Kamis, 03 Maret 2011

“Ri… Rian..?”
aku mendesis nyaris tak percaya.
“iya rio, kamu pasti kaget kan… Aku memang sengaja mau bikin kejutan..”
rian tersenyum lebar, rasanya rian semakin jangkung saja lama nggak ketemu. Lututku lunglai, hampir tak mampu bergerak mendekatinya.
“kamu.. Tau… Alamat…ku…dari… Mana?”
tanyaku terpatah patah. Aku tak yakin apakah ini nyata atau sedang bermimpi.
“tak susah mencari alamatmu, aku minta sama emak..”
jawab rian sambil mendekatiku.
“aku nggak disuruh masuk ya?”
tanya rian.
“eh.. Iya.. Iya.. Silahkan masuk… Maaf..”
aku belum bisa mengatasi perasaanku. Aku ingin berteriak rasanya. Air mataku mau jatuh, tak pernah aku bermimpi akan bertemu lagi dengan rian secepat ini. Apakah rian datang untuk menagih janji, tak kusangka ia masih mengingatku. Aku fikir karena sudah hampir dua tahun ia tak lagi mengingatku.
Rian melangkah memasuki rumahku. Aku mempersilahkan dia duduk.
“rumah kamu bagaikan istana yo..”
desis rian sambil memandangi seisi ruangan tamu. Mama memang memakai jasa desainer interior untuk menata setiap ruangan dirumah ini.
“ini rumah mama yan, aku hanya sekedar anaknya..”
jawabku singkat sambil berusaha untuk menenangkan gejolak dalam hatiku.
“kamu lagi sama siapa dirumah?”
“ada papa, mama dan kak faisal..”
jawabku.
“kemana mereka?”
“lagi di taman belakang rumah, bersantai”
“kamu bagai pangeran yo, beda sekali dengan kamu yang dulu, makin cakep dan bersih..”
puji rian.
“ah biasa aja kok yan, aku masih yang dulu..”
“kalau begitu kamu masih pacarku bukan?”
tembak rian membuat jantungku nyaris berhenti.
Saat melihat rian, perasaanku haru biru, bagaikan kembali lagi kemasa lalu. Aku sekarang sudah berpacaran dengan om sebastian, aku tak tau bagaimana caranya menjelaskan kepada rian.
“yan, kita ke kamarku aja ya..”
aku mengajak rian karena aku mau membicarakan sesuatu yang agak rahasia, aku tak mau sampai ada yang mendengar karena ini begitu pribadi.
“kamarmu dimana?”
rian nampak tertarik langsung berdiri. Aku mengajaknya ke kamarku.
“wah… Rio kamu betul betul bagaikan pangeran.. Kamarmu bagus sekali.. Wow.. Ada komputer.”
seru rian sambil memegang komputerku.
“ya rian begitulah..”
jawabku apa adanya.
Rian sibuk berkeliling kamarku, melihat barang barang dalam kamar ini, wajahnya berbinar binar cerah. Seolah olah dia ikut senang dengan keadaanku.
“rian…”
aku memanggilnya, tapi rian tak mendengar karena terlalu sibuk mengagumi koleksi miniatur yang aku punya.
“rian…”
ulangku lebih keras.
Rian tersentak langsung berbalik.
“iya yo ada apa?”
tanya rian penasaran.
“dalam urusan apa kamu ke palembang?”
“kangen…”
ujar rian sekenanya.
“yang serius yan..”
desakku tak sabar.
“aku pindah kesini, sekolah disini..”
jawab rian mengagetkan aku.
Tiba tiba rian memelukku.
“rio aku kangen banget sama kamu..”
desah rian bergetar.
Aku ingin menangis mendengarnya. Tak sanggup mengatakan pada rian kalau aku sudah berpacaran.
Pelan pelan aku melepaskan diri dari rian. Ia tercengang melihatku.
“kenapa rio?”
mata rian terbeliak.
“nggak rian..”
aku menarik nafas berat.
“kamu aneh sekali..”
“aku cuma lagi capek..”
“kamu sudah ada yang punya?”
tanya rian tajam seolah memvonis.
Aku terdiam, lidahku kelu.
