aku jadi bingung. Sedangkan untuk beli keluar aku tak bisa naik motor. Tak ada siapa siapa dirumah.
“die maaf ya, nggak ada makanan.. Hehehe.. Gimana ya..?”
aku tersipu sedikit malu karena tadi dengan semangat mengajak odie makan, sedangkan makanan tak ada.
“santai aja sobat, sekarang kita periksa kulkas dulu, barangkali ada bahan makanan yang bisa diolah, kebetulan aku bisa masak sedikit sedikit…”
jawab odie santai, ia tertawa melihat reaksiku.
“ya udah aku cek kulkas dulu ya..”
jawabku sambil membuka kulkas khusus persediaan makanan.
Untung saja ada mama sudah belanja kemarin dulu, jadi persediaan makanan banyak. Ada bermacam sayuran, daging dan ikan kaleng, daging segar, ayam, ikan dan macam macam.
“wah.. Mama kamu udah mempersiapkan bahan yang banyak.. Sekarang tinggal kita masak aja..”
odie tertawa kesenangan. Ia langsung memilih bahan bahan untuk dimasak.
“yo kamu lagi pengen makan apa?”
tanya odie sedikit kebingungan dengan banyaknya pilihan di depannya.
“terserah kamu die, apapun yang kamu masak aku ikut makan aja..”
jawabku.
“gimana kalo aku masak ikan kaleng dengan wortel, sama tumis bayam..”
tanya odie.
“emangnya kamu bisa die?”
aku agak heran.
“wah jangan ngeremehin aku… Gini gini aku pernah juara memasak di sekolah waktu praktek memasak.. Tunggu bentar ya.. Kamu tolong aku siapin bumbunya..”
odie mengeluarkan sekaleng ikan saus tomat dan beberapa buah wortel. Serta seikat bayam yang masih segar.
Aku mengambil pisau untuk membuka ikan kaleng. Odie memotong bayam dan bumbu. Aku membantunya mengiris tomat. Menyenangkan sekali memasak, berbulan bukan disini baru kali ini aku mencoba memasak.

+++



KEMBALINYA KAK FAISAL.
Sejam kemudian semua telah siap, wangi aroma masakan begitu menggugah selera, aku betul betul tak menyangka sama sekali kalau bisa memasak walaupun cuma sekedar membantu odie. Perutku jadi lapar sekarang.
Odie makan begitu lahap, melihat semangatnya itu aku jadi ikut ikutan makan banyak, padahal tadi sudah makan, walaupun rasanya standar saja tapi entah kenapa aku bisa begitu suka, jadi ingat dengan masakan emak dulu yang standar, bukannya karena emak tak bisa masak yang seenak mama atau bik tin, tapi karena bahan bahan yang seadanya. Kalo bik tin masak bisa menggunakan bermacam macam bahan, emak hanya mengandalkan bahan yang ada. Aku serasa mengalami nostalgia. Dan itu berkat odie. Aku jadi semakin menyukai odie. Ternyata berteman dengan odie betul betul menyenangkan. Aku merasa beruntung memiliki sepupu sebaik odie.
“tambah lagi yo..!”
odie menggeser mangkuk berisi ikan kaleng saus tomat kepadaku.
“makasih die, udah kenyang banget nih, aku makan udah dua piring… Bisa bisa nggak bisa berdiri lagi saking kenyangnya…”
tolakku halus.
Odie tertawa.
“enak ya yo, bisa makan bareng, masak bareng kayak gini, aku tak akan bisa melupakan saat saat seperti ini, kalo aku pulang nanti pasti bakalan kangen mengenang saat ini… Semoga saja kita bisa sering sering ketemu, coba kamu lebih dekat sama mama, jadi kamu bisa main kerumahku kapan kapan..”
ujar odie setengah menyesali keadaan.
“nggak tau lah die, mama kamu sendiri yang kurang menyukaiku..”
desahku sedih.
“aneh padahal mama sering cerita tentang kamu kalo dirumah, dan tak sekalipun mama bilang yang nggak nggak tentang kamu, malah mama selalu memuji kamu…”
jelas odie membuat aku sangat kaget.
“tante laras memujiku?”
tanyaku tak percaya.
“iya yo, mama selalu bilang kamu sangat pintar, bahkan raport kemarin kata mama kamu berhasil menjadi juara 2 umum. Padahal kamu pindahan dari kampung..”
urai odie tersenyum lebar.
“tante laras bilang gitu die?”
aku kurang yakin.
“iya.. Kalau mama lagi marah marah sama aku, ia pasti membanding bandingkan aku sama kamu, ia bilang kamu nggak nakal lah, anak yang baik lah, mandiri, pintar, dan kamu juga punya kepribadian yang tegas!. Gitu kata mama..”
odie melanjutkan kata katanya. Aku terhenyak, tak kusangka sama sekali kenyataan yang terjadi dibalik sikap tante laras yang judes dan dingin terhadapku rupanya ia selalu memujiku didepan anaknya. Aku jadi ragu, apakah aku telah bersikap tepat dengan tak menyukai tante laras. Tapi kenapa kalau ia menyukai sifatku, tapi tak ia tunjukkan, malahan ia bersikap seolah olah ia tak menyukaiku.
“jangan heran rio, mama memang begitu, ia memang agak keras, itu ia lakukan agar orang menjadi lebih baik dan tak mudah terlena. Ia tau dulu faisal terlalu di manjakan oleh mama nya, hingga ia tumbuh menjadi anak yang manja. Dari dulu ia selalu dituruti. Bahkan mamaku pun ikut memanjakannya. Hingga mamanya kemudian meninggal tujuh tahun yang lalu, meninggalkan faisal, itu membuat kak faisal jadi agak susah diurus. Setelah om harlan menikah dengan tante mega, kelakuan kak faisal mulai bisa di kendalikan. Karena tante mega bisa menyayangi kak faisal seperti anak kandungnya sendiri. Mamaku dulu tak menyukai tante mega, tapi tante mega rupanya bisa berlaku sebagai pengganti tante lina dengan baik, ia mengurus om harlan dan kak faisal dengan baik, jadi lama lama mama mulai bisa menerima. Aku juga heran kenapa tadi mama sama tante mega berantem lagi gara gara masalah kak faisal, padahal mama sering mengutarakan kekuatirannya terhadap kenakalan kak faisal..”
odie menyelesaikan kata katanya dengan panjang lebar.
Itu semakin membuat aku terdiam. Aku ternyata betul betul salah menilai tante laras. Aku menyesal telah membenci tante laras, sebetulnya aku juga telah salah, aku tak bersikap ramah terhadap tante laras, tak mencoba mengambil hatinya. Telah banyak indikasi perhatian tante laras selama ini, namun aku selalu menutup mata. Aku berjanji dalam hati, andai nanti tante laras datang, aku akan lebih ramah terhadapnya. Aku akan mencoba untuk lebih dekat padanya. Untung saja odie bercerita tentang hal ini. Sehingga mataku jadi lebih terbuka.
“kenapa melamun rio?”
tanya odie sedikit kuatir.
“nggak kok die, aku bukan melamun, aku cuma memikirkan kata katamu tadi..”
“aku tau rio, kamu tak menyukai mama.. Dan mama pun menyadari itu.. Kamu tau rio, waktu dia pernah menampar kamu dulu sebetulnya mama sangat menyesal, ia beberapa kali menangis tiap kali ia ingat menampar kamu. Itu ia lakukan dengan spontan, mama memang mudah emosi, tetapi mama juga mudah menyesali kekeliruan yang ia perbuat.. Aku minta maaf ya yo, kalau dulu mamaku pernah menampar kamu..”
odie terdengar menyesal.
“odie, kamu tak perlu minta maaf, itu masalah yang sudah lama berlalu aku juga udah melupakan semua itu..”
“makasih yo, aku hanya berharap kamu bisa lebih dekat sama mama…”
harap odie.
“iya die, makasih ya untuk penjelasan kamu tadi, aku akan mencoba untuk lebih dekat sama tante laras, udah selesai makannya die.. Aku beresin meja dulu ya..”
aku berdiri merapikan piring piring kotor.
“biar aku bantu yo.. Kita cuci langsung..”
tawar odie bersemangat.
“oke sobat, kita buah piring.. Tapi kamu jangan pulang dulu, malam ini kamu menginap dulu ya.. Kalau bisa kamu tinggal selama beberapa hari disini selama liburan.. Gimana?”
tanyaku penuh harap.
“oke.. Ntar aku bilang sama mama dulu, soalnya kan harus seijin mama dulu..”
odie terlihat begitu senang.