“aku yakin kamu pasti sudah ada yang punya, kamu selingkuh dariku.. Jujur saja rio, itu lebih baik dari pada kamu menaburkan harapan kosong untukku.”
pinta rian sambil memegang bahuku dan menatap mataku seolah ingin menguliti hatiku.
“iya rian.. Aku sudah ada yang punya…”
walaupun berat akhirnya aku bisa mengakuinya.
Rian termenung, seolah sudah siap mendengar jawabn seperti ini.
“ya sudahlah kalau memang begini adanya.. Jadi sia sia aku meminta pada orangtua untuk memindahkan aku sekolah kesini.”
rian begitu tenang suaranya pun datar. Tapi air mata bergulir jatuh di kedua pipinya.
Aku merasa bagaikan seorang penjahat yang telah merengut kebahagiaan dari hidup rian. Kenapa semua harus terjadi begini. Aku mencintai om sebastian, tapi perasaan cintaku pada rian ternyata masih ada. Kenapa kami harus bertemu disaat ini, disaat aku tak mungkin untuk menerimanya lagi. Aku tak mungkin menduakan dia.
“kalau begitu aku pamit, terimakasih rio, aku doakan kamu bahagia..”
rian berbalik kemudian berjalan cepat ke pintu.
“rian tunggu.. Aku masih..”
aku mencoba menahan rian.
“kita tetap bersahabat rio, tenang saja.. Masih ada waktu..”
jawab rian tetap berjalan tanpa menungguku.
Aku mengantar rian hingga ke depan pintu. Ia naik ke mobilnya. Ternyata dia tak sendirian. Mungkin sopir yang mengantarnya.
Aku mematung memandangi mobil rian yang menghilang di jalan raya.
Aku masuk ke kamar, mengunci pintu dan menangis sepuas puasnya. Aku betul betul bingung. Aku telah menyakiti rian, cinta pertamaku. Seseorang yang paling aku inginkan didunia ini. Maafkan aku rian, tak ada maksudku untuk membuatmu sakit hati. Andaikan waktu bisa diulang, aku ingin sekali bersama rian, hanya rian yang sangat aku inginkan.

++++

KEMATIAN KAK FAISAL
“mau kemana yo?”
tanya mama yang sedang duduk didepan televisi sambil memangku dan menyuapi makan wenny adikku yang berumur empat tahun, adikku ini sangat manja sekali, tapi ia paling dekat denganku, aku betul betul bahagia punya adik perempuan, sudah lama aku membayangkan asiknya punya adik. Dan sekarang telah menjadi kenyataan.
“bang io, ikut…”
jerit wenny sambil melompat dari pangkuan mama.
“adek, ntar aja ya ikut, sekarang abang mau kerumah sakit, mau disuntik, adek mau disuntik?”
aku menggendong adikku.

“nggak mau dicuntik… Nggak mauuuu!!”
jerit wenny ketakutan.
“cup..cup…cup.. Adek jangan nangis ya.. Ntar dibeliin cokelat, makanya nggak usah ikut abang, ntar disuntik sama dokter..”
aku membujuk wenny, mama mendelik padaku, mungkin mama sebal melihat aku hampir membuat wenny menangis, soalnya kalau sudah menangis susah diamnya. Wenny meronta mau turun dari gendonganku. Aku menurunkan wenny, ia menghambur berlari naik ke pangkuan mama.
“rio jalan dulu ma..”
aku pamit.
“hati hati nak, jangan lupa nanti malam kita kerumah amalia..”
mama mengingatkan.
“oke ma..”
aku keluar dari rumah, mengambil mobil digarasi.
Hari hari belakangan rasanya hampa, hubunganku dengan om sebastian hanya seumur jagung, ia sekarang sudah menikah, tepatnya empat tahun yang lalu, kami mengakhiri hubungan secara baik baik, aku bisa mengerti walaupun tak sepenuhnya betul betul mengerti. Aku tahu tak selamanya om sebastian harus menjalani kehidupan yang tak punya masa depan. Om sebastian sebetulnya masih tetap mau berhubungan walaupun ia sudah punya isteri, namun aku sendiri yang menolak, aku tak mau terus terusan mengganggu rumah tangganya. Sudah cukup aku melakukan dosa, jangan lagi aku menambah dengan menyakiti isterinya. Tante sukma yang sangat baik padaku. Tiap om sebastian datang bersama isterinya, aku bisa menutupi perasaanku yang sesungguhnya. Walaupun terasa berat tapi aku mampu menjalaninya hingga sejauh ini.
Biarlah yang lalu berlalu, masa depanku masih panjang terbentang,masih banyak kesempatan yang dapat aku raih, sebentar lagi kuliahku selesai, aku akan menjadi seorang sarjana, setelah itu aku akan kembali ke bangka, aku akan segera bertemu lagi dengan emak dan ayuk ayukku. Lama waktu berlalu pastilah banyak perubahan yang terjadi, yuk yanti sudah punya anak, laki laki menurut surat yang emak kirim, aku sudah tak sabar ingin menggendong ponakanku itu.
Aku sudah mengatakan pada mama tentang rencanaku pulang, mama keberatan tapi ia bisa mengerti, aku sudah dewasa, bisa memilih jalan yang menurutku paling baik, pada akhirnya semua anak akan berpisah dari orangtuanya.
Aku memarkir mobil di tempat yang teduh di bawah pohon mangga.
Rumah yang aku tuju terlihat sepi, pintunya tertutup. Aku mengetuk pintu. Tak sampai semenit pintu dibuka.
“jadi nggak?”
tanyaku sambil masuk. Ruangan ini hanya terdiri dari satu ruang tamu, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Memang daerah ini tempat kost kostan.
“ya jadi lah..! Aku udah nungguin dari tadi..”
jawab rian berang.
“maaf yan, tadi aku lagi ngerjain tugas, jadi nggak bisa langsung kemari.”
aku mengutarakan alasan kenapa aku bisa terlambat.
“alasan! Pasti kamu menemui seseorang ya!”
tuduh rian.
“demi allah yan, aku nggak jalan sama siapa siapa… Percaya aku yan!”
kataku memelas.
“kalau dulu aku percaya sama kamu yo, tapi saat ini rasanya sulit, kamu sudah menghianatiku sekali, tak mustahil kamu mengulanginya lagi..!”
tuduh rian tanpa perasaan.
“rian, aku sudah bersumpah, aku tak mungkin melakukan itu, aku tak pernah dengan siapapun kecuali sama om sebastian, tapi itu sudah lama berlalu..”
hampir putus asa rasanya meyakinkan rian, semua ini salahku. Rian sudah berubah. Satu tahun setelah aku mengakhiri hubunganku dengan om sebastian, aku menjalin hubungan dengan rian, dia satu kampus denganku, kalau aku mengambil jurusan ekonomi, rian mengambil jurusan hukum. Dan sekarang ia seolah menghukumku yang pernah mengecewakannya. Setiap aku berbuat salah sedikit saja, rian tak segan segan menuduhku. Ia betul betul tak bisa aku mengerti, terkadang aku merindukan saat saat dulu, ketika dia begitu baik padaku. Namun itu sepertinya mustahil. Rian selalu mengandalkan kecurigaan. Jarang sekali perbuatanku betul dimatanya. Seolah ia memilikiku sebagai pelampiasan dendam atas kesalahan yang telah aku lakukan. Aku terjepit diantara dilema. Melanjutkan hubungan tapi aku hidup dalam kecurigaan dan serba salah, memutuskan hubungan dengan rian tapi aku sudah terlanjur mencintainya. Dialah cinta pertamaku dan aku harapkan menjadi yang terakhir. Aku masih berharap, andaikan aku bisa bersabar, mungkin lama kelamaan rian akan mengerti bahwa cintaku tulus padanya. Yang jadi tanda tanya besar sekarang, sampai berapa lama aku bisa bertahan dengan hubungan yang bagai telur diujung tombak ini. Kalau cuma kemarahan dan curiga yang rian limpahkan padaku, itu bisa aku terima. Tapi tak jarang rian memukulku. Memukul dalam artian sebenarnya. Terkadang meninggalkan bekas bilur bilur dibagian yang ia pukul. Aku merasa begitu asing dengan rian yang sekarang. Ia betul betul telah berubah total. Namun anehnya setiap kali ia selesai memukulku, ia akan menangis, kemudian memeluk aku erat erat, seolah olah ingin melindungiku. Menghilangkan perasaan takut pada diriku. Seolah tak terjadi apa apa. Seolah olah orang lain yang habis menyakitiku dan ia ingin melindungiku. Beberapa kali aku mengatakan ingin mengakhiri hubungan kami, namun rian tak terima, ia meratap memohon dan mengancam akan bunuh diri kalau aku sampai meninggalkan dia. Aku tau itu tak main main, rian adalah orang paling serius yang aku kenal. Ia tak pernah sekadar mengancam. Kalau ia bilang A, maka A, kalau ia bilang B maka B itulah. Rian betul betul menguras pikiranku setiap hari. Bukan ini yang aku impikan dulu ketika menerima rian sebagai teman lelakiku. Tapi yang lebih membuat aku tak habis pikir lagi. Kadang ia betul betul baik dan perhatian. Ia sangat memperhatikan aku dari hal yang paling kecil sekalipun. Ia memperhatikan aku seolah memujaku.