+++

“yo, tapi aku nggak bawa baju ganti…”
keluh odie sambil mengelap piring yang baru saja ia bilas.
Aku memainkan sabun cuci piring pada spons hingga berbusa banyak.
“soal baju nggak usah dipikirin die, bajuku kan masih banyak, lagian ukuran badan kita tak beda jauh, kamu bisa pake baju aku..”
aku menawari odie.
“kalau kamu nggak keberatan sih..”
“ya nggak lah die, yang penting kamu mau temani aku menginap disini ya.. Soalnya aku kesepian, mana kak faisal tak pulang pulang…”
“iya aku mau nginap disini, liburan kan satu minggu, jadi aku bisa lebih lama disini sampe hari jumat..”
jawab odie membuat aku senang sekali.
Aku membilas piring terakhir dan odie langsung menyambutnya kemudian mengelapnya hingga kering.
Setelah mencuci piring aku mengajak odie ke kamar.
“buku yang aku kasih kemarin udah dibaca semua yo?
Tanya odie ingin tau.
“belum semua die, ada beberapa yang belum sempat aku baca, soalnya banyak banget..”
jawabku sambil menghenyakkan tubuh diatas kasur, kekenyangan ditambah lagi capek habis cuci piring membuat aku jadi pengen berbaring.
“yo ada film nggak?”
tanya odie sambil menyalakan televisi.
“ada die, di lemari kaset, kamu tinggal pilih aja, nggak terlalu baru sih, soalnya aku jarang nonton..”
jawabku.
Odie langsung memeriksa rak kaset, memilih milih film. Ia memperhatikan kaset kaset film itu satu persatu untuk melihat judulnya.
“wah ada film pretty woman juga ya, kebetulan aku belum nonton.. Aku udah lama penasaran kepingin nonton..”
teriak odie antusias.
“aku sendiri malah baru tau ada kaset itu didalam kamarku. Mungkin punya kak faisal, soalnya beberapa hari yang lalu ia mengajak temannya nonton disini..”
aku duduk diatas tempat tidur memperhatikan odie.
“film ini katanya bagus yo, aku putar ya..!”
“silahkan..”
odie memasukan kaset dalam video player, tak lama kemudian terpampang gambar artis barat yang aku tak tau itu siapa, tapi lumayan cantik. Dengan dandanan super menor.
“ini julia roberts yo, artis favoritku. Semua film film nya bagus, artis ini bayarannya mahal loh.. Kabarnya tarifnya per film sebesar 16 juta dollar..”
odie menjelaskan penuh semangat.
Wow.. Banyak sekali, kalau kurs rupiah sekarang 2000 rupiah per dollar, jadi bayaran dia per sekali main film 32 milyar rupiah.. Ya ampun.. Yang bener itu die.. Kayaknya nggak mungkin deh..”
aku kurang percaya. Soalnya uang sebesar itu bisa membelikan apa saja. Pegang uang satu juta saja rasanya kaya minta ampun..
“bener kok yo, aku baca sendiri di artikel majalah.. Katanya ada lagi artis yang bayarannya lebih tinggi dari itu.. Mereka bisa hidup super kaya.. Bahkan kabarnya whitney houston lebih mahal lagi, rumahnya saja di lengkapi dengan komputer, jadi kalau kita mau buka pintu tinggal perintah saja..”
odie menjelaskan dengan sabar. Aku ternganga nyaris tak percaya. Rumahku saja sudah begini membuat aku kagum, bagaimana lagi dengan rumah para bintang film itu.
“kamu tau yo… Gaun adibusana yang mereka kenakan saat anugerah piala oscar, harganya bisa buat beli rumah mewah loh.. Kehidupan para artis itu betul betul glamor, nggak akan sanggup kita mengimbangi gaya hidup mereka itu..”
aku jadi semakin tertarik dengan informasi dari odie, ternyata menjadi terkenal itu enak juga, bisa hidup super mewah. Aku jadi memikirkan orang orang yang susah, coba artis artis itu menyisihkan sebagian harta mereka. Pasti banyak orang susah yang bisa ikut menikmati kebahagiaan.
“sudah ah, ceritanya udah mulai, ntar lagi aku sambung ngobrolnya..”
ujar odie yang mulai fokus menatap ke televisi. Aku langsung turun dari tempat tidur kemudian duduk disamping odie ikut menonton. Setelah mendengarkan penjelasan odie tadi membuat aku jadi tertarik untuk melihat artis dengan bayaran 16 juta dolar itu.
Ternyata filmnya memang bagus. Ceritanya tentang seorang perempuan nakal yang diajak seorang jutawan untuk menemaninya selama dinas, tak disangka ternyata sang wanita menjadi jatuh cinta terhadap jutawan itu. Jutawan yang kelihatan agak tua, karena rambutnya berwarna kelabu dan sebagian sudah ada uban. Belakangan aku ketahui namanya richard gere.
Lama juga durasi film itu, hampir dua jam. Setelah film selesai odie nampak begitu puas, matanya berbinar saat ia dengan antusias menceritakan kembali tentang artis artis itu. Aku mendengarkan dengan tertarik. Ternyata pengetahuan odie mengenai artis artis cukup luas juga. Tak hanya sebatas artis indonesia, tapi ia juga banyak tau tentang artis luar negeri terutama artis hollywood. Tanpa bosan bosan ia bercerita tentang kehidupan glamor para artis, termasuk busananya, siapa yang merancang, bahkan ia memuji baju baju yang dalam film tadi yang dibelikan oleh jutawan itu untuk pemeran wanitanya. Kata odie, baju baju itu rancangan desainer kelas dunia dan harganya bisa setara satu buah mobil mewah.
Sebetulnya mataku mulai mengantuk, tapi aku tak tega melihat odie yang masih terus semangat mengobrol. Kak faisal mana tertarik membahas hal yang begini. Paling kalau sama kak faisal, yang ia bahas cuma ngumpul dimana, film perang, dan juga bola.. Aku sih kalau mau jujur lebih senang mengobrol sama odie.
Terasa lebih nyambung. Aku senang sekali mendapat pengetahuan baru, mengenai gaya hidup kalangan atas.aku lihat odie sepertinya jarang sekali bisa bercerita lepas seperti ini, terlihat sekali dari sikapnya yang sangat gembira saat aku bisa menjadi teman diskusi yang bisa mengimbanginya.
“kamu udah ngantuk ya yo, kalau mau tidur siang nggak apa apa.. Aku masih mau nonton, nggak apa apa kan aku putar film lain?”
tanya odie.