aku menemani rian kerumah saudaranya, dulu waktu awal pindah, ia tinggal dirumah saudaranya itu, tapi akhirnya ia memilih kost dengan alasan ingin lebih mandiri, awal waktu rian tau aku sudah punya pacar, ia begitu kecewa, ia memutuskan untuk kembali ke bangka, namun entah kenapa ia merubah pikiran, ia batal pulang dan memilih tetap di palembang.
Ia tak pernah berpacaran dengan siapapun selama yang aku tahu. Dia sekolah ditempat yang sama denganku. Persahabatan kami kembali terjalin, walaupun rian menjadi lebih pendiam, tapi perhatiannya kepadaku tak pernah kurang, om sebastian kalau ada waktu selalu menyempatkan diri untuk menjemputku. Bahkan rian sempat akrab dengan om sebastian, walaupun terkadang aku melihat dia murung kalau om sebastian memberikan perhatian padaku.
Waktu terus berjalan, aku lulus sma, kemudian masuk ke perguruan tinggi, demikian juga dengan rian, tak lama aku kuliah, om sebastian dituntut keluarga untuk menikah. Hatiku hancur sekali saat itu, rian yang selalu menghiburku.. Memberikan aku kekuatan untuk tetap tegar, tak bosan bosan ia menasehati, menghibur dan memberikan semangat. Lambat laun akupun bisa menerima keadaan. Tak lama setelah itu ia mengejutkan aku dengan keputusannya untuk kembali jadi pacarku. Aku sempat ragu karena telah mengecewakannya. Namun rian memohon agar aku bisa menerima karena ia sudah lelah berharap, menunggu saat itu datang. Aku yang sendiri merasa tak ada salahnya menerima rian lagipula aku sudah mengenal dia dari smp dulu, dia adalah orang pertama yang sempat masuk kedalam hatiku. Namun tak lama setelah aku menerimanya, rian mulai berubah, ia mulai menunjukkan egonya, mulai suka melarang aku bergaul, terlalu posesif dan over protectif, seringkali kecemburuannya yang tak beralasan ia tunjukkan dengan penuh emosi tanpa bertanya terlebih dahulu, pernah ia melihat aku jalan dengan koko, ia cemburu, saat kami berdua ia langsung menampar pipiku. Aku betul betul kaget waktu itu, tamparan pertama dari rian, aku sudah berusaha menjelaskan posisi koko bagiku, namun tak ia gubris. Ia tak mau percaya. Bahkan ia mengata ngatai aku murahan. Mata keranjang, dan lain sebagainya yang membuat kupingku jadi merah mendengarnya. Bahkan waktu aku mencoba untuk melawan waktu mencekal leherku, ia malah meninjuku. Aku tak bisa terima perbuatannya itu, aku pulang dan tak mau lagi bertemu dengannya. Tiap hari dia mencariku kerumah, hingga akhirnya dia telpon dan mengancam akan menceritakan hubungan kami dengan keluargaku. Aku yang tak ingin membuat keributan terpaksa menemuinya. Dia meminta maaf, memelukku dan berjanji tak akan pernah lagi mengulanginya. Itulah hari pertama aku dan rian melakukan hubungan badan. Tak kusangka rian betul betul bisa membuat aku terbang dengan cumbuannya. Diatas tempat tidur rian adalah teman bercinta yang asik, tak egois, ia lebih mengutamakan kepuasanku, ia betul betul tahu titik di tubuhku yang paling nikmat disentuh. Rian memperlakukan aku bagaikan seorang kekasih sejati yang memuja kekasihnya. Aku kira hari hari setelah itu akan lebih indah, ternyata aku salah.

aku dan rian tak berlama lama dirumah saudaranya, jam tiga rian mengajak pulang.
Aku dan rian berkeliling dengan mobil hingga sore.
Setelah mengantar rian kembali ke kost, aku pulang kerumah.
Aku mencari wenny dikamar mama, rupanya dia sedang tidur. Mama keluar dari kamar mandi. Rupanya mama habis mandi.
“tumben pulangnya cepet yo?”
tanya mama sambil melepaskan lilitan handuk yang menutupi rambutnya.
“iya ma, tadi temani rian kerumah saudaranya, tak lama habis itu pulang, mau jalan malas soalnya gerah!”
jelasku sambil menghampiri adik kesayanganku dan mencium keningnya pelan agar ia tak terbangun.
“ada liat faisal nggak?”
tanya mama.
“nggak ma, mungkin lagi bantu bantu dirumah amalia.”
“oh ya..mungkin..”
karena mama mau berpakaian, aku keluar dari kamar mama.
Malam ini dirumah amalia ada acara selamatan karena amalia sudah berhasil menyelesaikan kuliah dan menjadi sarjana. Kami sekeluarga diundang. Tadi mama sudah wanti wanti agar aku jangan sampai lupa datang.
Hubungan kak faisal dengan amalia memang cukup lama bertahan. Sudah enam tahun mereka berpacaran. Aku cukup salut dengan kak faisal. Dia bisa bertahan selama itu berpacaran dengan seorang gadis. Lucu kalau aku ingat dulu pernah terpikir menyukai kak faisal. Padahal setelah lama aku tinggal serumah, baru terasa hubungan kakak adik yang nyata. Aku bahkan sampai merinding membayangkan andai dulu kejadian aku sama kak faisal. Ternyata memang segala sesuatu itu tak boleh terburu buru, kadang apa yang kita pikirkan hari ini yang terbaik belum tentu yang terbaik di masa datang. Malah bisa menjadi yang terburuk yang justeru akan kita sesali, karena semakin bertambah usia, pikiran kita menjadi bertambah dewasa, segala sesuatu yang akan kita perbuat cenderung kita pikirkan. tak seperti waktu masih remaja, berbuat dulu baru berfikir.
Aku pergi ke kamar, kemudian mandi, setelah itu aku duduk diruang tamu. Baru saja aku duduk, tiba tiba handphone ku berbunyi. Suara sms masuk. Segera aku baca. Sms dari koko. Ia memberitahuku kalau om alvin dan isterinya sedang mengurus perceraian mereka. Aku balas sms itu, aku bilang sama koko kalau aku ikut prihatin. Meskipun hal itu sudah aku duga akan terjadi. Om alvin sering menghubungiku, terkadang ia curhat mengenai masalah keluarganya. Ia selalu menasehatiku agar jangan sekali kali menikah tanpa dilandasi rasa cinta. Itu akan menjadi penderitaan yang panjang. Ternyata sekarang semua terjadi. Om alvin tak berhasil mempertahankan pernikahan mereka. Ia sudah tak sanggup lagi mengarungi rumah tangga bersama tante sophie. Om alvin yang begitu kebapakan, selalu menasehatiku tentang kehidupan. Terkadang aku malah merasa om alvin lebih perhatian padaku ketimbang papa.
“assalamualaikum..”
kak faisal masuk kerumah.
“waalaikum salam..”
jawabku.
“tumben dirumah dek?”
tanya kak faisal.