+++

aku terbangun karena ada yang mengoyang goyang bahuku.
“yo.. Bangun.. Bangun yo..”
aku menggeliat malas.
“yo.. Bangun dong.. Udah jam setengah enam nih, kamu nggak mandi ya?”
aku tersentak, buru buru bangun. Dengan pandangan yang masih kabur aku menyibak selimut.
“nyenyak banget kamu tidur yo, mimpi apa emang?”
odie nyengir melihatku.
“eh odie, sori, soalnya udah lama nggak tidur siang, aku emang jarang tidur siang die…”
jawabku setelah berhasil memulihkan semua kesadaran. Aku ingat tadi aku ketiduran waktu odie sedang menonton.
“mama kamu udah pulang, tapi kak faisal nggak ada..”
jelas odie tanpa ditanya.
“udah lama mama pulang?”
tanyaku.
“sekitar jam sejam yang lalu..”
jawab odie.
“aku mandi dulu ya die, kamu pasti udah mandi ya..”
ujarku karena aku lihat odie sudah rapi, ia memakai bajuku warna oranye yang jarang aku pakai karena terlalu menyolok warnanya.
Odie sadar aku memandanginya.
“maaf aku nggak bangunin kamu soalnya kasihan lihat kamu tidur nyenyak banget jadi aku nggak tega bangunin… Aku pake baju kamu yang ini nggak apa apa kan?”
tanya odie agak kuatir.
Aku tersenyum melihat odie, kemudian menggelengkan kepala.
“pake aja die, kamu boleh pakai yang kamu sukai, nggak perlu bilang…”
jawabku sambil turun dari tempat tidur, kemudian aku masuk kamar mandi.
Setengah jam aku mandi. Saat keluar dari kamar mandi, odie sedang membaca buku. Di atas nahkas ada dua gelas teh susu.
“aku bikinin teh susu, tadi tante mega nyuruh aku bikin minum jadi sekalian aja aku bikin untuk kamu..”
odie meletakkan buku yang ia pegang keatas meja.
“makasih die, nggak perlu repot, harusnya aku yang bikinin kamu minum…”
jawabku tak enak.
Kemudian aku membuka lemari memilih baju dan celana. Aku memakai baju kaus warna putih bergambar print patung singa landmark singapura.
Setelah memakai baju, aku duduk disamping odie dan meminum teh susu yang dibikin sama odie.
“kata tante mega ia sudah ada gambaran kak faisal kemana..”
ujar odie ikut minum teh susu.
“yang benar die?”
tanyaku tak yakin.
“ia.. Tadi aku dengar pembicaraan mereka, eh kata tante mega, om sebastian sekarang nggak tinggal disini lagi ya?”
jawab odie sekaligus bertanya.
Aku terdiam, memang betul om sebastian tak lagi tinggal disini, sejak kemarin ia sudah memutuskan untuk tinggal di barak, semua ia lakukan karena ia tak mau sampai kejadian tempo hari terulang lagi. Aku masih sedikit trauma dengan kejadian itu. Mengingat aku sekarang sudah ia paksa untuk melakukan sesuatu yang tak pernah sedikitpun pernah terlintas dalam pikiranku itu. Sebetulnya aku agak kasihan juga sama om sebastian, tapi aku juga belum bisa menerima karena bagiku itu terlalu cepat. Aku sadar sekarang aku bukan rio yang sama dengan sebelum aku tinggal disini. Aku tak seperti dulu lagi. Keadaan telah beda. Mau tak mau aku harus bisa menerima kenyataan tentang diriku.
“yo keluar yok.. Masa kita berkurung dalam kamar terus dari tadi..”
ajak odie yang sepertinya bosan di kamar terus.
“kamu keluar lah dulu, ntar lagi aku nyusul, aku mau sisir rambut dulu..”
jawabku sambil berjalan menuju kaca.
Odie keluar dari kamarku. Aku menyisir rambut dan memakai sedikit pewangi. Setelah itu menyusul odie keluar.
Mama sedang menyusun meja makan. Sepertinya mama baru habis masak.
“eh sayang udah bangun ya.. Mama kira masih tidur..”
ujar mama begitu ia melihatku.
“kak faisal belum ketemu ya ma?”
tanyaku sambil duduk di kursi makan.
“nanti malam kami menjemput dia, kata temannya, faisal menginap di rumah paman rusli, adik mama kandungnya yang di ogan.”
jelas mama sambil tetap sibuk menyusun lauk pauk diatas meja.
“semoga betul informasi dari temannya itu ya ma, soalnya rio betul betul kuatir sama kak faisal, untung saja ia menginap dirumah saudara..”
jawabku dengan simpati.
“iya sayang.. Mama tak enak sama tante laras, ia betul betul marah gara gara masalah ini..”
desah mama prihatin, sepertinya mama juga menyesali karena keputusannya melarang hubungan amalia dengan kak faisal membuat kak faisal kabur dari rumah.

+++

mama telah selesai menata meja. Aku berdiri mengambil gelas untuk minum.
“tolong panggilin odie sama mamanya.. Bilang makan telah siap..”
perintah mama waktu aku sedang menuang air putih dari keran dispenser.
“oke ma..”
jawabku, setelah menghabiskan satu gelas air putih, aku menemui odie yang sedang duduk didepan teras rumah bersama kedua orangtuanya.
Tante laras menoleh melihat kedatanganku.
Aku memberanikan diri ngomong sama tante laras.
“maaf tante, di panggil mama, kata mama makanan udah siap..”
aku berdiri menunggu jawabn tante laras.
“iya yo.. Sebentar lagi tante nyusul.. Makasih ya…”
tante laras tersenyum tipis.
Aku mengangguk, sebelumnya aku memberi kode sama odie untuk mengikutiku.
Odie mengerti, ia langsung berdiri mengikutiku ke dalam rumah.
“ada apa yo?”
tanya odie penasaran.
“betul die kalo mamamu nggak benci sama aku?”
tanyaku ragu.
“betul yo, buat apa juga aku bohong.. Mama itu memang gitu yo, dia bukan tipe yang gampang akrab sama orang, tapi kamu tenang aja, tadi kami ngobrol, dan aku banyak cerita tentang kamu, aku muji muji kamu depan mama..”
ujar odie penuh semangat. Dasar odie, entah apa yang ia ceritakan sama tante laras, aku jadi malu, odie memang betul betul anak yang baik. Ia selalu berusaha untuk membuat aku merasa senang. Aku semakin mensyukuri bisa mengenal odie.
“tadi juga aku udah minta izin sama mama untuk menginap disini beberapa hari, mama mengizinkan asal aku bisa bawa diri.. Gitu kata mama.!”
odie menarik kursi makan lalu duduk mengambil posisi di sampingku.
“betul die? Wah senang banget dengarnya.. Asik..!”
aku nyaris bersorak saking senangnya membayangkan beberapa hari ke depan punya teman yang selalu ada bersamaku dirumah.
“ada apa sayang kok kayaknya kamu gembira sekali?”
tanya mama yang baru keluar dari dapur masak.
“odie mau nginap disini sampe hari jumat nanti ma..!”
aku memberitahu mama dengan gembira.
Mama tersenyum lebar.
“benar die? Kamu mau menemani rio menginap disini, emangnya mama kamu ngasih?”
mama terdengar ikut senang.
“iya tante.. Kata mama boleh.!”
jawab odie riang.
“syukurlah.. Kamu memang belum pernah menginap disini.. Untung kamu ada teman ya, padahal selama ini ada faisal tapi kamu nggak pernah mau diajak nginap..”
mama ikut duduk bersama kami.
“beda tante, kak faisal orangnya cuek, kalo rio asik.. Makanya odie jadi kerasan..”
“oh ya mama kamu mana? Kok belum kesini?”
sepertinya mama baru ingat.
“kata tante sebentar lagi dia nyusul ma..”
jawabku.
Betul saja baru saja aku bicara begitu, tante laras sama om beno memasuki ruangan makan.
“wah kak mega masak banyak ya?”
ujar tante laras sumringah, kemudian menarik kursi dan duduk tepat di depanku.

“makan yang banyak dek laras…”
mama menyendok sayur asem ke dalam mangkuk kecil.
“iya kak..”
jawab tante laras sambil mengambil nasi.
Aku diam menunggu tante laras selesai. Odie mengambil sepotong ayam goreng. Sementara om beno mengulurkan piring ke tante laras yang langsung diisi tante laras dengan nasi. Papa duduk disamping mama sedang memotong daging dengan pisau dan garpu. Tiap kali makan, belum pernah lihat papa makan nasi banyak, papa lebih banyak makan ikan atau daging. Potongan daging yang mama masak sangat besar besar. Aku jadi bingung sendiri melihat banyaknya masakan. Entah kapan mama memasaknya. Ternyata mama bisa masak juga, soalnya selama ini hanya bik tin yang memasak. Mama terlalu sibuk bekerja hingga sore terkadang pulang langsung mandi terus sholat dan kemudian tidur.
Semua makan dengan lahap. Sebetulnya masakan mama lebih enak ketimbang masakan bik tin, sayang mama nggak bisa masak setiap hari. Kami makan dalam keheningan, hanya terdengar sesekali dentingan piring yang beradu dengan sendok.
Diam diam aku memperhatikan mereka satu persatu. Wajah mama yang terlihat masih begitu lelah, aku duga mama masih memikirkan kak faisal. Papa nampak tenang, seolah tak terjadi apa apa. Tante laras makan dengan teratur, ia mengunyah makanan lama sebelum akhirnya ia menelan. Om beno sekali sekali melihat pada tante laras, cara makan om beno hampir tak beda dengan tante laras, aku menduga om beno adalah anggota ISTI. Odie makan agak lama dan teratur, pastilah odie selalu diatur tante laras, kentara sekali odie sangat menjaga sikap dimeja makan.
Aku makan cuma satu piring, karena aku tak begitu lapar, soalnya tadi bersama odie aku sudah makan.
Setelah selesai makan, aku tak beranjak dari meja makan, soalnya mama pasti akan melarang, tak sopan beranjak dulu kalau ada tamu.
Setelah semua selesai makan, barulah aku berdiri.
Mama membereskan meja makan dibantu sama tante laras. Papa mengajak om beno merokok di taman belakang rumah. Sementara aku dan odie duduk di depan kolam ikan koi depan rumah.
Sekitar jam tujuh malam, papa dan mama bersama tante laras dan om beno pergi untuk menjemput kak faisal di ogan.
Aku dan odie disuruh jaga rumah.
Setelah mereka semua pergi, aku mengajak odie masuk ke dalam sambil menunggu pulangnya mama dan papa.
Terdengar suara motor berhenti di depan pekarangan rumah. Aku langsung beranjak dan melihat siapa yang datang.
Ternyata koko. Aku turun ke teras menghampiri koko.
“nggak jalan yo?”
tanya koko sambil melepaskan helm yang ia pakai.
“nggak, disuruh mama jaga rumah.. Dari mana ko?”
aku balik bertanya.
“dari rumah, emang sengaja mau kesini..”
jawab koko turun dari motor.
“masuk dulu yuk.. Sekalian aku kenalin sama sepupuku.”
ajakku.
“boleh..”
koko mengikutiku ke dalam rumah.