“nggak juga kak, tadi udah jalan bareng rian.”
“oh ya dek, abang ingin tanyakan sesuatu sama adek..”
“mau tanya apa kak?”
tak biasanya kak faisal bersikap seperti ini. Biasanya ia langsung bicara saja tanpa bertanya.
“kita ke kamar kakak…!”
ujar kak faisal. Aku bangun mengikuti kak faisal ke kamarnya. Kak faisal menutup pintu kamar.
“ada apa kak?”
tanyaku ingin tau. Kak faisal terlihat gelisah. Ia sepertinya ragu apakah harus bicara atau tidak.
“ada apa kak, tadi katanya kakak mau ngomong..?”
ulangku.
“adek…”
“iya.. Kenapa?”
“bisa jaga rahasia nggak?”
kak faisal membuatku bingung.
“bisa kak.. Memangnya kenapa?”
aku memastikan.
“amalia dek..”
“kenapa amalia kak?”
desakku, karena kak faisal masih saja agak ragu. Apa yang ingin ia sampaikan. Ada apa dengan amalia.
“amalia hamil…”

“AMALIA HAMIL..???”
teriakku kaget. Kak faisal jadi panik langsung membekap mulutku.
“dek.. Pelan pelan dong, nanti mama dengar..”
mohon kak faisal, aku mengangguk, kak faisal melesakan tangannya dari mulutku.
“kok bisa kak?”
tanyaku tak percaya.
“itulah kenyataannya dek.. Kakak juga kaget.. Benar benar kaget, tapi semua sudah terjadi..”
kak faisal terdengar menyesal.
“kakak kukira amalia gadis baik baik..ternyata aku salah…”
ujarku belum bisa menutupi perasaan kaget mendengar berita ini. Kak faisal memang tak berpikir panjang, usianya baru 24 tahun, mungkinkah mama mengijinkan kak faisal menikah secepat itu? Lagipula ini terlalu mendadak, bisa bisa papa akan mengamuk gara gara ini. Aduh aku nggak bisa berpikir, kepalaku betul betul pusing, kak faisal selalu saja membuat masalah, apa tak pernah ia mau sekali saja memikirkan orang lain, bukan cuma egonya sendiri, sekali saja aku ingin kak faisal memakai otaknya.
Sudah banyak orangtuaku memberikan pengertian untuk kak faisal, mama pada awalnya menentang hubungan mereka, ternyata kak faisal memang tak pernah perduli akan itu semua. Aku kecewa sekali sama kak faisal.
“dek, kakak harus bagaimana?”
desak kak faisal panik.
“entahlah kak, aku bingung.. Ini betul betul gila.. Sudah berapa bulan kak?”
tanyaku gelisah.
“sebulan setengah dek.. Kakak bingung, tak bisa terlalu lama menutupi masalah ini, lama lama kandungan amalia akan membesar, dan orang akan segera menyadarinya..”
desis kak faisal takut.
“kakak sendiri bagaimana, keputusan kakak apa?”
tanyaku ingin tau.
“itu yang bikin kakak bingung, bagaimanapun juga kakak belum siap kalau harus kawin dek..”
keluh kak faisal.
“tapi kakak harus bertanggung jawab! Tak boleh lari begitu saja, perbuatan kakak sama amalia akan mencoreng muka keluarga kita kak!”
ujarku dengan nada tinggi.
“dek jangan bikin kakak tambah bingung..”
ratap kak faisal ketakutan. Aku berbalik tak perduli, aku betul betul kecewa sama kak faisal, kalau memang ia mau melakukannya kenapa tak mencari cara yang aman, menggunakan kontrasepsi atau apapun yang bisa dipakai mencegah kehamilan. Kalau sekarang semua sudah terlambat, tak akan bisa ditutupi lagi.
“dek tolong jangan pergi dulu, kakak butuh teman bicara..!”
kak faisal memohon tapi tak kuhiraukan. Aku memang sangat kecewa. Kak faisal tolol, bodoh tak punya otak.
Aku membanting pintu kamar kak faisal lalu pergi dengan marah.
“loh kenapa ini, kok pintunya dibanting gitu?”
tanya mama heran.
“nggak kenapa napa ma..”
aku berlalu begitu saja meninggalkan mama.
“rio mau kemana… Udah magrib..!”
teriak mama. Aku tak perduli terus berjalan menuju garasi, aku masuk ke dalam mobil dan segera menyalakan mesin.
“riooo….! Mau kemana… Nanti malam kita ada acara dirumah amalia..!”
teriak mama menyusulku.
Aku membuka kaca mobil.
“mama pergi aja.. Aku nggak ikut, ada kerjaan..”
teriakku dari dalam mobil lalu tancap gas. Tak perduli lagi mama mau marah itu urusan nanti.
Aku bingung mau kemana, berputar putar ditengah kota ini makin menambah kepalaku pusing. Akhirnya aku ke matahari berjalan dari konter ke konter tanpa tujuan. Aku bingung mau beli apa. Akhirnya aku pergi ke konter celana jeans, aku membeli beberapa macam celana. Kalau lagi ada masalah aku lebih suka berbelanja. Terdengar mirip perempuan, yah aku tak perduli yang penting aku tak merugikan orang lain. Aku ingin menenangkan diri sebelum ledakan besar dirumah terjadi.
Setelah membayar semua barang yang aku beli, aku keluar dari mall, kumasukkan belanjaan dalam bagasi, kemudian aku mengemudi mobil menuju kerumah koko.
Untung saja koko nggak kemana mana.
“dari mana yo, tumben jam segini udah muncul..?”
tanya koko.
“dari jalan jalan ko..”
“ayo masuk yo, kebetulan dirumah lagi nggak ada siapa siapa.. Oh ya yo besok om alvin mau kesini, urusan perceraiannya sudah beres..”
koko menjelaskan sambil mengajakku duduk dikursi ruang tamu.
“syukurlah kalau memang sudah selesai, tapi aku kasihan juga perkawinan mereka jadi kandas seperti itu..”
ujarku prihatin.
“mama justeru senang om alvin akhirnya sadar, kalau nggak cerai om akan menderita terus..”
kata koko.
“oh ya ko kamu nggak jalan sama rini?”
“kan semalam udah, nggak enak pacaran ketemuan terus yo, cepet bosan..”
ujar koko sambil berdiri.
“loh mau kemana?”
tanyaku.
“bikinin minum dulu, tunggu sebentar, atau mau nyantai dikamar langsung aja kesitu..”
jawab koko sambil meninggalkanku.
Aku beranjak ke kamar koko. Baru saja aku rebah ke tempat tidur, handphoneku berbunyi. Nama rian berkedip di layar monokrom. Aku angkat.
“ya sayang ada apa?”
tanyaku.
“sayang lagi dimana, aku mau ngajak kamu jalan jalan, bete di kost terus, aku kangen.. Jemput aku dong.”
kata rian memelas. Ya ampun baru aku mau bersantai, kenapa sih nggak dari tadi bilang mau ngajak jalan.
“iya yan, tunggu ya.. Sekitar jam delapan aku jemput, kamu siap siap dulu.”
“oke, jangan telat lagi ya!”
rian memperingatkan.
“iya yan..”
aku menutup pembicaraan. Mengantong hp kemudian beranjak dari tempat tidur.
Baru jam tujuh masih ada waktu satu jam lagi, lumayan masih bisa bersantai dulu. Koko masuk membawa dua cangkir kopi dengan krimer.
“minum yo”
tawar koko.
“makasih ko, kayaknya aku nggak bisa lama, soalnya ada janji sama rian.”
kataku sambil mengambil secangkir kopi lalu meminumnya sedikit.
“kenapa sih rian kalau sama aku kayaknya nggak suka?”
tanya koko.
“nggak kok ko, itu cuma perasaan kamu aja..”
aku berusaha menutupi, sebetulnya rian memang tak suka sama koko karena terlalu akrab denganku, rian cemburu katanya koko ada mau padaku.

Aku tak perduli apa yang rian pikirkan tentang aku dan koko karena memang tak ada apa apa, percuma saja aku menjelaskan kalau rian tak mau dengar, cuma kalau aku lagi sama koko, aku berusaha menjaga jangan sampai rian tau.