+++

“die kenalin nih koko teman aku…”
aku memperkenalkan odie dengan koko.
Odie langsung mengulurkan tangannya ke koko.
“odie..”
“koko..”
balas koko tersenyum.
“eh rio, apa bukan aku yang bilang kalo wajah kalian berdua kok agak mirip ya?”
ujar odie heran.
Koko tertawa seolah terbiasa dengan orang orang yang sudah terlampau sering bilang kami berdua mirip.
“iya die, banyak yang bilang gitu.. Hehehe”
“kalian berdua mirip kakak adik.. Kalau ada yang bilang kalian berdua saudara kandung, nggak bakalan ada yang nggak percaya..”
tambah odie kurang puas.
“iya.. Iya die, aku tau.. Nggak usah terlalu heran lah, wajar aja wajah orang mirip, manusia ada milyaran didunia, jadi pasti ada beberapa yang mirip.. Nggak aneh kan..”
jawabku bosan.
Odie terdiam, tapi dari gerak geriknya ia kurang puas.
“oh ya hampir lupa.. Ya ampun.. Tunggu sebentar yo, ada yang ketinggalan di motor..!”
seru koko teringat sesuatu. Bergegas ia bangkit kemudian keluar dengan buru buru. Tak lama kemudian ia kembali masuk dengan menenteng bungkusan.
“titipan mama.. Dia masak soto babat, dia nyuruh bawain untuk kamu..”
koko mengulurkan bungkusan itu padaku.
“makasih ko, nggak usah repot repot bilang sama mamamu, aku jadi nggak enak ko..!”
aku mengambil bungkusan dari tangan koko. Aku memang betul betul tak enak hati, mama koko sudah begitu baik, ia tak harus begitu cuma karena aku mirip sama anaknya yang sudah meninggal.
“melarang mama melakukan sesuatu yang membuatnya bahagia aku tak tega rio, mama begitu bersemangat setelah mengenal kamu, tak pernah lagi dia menyinggung tentang almarhum, biasanya mama sering terkenang sama almarhum kak johan, tapi sejak kehadiranmu, mamaku sudah lebih tenang, baru akhir akhir ini aku melihat mama begitu bahagia yo, biarkan saja mama begitu.. Kamu juga nggak keberatan kan?”
tanya koko.
“kalo aku sih nggak keberatan, cuma nggak enak saja sama mamamu..”
“ya udah nggak usah dipikirin, yang penting tak ada yang merasa dirugikan..”
ujar koko.
Odie cuma diam mendengarkan pembicaraan aku dan koko, sepertinya odie mulai paham.
“om alvin gelisah terus, tadi tante sophie sempat marah marah, soalnya om alvin belum mau pulang ke jambi, aku heran om alvin selalu nanyain kamu terus, ya walaupun tak secara langsung, tapi ia banyak bertanya tentang kamu, seperti ingin lebih tau banyak tentang kamu yo..”
ujar koko, mendengar itu aku menjadi senang, ternyata om alvin ingin tau tentang aku, berarti om alvin tidak cuek.
“emangnya kamu yakin ko.?”
tanyaku.
“iya.. Aku nggak mengada ada, aku kenal om alvin, aku sendiri agak heran, tapi wajar lah dia bertanya, mungkin om alvin seperti mama juga, jadi tertarik karena kamu punya kemiripan dengan keluarga kami..”
jelas koko terdengar agak tak yakin.
“aku ke kamar dulu ya..”
sela odie. Aku menoleh, wajah odie agak kusut, gara gara keasyikan ngobrol sama koko aku nyaris lupa ada odie.
“ngapain ke kamar?”
tanyaku.
“ngantuk, nggak apa apa kan?”
suara odie agak lain.
“ntar aja lah die, baru aja jam setengah sembilan, emang kamu habis nyuci dan ngepel lantai ya, kok bisa capek?”
canda koko.
Odie tak tertawa, cuma tersenyum tipis. Kalau sedang begitu, ekspresi odie betul betul mirip sekali sama tante laras.
“atau kita ke kamarku aja, ngobrol disitu sambil baring baring…”
usulku.
“boleh..”
koko mengangguk setuju.
“ayo die, kita ke kamar aja… Kalian masuk dulu, aku mau menutup pintu depan, motor udah kamu kunci kan?”
tanyaku pada koko.
“udah…”
jawab koko.
Aku menutup pintu ruang tamu kemudian menyusul odie dan koko ke kamar.
Odie berbaring tengkurap diatas tempat tidur, sementara koko duduk didepan televisi menonton film the monkey king di anteve.
“Kok pada diam gitu…?”
tanyaku heran, tumben odie yang biasanya begitu ceria sekarang agak pendiam. Aku kira ia senang aku kenalin sama koko.
“die udah tidur ya?”
tanyaku pelan.
“belum..”
jawab odie masih tetap tengkurap.
“ya udahlah kalo emang udah ngantuk tidur aja.. Nggak apa apa..”
jawabku pengertian.
“iya..”
lagi lagi cuma jawaban singkat keluar dari mulut odie.
“besok om alvin ngajak makan di restoran, kamu mau ikut?”
tanya koko.
“makan di restoran? Dalam rangka apa,.. Aku sih mau aja, cuma lihat kondisi besok gimana, kalau kak faisal udah pulang, mungkin aku bisa ikut..”
aku menarik bantal lantai bergambar mobil warna biru. Kemudian baring diatas karpet disamping koko.
Koko ikut berbaring satu bantal denganku, untung saja bantal ini lumayan besar jadi kepala kami tak perlu berdempet seperti kembar siam.
“tadi kami nggak jadi jalan jalan, om alvin tiba tiba ada urusan mendadak..”
“oh ya, aku kira kalian jadi pergi..”
komentarku.
“nggak tau sih, om alvin nggak jelas, kayaknya dia mau ketemu kamu, soalnya dia bilang ada urusan setelah aku kasih tau kamu nggak bisa ikut..”
koko menolehkan kepala ke arahku.
“besok aku usahakan ikut..”
aku jadi nggak enak hati sudah mengecewakan om alvin.
Koko dirumahku hingga jam sebelas lewat, ia pamit pulang. Aku menawarinya menginap tapi ia menolak, katanya lain kali saja.
Waktu aku mengantarkan koko sampai depan teras rumah. Tiba tiba mobil papa memasuki pagar, kemudian berhenti di depan garasi.
Aku melihat mama keluar dari pintu mobil bersama tante laras dan juga kak faisal. Ternyata mereka menemukan kak faisal. Senang sekali aku melihatnya. Cepat cepat aku hampiri mereka. Koko yang masih duduk diatas motor, turun kembali. Kemudian ikut aku menghampiri kak faisal.
“belum tidur sayang?”
tanya mama.
“belum ma..”
aku memperhatikan kak faisal, ia menunduk menatap standblok seolah ada uangnya jatuh.

+++

“ayo masuk ke dalam semua..!”
suara tante laras tajam.
Seperti mengerti dengan situasi yang agak lain, koko langsung pamit pulang. Papa, mama, tante laras, om beno dan kak faisal masuk ke dalam rumah, aku menyusul setelah koko pergi.
Baru saja aku sampai depan pintu, suara tante laras memenuhi rumah.
“Apa yang kamu pikirkan fai, apa yang ada di otak kamu?”
cepat cepat aku masuk ke dalam, sepertinya kak faisal sedang di sidang.
Kak faisal duduk di ruang tengah bersama papa mama dan kedua orang tua odie. Wajah kak faisal tertunduk.
“kamu pikir dengan kabur dari rumah, kamu sudah hebat..? Hah… Kalau memang hebat nggak usah numpang dirumah orang segala..!”
tikam tante laras penuh amarah. Kak faisal tak menjawab. Terus menunduk tanpa mengatakan apa apa.
“kenapa fai, kenapa kamu lakukan ini, apa kasih sayang mama kamu anggap kurang, apa yang mama lakukan untuk kamu belum cukup…?”
tanya mama terdengar sedih.
“faisal jawab nak.. Jangan cuma menunduk seperti itu, kamu tau kamu sudah bikin susah, seisi rumah kalang kabut memikirkan kamu, apa kamu pernah berpikir sebelum bertindak?”
tanya papa dengan tenang, tak ada kemarahan dari sikap papa.
“ayo jawab fai…kok diam saja?”
desak tante laras tak sabar.
Kak faisal mendongak ragu, takut takut menatap tante laras.
“kenapa fai, kamu sudah bisu sekarang? Nggak bisa lagi ngomong?”
cetus tante laras.
“sudahlah dek, jangan terlalu menekan faisal, kasihan dia..”
mama mengusap punggung kak faisal penuh kasih sayang.
“maafkan fai tante, fai tak bermaksud menyusahkan tante, fai pergi karena ingin menenangkan pikiran…”
jawab kak faisal takut takut.
“oh begitu… Jadi seenaknya nggak pulang pulang tanpa kasih kabar terus kamu bilang cuma menenangkan pikiran… Apa kamu pikir kamu sendirian, sudah punya rumah sendiri.. Sudah mandiri, sudah punya penghasilan sendiri jadi bisa seenaknya begitu… Dimana otak kamu?”
tuding tante laras emosi.

+++

“Mama mengerti mama memang salah, mama sudah memikirkan semua.. Dan.. Mama setuju kalau kamu pacaran sama amalia, tapi dengan satu syarat..!”
aku tau mama cepat mengatakan hal itu, namun rasa sayang mama terhadap kak faisal membuat mama mengesampingkan egonya.
Kak faisal tercengang memandang mama seolah tak percaya dengan apa yang mama katakan. Namun mama tersenyum pahit, menganggukan kepala seolah ingin meyakinkan kak faisal bahwa ucapan mama tadi tak main main.
Kak tak dapat menutupi perasaan senangnya. Ia berterimakasih sama mama. Tante laras tersenyum lebar. Aku senang akhirnya masalah kak faisal bisa diselesaikan dengan baik. Semoga keadaan rumah akan lebih tenang setelah ini. Mama menyuruh kak faisal istirahat karena sudah jam duabelas dinihari. Kak faisal beranjak dan pamit pada tante dan om, aku langsung mengikuti kak faisal ke kamarnya.
“kakak dari mana aja sih.. Kok kabur gak bilang bilang kemana..!”
protesku kesal.
“kalau bilang bilang namanya bukan kabur dek!”
jawab kak faisal sambil membuka bajunya.
“ya minimal bilang sama aku kek, jadi aku bisa menemui kak faisal, aku kan kesepian..!”
“adek juga kemarin bela mama kan, bikin sebel aja..!”
gerutu kak faisal.
“habis kakak semenjak pacaran sama amalia jadi cuek sama aku..!”
“dasar manja, kakak bukan cuek, salah adek sendiri tiap kali diajak nggak mau..!”
kak faisal membela diri.
“ya udah.. Kakak istirahat aja dulu, besok kakak nggak kemana mana kan?”
aku menahan keinginan untuk melepas kangen, kasihan kak faisal pasti mau istirahat.
“nggak apa apa dek, kakak belum ngantuk kok.. Disini aja, tidur sama kakak..”
tawar kak faisal. Ia membuka lemari baju, mengambil baju kaus kemudian memakainya.
“ada odie kak, nggak enak biarin dia tidur sendirian di kamar ku, ntar mama marah..”
aku menolak dengan berat hati.
“dek…”
panggil kak faisal.
Aku yang baru saja hendak membuka pintu langsung berhenti dan berbalik.
“ada apa kak?”
aku menunggu jawaban kak faisal, sepertinya ia terlihat ragu, agak lama dia berpikir sebelum menjawab.
“nggak apa apa dek….. Selamat tidur.. Kak faisal sayang sama adek…”
kata kak faisal terdengar kaku. Aku tertegun mendengarnya. Tak pernah kak faisal berkata seperti ini sebelumnya. Ada apa dengan kak faisal..? Aku melongo sepersekian detik.
“rio juga sayang sama kakak..!”
jawabku akhirnya. Aku keluar dari kamar kak faisal dengan pikiran yang masih bingung.
Aku kembali ke kamarku. Odie sudah tertidur begitu lelap, suara dengkuran halus terdengar dari sela bibirnya yang sedikit terbuka. Tidurnya begitu tenang dengan ekspresi setengah tersenyum. Sepertinya odie sedang bermimpi indah. Aku naik keatas tempat tidur dan tidur disamping odie.

+++



AWAL DAN AKHIR

“Ajak amalia kesini fai, mama ingin lebih mengenal dia. “
kak faisal yang sedang menonton televisi diruang tengah langsung memalingkan muka ke mama, bukan cuma kak faisal yang terkejut, tapi aku juga. Sudah dua hari kak faisal pulang, baru hari ini mama membahas kembali mengenai amalia. Kemarin sore tante laras sama om beno sudah kembali ke baturaja. Odie tinggal disini selama liburan. Om sebastian sudah tinggal di barak, tadi pagi koko telpon untuk memastikan aku jadi atau nggak ikut ia dan om alvin makan ke restauran, karena kemarin kemarin aku belum sempat.
“nanti aku tanyakan sama amalia dulu ma sempat apa nggak nya.. Soalnya amalia sibuk bantu ibunya bikin jualan..”
jelas kak faisal terdengar senang.
“cantik juga pacar kak fai..”
odie nimbrung.
“ya jelas dong.. Gue kan ganteng..”
kak faisal narsis.
“huuuu… Dasar.. Nggak boleh di puji dikit..”
sungut odie.
Kak faisal tertawa. Aku senang dengan keakraban yang mulai kembali datang dirumah ini, apalagi dengan kehadiran odie, yang penuh semangat, suka bercanda, serta perhatian. Terasa lengkap.
“rio, mau temani mama ke supermarket nggak?”
tanya mama.
“kapan ma?”
“sebentar lagi, mama besok ada arisan dirumah, takutnya kalau nggak belanja hari ini, besoknya nggak keburu..”
“rio udah ada janji ma…”
sesalku.
“janji sama siapa sayang?”
mama ingin tau.
“koko sama om nya mau mengajak aku jalan jalan..”
aku menjelaskan.
“ya udah.. Kalau memang nggak bisa nggak apa apa.. Odie kamu ajak kan?”
mama memastikan.
“tentu aja ma, dari kemarin odie udah reseh mau ikut.. Kalo nggak diajak bisa bisa ia nangis..!”
aku bercanda. Odie cemberut mendengarnya. Ia langsung memimpuk aku dengan bantal kursi. Spontan aku mengelak.
“enak aja, emangnya kamu.. Suka nangis!”
sungut odie.
“hahaha.. Bukannya kamu anak mama.. Kan anak mama biasanya manja..!”
aku mengolok odie.
“nggak lucu!”
cibir odie kesal.
“udah jangan berantem, udah pada gede masih kayak anak kecil.
.!”
tegur mama.
“iya tante, rio kan masih anak kecil, masih suka merengek minta jajan!”
canda odie sambil buru buru berlari menghindari aku yang mau memimpuknya lagi.
“faisal aja yang temani mama ya?”
rayu mama.
Kak faisal menggaruk garuk kepala.
“iya deh.. Tapi fai mau mandi dulu ma, habis itu baru fai temani mama..”
jawab kak faisal.
“oh ya fai, besok jangan lupa suruh amalia main kemari, sekalian bantu bantu mama masak..”
mama mengingatkan kak faisal.
“oke ma.. Tenang aja.. Pasti fai ajak amalia besok, mama pasti nggak tau kalo amalia itu jago sekali masak, ia juga sangat rajin ma, di jamin mama pasti suka sama dia..”
promosi kak faisal.
“sudah.. Buruan mandi sana, ntar keburu siang..!”

Setelah kak faisal dan mama pergi, aku dan odie bersiap siap, menunggu jemputan, kata koko ia akan menjemputku dirumah. Aku berganti pakaian, lebih casual namun rapi. Odie memakai bajuku juga.
“keren nggak die?”
tanyaku pada odie sambil merentangkan tangan, meminta pendapatnya mengenai baju yang aku kenakan.
“wah.. Keren banget, mirip sama bintang film..”
jawab odie serius.
“beneran die, film apa? Kamu lihat dimana?”
tanyaku penasaran. Masa sih ada bintang film yang wajahnya mirip sama aku.
“itu mirip banget sama pemain film dokumenter… Flora dan fauna.. Episode bekantan..!”
jawab odie sambil ngacir tertawa terbahak bahak.
“sialaaaaaaan…!

+++

setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya sebuah mobil sedan memasuki pekarangan rumahku. Koko turun dari mobil dan menghampiriku.
“sudah siap yo?”
“udah ko, om alvin mana?”
“dalam mobil, dia nggak mau turun.. Ayo buruan..”
“oke, yo die.. Kita jalan..!”
aku menarik tangan odie, bersama koko masuk dalam mobil, kaca sedan yang gelap membuat aku tak bisa menebak ada berapa orang dalam mobil, ternyata setelah aku masuk, cuma ada om alvin.
“rumahmu kok sepi, pada kemana yang lain, Kamu nggak pamit dulu sama orangtua kamu?”
tanya om alvin.
“nggak ada siapa siapa dirumah, papa kerja, mama sama kak faisal ke supermarket, sebentar lagi juga pulang..!”
jawabku sambil duduk.
“ya udah kita berangkat sekarang..!”
ujar om alvin.
“mama kamu nggak ikut ko?”
tanyaku.
“mama nggak sempat yo, lagi ada kerjaan..”
“rumah kamu bagus sekali yo..”
suara om alvin terdengar aneh.
“itu rumah orangtua om, kalo rumahku belum ada… Hehehe..”
jawabku diplomatis.
Om alvin tertawa sumbang, entah kenapa aku merasa om alvin seperti agak penasaran, beberapa kali ia melihat ke rumahku. Seolah ada yang ia cari.
Om alvin menyetir dengan santai, membawa aku jalan jalan mengelilingi kota. Berputar putar dulu sebelum akhirnya menentukan restauran yang ia pilih.
Kami turun dari mobil memasuki restauran yang suasananya tak terlalu ramai tapi cukup nyaman. Beberapa meja disusun dengan penuh gaya dialasi taplak kotak kotak dan lain penutup berenda. Sebuah vas dengan bunga segar menghiasi masing masing meja. Suara alunan musik yang santai membuat suasana menjadi lebih rileks.
Om alvin mengajak duduk di meja sudut paling dekat dengan jendela kaca yang dihiasi lampu berkelap kelip bagaikan bintang.
Aku suka dengan suasana dalam restoran ini. Seorang pelayan menghampiri kami dengan membawa beberapa buku menu. Om alvin mengambil buku menu dan membacanya.
“pilih saja yo mau pesan apa..”
tawar om alvin.
Aku mengangguk dan mengambil buku menu itu kemudian meneliti isinya satu persatu. Akhirnya aku memutuskan memesan daging steak tenderloin, lengkap dengan kentang, banana split dan macadamian sunset punch. Om sebastian menulis menu pada sebuah kertas di klipboard. Koko menyebutkan pesanannya, begitu juga odie. Setelah selesai menulis makanan yang kami order, om alvin memberikannya pada pelayan.
“tunggu ya pak..”
ujar pelayan itu sambil tersenyum ramah, kemudia berbalik kembali ke belakang.
Sementara menunggu, om alvin mengeluarkan rokok, kemudian menyalakannya.
“sudah pernah kesini sebelumnya yo?”
tanya om alvin sambil mengembuskan asap rokoknya.
“belum om, baru kali ini..”
jawabku sambil melihat ke sekeliling. Beberapa orang pengunjung mengisi ruangan ini, duduk dengan santai seperti kami juga.
“biasanya kalau kamu pulang sekolah, ngapain aja?”
tanya om alvin lagi.
“paling dirumah om, bikin pr dan belajar, kalau ada teman ya ikut jalan…”
jawabku apa adanya.
“betah tinggal di palembang?”
“betah om, cuma tetap lebih enak waktu di bangka dulu, lebih alami, banyak pantai..”
“om juga kangen sama bangka, lama sekali tak kesana..”
om alvin terdengar agak murung.
“rencananya setelah lulus kuliah aku mau ke bangka lagi om.
“kembali ke bangka?”
tanya om alvin heran.
“iya.. Rencananya aku mau cari kerja di bangka aja, agar bisa dekat sama emak..”
“loh bukannya kamu sudah ada mama disini, apa nggak kasihan meninggalkan dia?”
“kan ada kak faisal, lagipula aku memang tak ada niat untuk tinggal seumur hidup disini…”
jelasku.
Om alvin mengangguk.
“kapan kapan om mau mengajak kamu main ke jambi… Mau nggak?”
tanya om alvin.
“wah… Beneran nih om? Mau banget…!”
aku senang sekali, prospek akan diajak om alvin ke jambi membuat aku jadi bersemangat. Aku memang menyukai om alvin. Ia begitu baik dan berwibawa. Ia juga begitu perhatian serta kebapakan. Andaikan om alvin adalah papaku, pasti aku senang sekali.
Saat kami sedang asik mengobrol, pesanan datang, berlimpah makanan disusun diatas meja hingga terlihat agak sesak.
“dimakan yo..”
kata om alvin setelah pelayan pergi.
“makasih om.. Ayo die kita makan..”
aku mengajak odie agar ia tak canggung.
Odie mengangguk, kemudian kami makan sambil mengobrol sesekali. Om alvin banyak bertanya mengenai aku. Entah kenapa aku bagai merasa terlalu banyak yang ingin om alvin ketahui mengenai aku. Ia menanyakan dari aku kecil hingga menanyakan papa, mama dan juga kak faisal. Waktu aku cerita tentang bagaimana aku terkejut dan tak bisa menerima mama pada awal awal pertemuan dulu, dan aku yang masih tetap lebih menyayangi emak hingga sekarang, om alvin langsung batuk batuk, hingga ia harus buru buru minum segelas air putih.

+++

setelah selesai makan, om alvin mengajak ke internasional plaza, tak kusangka, ternyata om alvin membelikan aku jaket dan celana, aku sudah mencoba menolak tapi om alvin tetap memaksa.
“anggap saja itu pemberian dari seorang om kepada ponakannya..”
begitu kata om alvin.
Akhirnya aku menerima pemberian om alvin. Sepanjang perjalanan kami dalam mall ini, om alvin sering merangkul bahuku. Seolah olah ia sudah begitu dekat sejak lama denganku.
“rio, tau nggak, kamu sama om alvin mirip banget kayak ayah sama anak lelakinya.”
bisik odie pelan saat om alvin sedang membayar belanjaan di kasir.
“masa sih die?”
tanyaku senang.
“iya yo, sumpah… Kalian betul betul mirip ayah dengan anak… Lagipula aku lihat saat om alvin menatap kamu tadi seperti ada sesuatu yang aku sendiri sulit untuk mengungkapkannya.. Tapi percaya deh, aku bisa merasakan kalau om alvin menyayangi kamu yo…”
tambah odie masih berbisik.
“kalian berdua lagi bicara apa sih kok bisik bisik gitu?”
tanya koko penasaran.
“ah nggak ko, kata odie, om alvin sama aku kayak anak sama bapak..”
jelasku pada koko.
“aku sependapat sama odie..”
ujar koko setuju.
Aku tak mengatakan apa apa lagi karena om alvin sudah selesai membayar belanjaan dan sekarang sedang berjalan menuju kearah kami.
“ini yo,..”
om alvin memberikan bungkusan kepadaku.
“makasih om..”
aku mengambil plastik bungkusan berisi baju, jaket, celana dan sepatu yang tadi dibeli om alvin. Selain membelikan untukku, koko dan odie masing masing dibelikan satu buah baju.
Om alvin mengantarkan aku sampai di depan pagar.
Disaat yang bersamaan mobil mama tiba, terdengar suara klakson, mobil om alvin menutup pintu masuk dekat pagar, terpaksa om alvin masuk ke pekarangan agar mobil mama bisa masuk ke dalam pekarangan.
“om mampir dulu,”
aku menawari om alvin.
Tapi om alvin tak menjawab. Ia nampak bengong melihat mama bersama kak faisal yang baru turun dari mobil. Kak faisal membuka bagasi mobil menurunkan barang barang belanjaan mama. Sementara mama dengan keingintahuan melihat ke arah kami.
Aku membuka pintu mobil hendak turun, namun tanganku langsung di tahan oleh om alvin.
“ada apa om..?”
tanyaku heran. Wajah om alvin begitu pucat seolah habis melihat makhluk halus.
“sebentar yo, jangan turun dulu, om mau memutar mobil dulu..”
ujar om alvin kemudian dengan tergesa menginjak pedal gas, mobil langsung mundur, berbelok dekat depan beranda kemudian keluar dari pekarangan.
Mama yang tadi berjalan menghampiri mobil om alvin, langsung berhenti dengan heran, mama mungkin tak tau kalau aku yang ada dalam mobil.
“kok keluar lagi om, ada apa?”
tanya koko.
“nggak enak ko, om belum bisa mampir, mana ada mamanya rio, om harus buru buru..”
jelas om alvin semakin aneh.
“ya udah kalau memang om lagi ada urusan, lain kali kalau om main ke palembang, mampir kesini om, rio kenalin sama keluarga rio..”
aku berbasa basi.
Om alvin tak menjawab cuma mengangguk.
“iya yo.. Kapan kapan…”
suara om alvin bergetar.
Aku turun dari mobil, odie ikut turun.
“makasih ya om…”
aku tak lupa berterimakasih.
“sama sama yo…”
tanpa menunggu lebih lama om alvin langsung berlalu dari hadapanku bersama koko.
“ayo die ke dalam..”
aku membawa bungkusan yang lumayan banyak, odie membantuku membawakan beberapa bungkusan.
Mama masih berdiri di tempat tadi, setelah melihat aku dan odie, mama langsung menggeleng.
“kalian berdua rupanya, mama kira siapa tadi..”
ujar mama.
“iya ma, habis jalan jalan sama koko dan om nya..”
jawabku.
“ya udah.. Itu apa yang kamu bawa?”
selidik mama ingin tau.
“oh, ini baju dibelikan oleh omnya koko ma, odie juga dibelikan..”
aku menjelaskan.
“baik sekali om nya itu, kok nggak diajak mampir aja tadi sekalian?”
tanya mama
“om nya masih ada urusan ma, katanya kapan kapan ia mampir kemari.”
“ya sudah, tolong bantu kak faisal bawa belanjaan mama, kamu taruh dulu barang barang kamu didalam rumah, itu dalam bagasi masih banyak belanjaan mama..”
tunjuk mama ke mobil.
“iya ma.. Eh die, tolong kamu bawa semua ini ke kamar, aku mau bawa belanjaan mama dulu..”
“siap bos”
seloroh odie sambil memberi hormat selayaknya orang sedang menghormati bendera.
Aku masuk ke dalam. Kak faisal sedang minum.
“darimana aja dek?”
“jalan jalan..”
“sama koko?”
“iya kak..”
“itu apa?”
“baju sama celana, dibeliin sama om alvin..”
“huuuu enak banget kamu dek, cuma gara gara mirip sama kakaknya koko, malah dapat fasilitas dari mereka..!”
sungut kak faisal.
“ya namanya juga rejeki kak, nggak lari kemana..”
candaku sambil masuk kamar. Kak faisal ikut masuk ke kamarku.
“dek, ada yang mau kakak omongin sama adek sebetulnya, tapi ketunda terus dari kemarin..”
ujar kak faisal sambil menepuk bahuku.
Aku berbalik mengadap kak faisal.
“kakak mau ngomong apa, kayaknya penting ya?”
tanyaku.
“iya dek, odie mana?”
tanya kak faisal sambil melongok keluar kamarku.
“lagi bantuin mama, emangnya kenapa kak?”
“dek, hati hati sama odie, kakak curiga sama dia, soalnya agak aneh…”
bisik kak faisal penuh misteri.
“aneh bagaimana kak, perasaan biasa aja kok selama aku sama odie, nggak ada keanehan.?”
tanyaku heran.
“huuu adek, kalau dibilangin pasti ngeyel, masa adek nggak ngerasa tingkah odie itu rada aneh..?”
ulang kak faisal.
“biasa aja kok..”
“kakak curiga odie itu suka sama sejenis, adek harus hati hati sama dia!”
kak faisal memperingatkanku.
Aku bagai tersambar petir saking kaget mendengar penyatan kak faisal.
“kak faisal tau darimana?”
tuntutku.
“sudah lama kakak curiga sama dia, dulu waktu kakak masih kelas satu smu, ia kesini, tidur siang di kamar kakak, dan dia…. “dia mencoba untuk memegang pen** kakak waktu kakak sedang tidur siang bersamanya. Kakak waktu itu belum nyenyak, jadi bisa merasakan.. Tapi kakak tak mau membuat ia merasa malu jadi kakak cuma mengubah posisi tidur jadi tengkurap. Setelah itu kakak tak begitu mau lagi akrab sama odie…”
jelas kak faisal. Aku diam tak tau bagaimana harus menanggapi, rupanya odie sama seperti aku juga, dan kak faisal begitu anti, andai kak faisal tau mengenai aku, entah apa nanti reaksinya.
“kok diam dek, kakak cuma mau biar adek nggak terjebak, kakak merasa ia menyukai adek..”
nasehat kak faisal sok bijak.
Aku tak mau menjawab, aku tau apa yang odie rasakan kalau apa yang kak faisal katakan itu betul, seperti juga yang aku rasakan, aku dan odie sama. Betapa tersiksanya odie andai memang ia ada perasaan padaku. Tak ada yang mau di lahirkan dengan keadaan tak sempurna. Kak faisal mungkin tak akan pernah mengerti mengenai hal ini. Percuma saja aku menjelaskan.
“sudah lah kak, odie nggak pernah macam macam kok, andai pun ia memang begitu, itu hak dia..”
jawabku tak sabar.
Kak faisal agak kaget dengan reaksiku yang tak terlalu perduli.
“apa maksud adek, kakak cuma nggak mau adek terjebak.. Itu aja dek..!”
“kakak tak perlu kuatir, aku juga sama seperti kakak, bisa jaga diri.. Lagian selama ini odie tak pernah bersikap tak sopan padaku!”
bantahku tak perduli.
“kalian menyebut namaku, ada apa?”
tanya odie.
Aku dan kak faisal menoleh serempak, apakah odie mendengarkan pembicaraan kami tadi, kak faisal terlihat serba salah. Odie menghampiri kami.
“kenapa yo? Kok kamu jadi bersikap aneh, kalian lagi bicarain aku kan… Ada apa?”
desak odie penasaran.
“nggak die, kak faisal cuma bilang, tadi aku sama kamu jalan kemana aja.. Cuma itu..”
aku mencoba menutupi.
“oh.. Itu ya.. Iya kak fai, aku tadi sama rio ke mall, sama om alvin.. Kayaknya om alvin perduli banget sama rio, lagipula mereka itu mirip banget kayak anak sama bapak..”
ujar odie bersemangat.
Kak faisal terlihat lega.
“baguslah kalau begitu, ya sudah.. Kakak mau ke kamar kakak..”
jawab kak faisal.
Lalu kak faisal meninggalkan aku dan odie.
Setelah kak faisal pergi, odie naik ke tempat tidur dan berbaring.
“gila, capek juga ya… Padahal kita tadi cuma jalan jalan..”
ujar odie sambil menumpukan siku diatas bantal.
“iya die, kalo capek istirahat aja, aku juga mau tidur siang…”
aku ikut naik ke atas tempat tidur dan berbaring disamping odie.
“yo… Aku senang banget disini, andai bisa tiap hari sama kamu, aku pasti makin senang..”
ungkap odie tulus, aku tersenyum dan mengangguk.
“kenapa nggak minta mama kamu memindahkan kamu sekolah disini, kamu kan bisa tinggal disini, kita bisa ke sekolah bersama…”
aku mengusulkan.
“kamu nggak kenal sama mama, tak mungkin ia mau kasih ijin aku untuk pindah sekolah disini, mama tak bisa melepaskan aku dari pengawasannya. Lagi pula mama kesepian kalau nggak ada aku, adikku yang perempuan masih kecil, aku sih kepingin banget bisa terus disini..”
sesal odie.
Aku jadi terngiang dengan ucapan kak faisal tadi mengenai odie. Sebetulnya odie tampan juga, tak kalah dengan kak faisal. Odie juga begitu perhatian dan baik, dari kata kata kak faisal, membuat aku jadi mengerti, tak boleh menanam harapan kosong, karena tak akan pernah menumbuhkan buah. Jadi perasaanku terhadap kak faisal selama ini hanyalah angan angan muluk. Aku harus bisa mengenyahkannya. Kak faisal sudah punya amalia. Dan ia begitu menyukai amalia, hingga kak faisal memilih dari rumah daripada harus berpisah dengan amalia. Ku lirik odie yang matanya sudah terpejam. Ketulusan di wajahnya yang polos sangat terlihat. Aku senang tau kondisi odie yang sesungguhnya. Andai odie memang betul betul menyukaiku. Aku tak keberatan untuk menerimanya. Aku mau menjadi pacar odie. Tapi kalaupun itu cumalah sebatas kekuatiran kak faisal saja, aku akan menjaga rahasia diriku sebisa mungkin.
Aku melirik odie lagi, rupanya ia sedang memandangiku. Aku kira tadi ia sudah tidur. Waktu melihat aku memergokinya sedang memandangiku, odie cepat cepat menutup matanya. Aku tersenyum karena lucu melihat tingkah odie. Aku pun memejamkan mata. Tapi sulit sekali tertidur. Aku pun menoleh ke odie. Rupanya lagi lagi ia sedang mengamatiku dan lagi lagi cepat cepat menutup mata waktu aku melihatnya. Sambil tertawa aku timpuk odie dengan bantal.

+++

“hei.. Apa apaan..”
odie terlonjak kaget.
“pura pura tidur ya!”
tuduhku langsung. Odie nyengir malu karena ketahuan.
“kenapa die?”
tanyaku akhirnya, sambil aku berbaring menyamping lebih dekat ke odie.
Odie kelihatan gelisah waktu tubuhku terlalu dekat dengannya.
“n..ng..nggak.. Kok.. Nggak.. Kenapa napa…!”
elak odie terbata bata.
“die… Kamu udah pernah pacaran?”
tanyaku ingin tau. Odie langsung menoleh kaget.
“kok nanya gitu, kenapa emangnya?”
odie balik bertanya.
Aku jadi tak enak hati dengan reaksi odie, sepertinya ia merasa kurang nyaman dengan pertanyaanku itu.
“nggak kok die, cuma sekedar mau tau aja.. Boleh kan?”
“jujur aku belum pernah pacaran, aku belum pernah merasakan sesuatu yang lain dengan cewek, jadi aku santai aja..”
jawab odie lugas.
“dari smp belum pernah pacaran?”
“iya…”
“sama!”
“hahaha…”
odie tiba tiba tertawa.
“kenapa die?”
tanyaku heran.
“kita banyak kesamaan yo…”
“contohnya…?”"
“ya sama sama belum pernah nyoba pacaran..!”
jawab odie asal.
“dasar!”
aku menowel kening odie kesal.
“teman teman sibuk pacaran tapi aku santai aja, untuk apa maksain pacaran kalau cuma untuk pamer..”
jelas odie.
“kamu kan ganteng mustahil nggak ada cewek yang mau sama kamu…”
ujarku pelan.
“yang naksir sih banyak..”
jawab odie sombong.
“ya elah.. Sok banget!”
“nggak maksud aku, ada beberapa cewek yang ngasih sinyal, tapi aku nggak gubris soalnya aku nggak tertarik..!”
“kenapa nggak tertarik die?”
pancingku.
“ya nggak tau, pokoknya aku nggak tertarik aja, mungkin belum ketemu cewek yang pas aja..!”
jawab odie ragu.
“emangnya baju pake pas segala…”
candaku.
“nggak tau lah yo, sampai sekarang aku belum kepikiran untuk berpacaran..”
tandas odie.
“kalau sama cowok gimana?”
tembakku langsung ke intinya.
Wajah odie langsung berubah pucat pasi.

“kok nanya gitu..!”
suara odie berubah ketus.
“nggak die, jangan tersinggung, aku cuma nanya.. Apa kamu ada perasaan lain kalau melihat cowok?”
aku penasaran odie akan menjawab apa.
“nggak… Aku nggak mau jawab..!”
odie langsung berbalik memunggungiku.
“die, kamu marah ya?”
aku memegang bahu odie.
Tak ada jawaban. Odie tetap memunggungiku.
“ya udah kalau memang kamu nggak mau jawab nggak apa apa, lagian aku cuma sekedar tanya aja.. Nggak maksud apa apa, mungkin kamu memang belum siap untuk pacaran aja..”
aku mengalah tak mau lagi bertanya lebih jauh. Aku kira tadi odie mau bercerita dan lebih terbuka padaku mengenai dirinya yang lebih dalam. Tapi odie kelihatannya tak mau membaginya. Jadi buat apa aku memaksa.
Aku turun dari tempat tidur. Meninggalkan odie berbaring sendirian di kamar. Hari ini kamis, besok rencananya odie mau pulang ke baturaja dan aku tak mau memberikan kenangan jelek dihasi terakhir dia disini. Biarlah odie merasa nyaman.
Baru saja aku mau menutup pintu tiba tiba terdengar odie memanggilku.
“yo..!”
aku urung keluar kamar, aku masuk lagi ke dalam dan menutup pintu. Kemudian menghampiri odie.
Ia sudah duduk di tepi tempat tidur dan menunduk.
“ada apa die?”
tanyaku bingung.
“kamu mau kemana?”
odie bertanya sambil tetap menunduk.
“nggak kemana mana die, cuma mau ke dapur, ada apa die?”
desakku tak sabar.
“pertanyaan kamu yang terakhir tadi….”
odie menggantung kalimatnya.
“kenapa die.. Ada apa dengan pertanyaanku terakhir tadi, bukannya kamu nggak mau membahas hal itu..”
tanyaku untuk memastikan.
“yo.. Apakah kamu betul betul sahabatku..?”
tanya odie agak aneh.
“iya die.. Aku sahabatmu.. Kok masih bertanya sih?”
“seberapa jauh kamu bisa aku percaya?”
tanya odie lagi.
“tanyakan hatimu die, kamu yang bisa menentukan apa aku ini patut untuk di percaya atau tidak..”
jawabku lugas.
“aku percaya kamu yo..”
jawab odie mantap.
“makasih die, aku hargai.. Tapi kenapa kamu bertanya kayak gitu?”
aku jadi makin penasaran.
“sebetulnya aku bukan tak pernah menyukai seseorang yo..”
“lalu?”
“kamu janji tak akan marah, dan kamu juga janji tak akan menganggapku tak waras?”
odie mendongak menatap wajahku. Aku baru menyadari ada dua bulir air mata mengalir dari bola mata odie yang bening.
“kamu menangis die?”
desisku kuatir.
“jangan pikirkan yo, aku memang agak sentimentil..”
lanjut odie.
“tadi kamu mau bilang apa?”
aku mengingatkan
“kamu mau tau siapa orang yang aku sukai?”
“siapa die?”
tanyaku dengan jantung berdebar debar….

0 komentar:

Posting Komentar