Tepat Jam delapan aku pamit pada koko, aku mau menjemput rian, malam ini aku mau tidur di kost rian saja.
Sampai di kost, rian sudah menunggu. Tanpa berlama lama ia langsung mengunci pintu lalu naik ke mobil.
“kamu udah makan?”
tanyaku pada rian.
“belum, mau makan sama kamu.”
jawab rian.
“kalau lapar nggak perlu nunggu aku, makan aja dulu yan, nanti kamu sakit.”
nasehatku.
“aku nggak bisa yo, kalau aku belum memastikan kamu udah makan, aku nggak bisa makan.”
ujar rian.
“iya yan, makasih kamu selalu memikirkan aku..”
“aku pasti memikirkan kamu, nggak tau kamu gimana, kalau nggak aku telpon, kamu jarang telpon duluan..”
ujar rian. Aku tak tahu harus menanggapi apa, ada benarnya juga yang ia katakan. Bukan apa apa soalnya aku sering merasa tak nyaman dengannya. Ia sering curiga dan menuduh tak jelas. Sebesar apapun cintaku padanya hampir tertutupi oleh perasaan kuatir. Siapa yang betah kalau selalu dicemburui, dicurigai seperti aku tak pernah benar.
“sayang, malam ini aku tidur sama kamu ya!”
kataku pada rian.
“boleh, udah lama kita nggak sayang sayangan..”
balas rian semangat.
“aku capek yan..”
keluhku.
“oke, ntar aku pijat, emangnya habis ngapain sih kok capek, aku heran sama kamu yo, masa nggak pengen sih, atau memang kamu sudah terpuaskan oleh yang lain?”
lagi lagi rian bertanya hal yang tak aku sukai.
“nggak yan, please deh.. Jangan suka ngomong kayak gitu, aku nggak suka.”
ujarku sebal.
“habis kamu aneh, masa nggak kangen mesra mesraan sama pacar sendiri, yo kamu itu tulus nggak sih mencintaiku?”
tanya rian sambil mengganti lagu di tape mobil.
“kenapa harus bertanya lagi, aku tulus yan, betul betul tulus..”
jawabku jujur.
“kalau gitu aku mau mesra mesraan malam ini.”
paksa rian. Aku tak menjawab, terserah rian, itu memang hak dia, aku adalah pacarnya jadi aku tak bisa menolak.
Kami telah sampai di restoran. Aku memesan makanan kesukaan rian, ia makan dengan lahap, bahkan sesekali ia menyuapiku, aku berusaha menolak karena malu, ini tempat umum tapi rian cuek. Beberapa pasang mata melihat kami, aku canggung namun rian tak perduli.
“yan, nggak enak dilihat orang.”
aku berbisik.
“orang gak kasih kita makan, perduli setan dengan orang orang, emangnya mereka pikir mereka siapa?”
balas rian tak perduli.
Selesai makan aku merokok. Rian meminta satu batang. Tak biasanya rian begitu, apakah ia belum menerima kiriman dari orangtuanya di bangka. Mau menanyakannya aku takut rian tersinggung, aku pernah mencoba kasih ia uang dulu namun ia nggak mau terima, katanya ia mencintaiku bukan karena uangku, tapi karena memang mencintaiku. Aku percaya kalau masalah itu, soalnya waktu ia menyatakan suka dulu, keadaanku belum seperti ini, aku masih tinggal bersama emak yang sederhana.
Aku menghabiskan rokok lalu mengajak rian pulang.
“masuk yo..”
ajak rian sambil membuka pintu.
“makasih yan.. Gila penat banget rasanya.”
aku langsung merebahkan diri diatas kasur. Rian sangat pembersih, walaupun tak begitu besar kost ini, namun ia tata dengan rapi. Segala barang barang tersusun pada tempatnya. Tak ada kesan berantakan sedikitpun. Rian memang menyukai kebersihan dan kerapian. Aku baru tahu kalau dia rajin merawat kulit dan wajah, dulu waktu aku mengenalnya aku kagum dengan mulusnya dia, ternyata semua itu karena perawatan.
Rian baring disampingku.
“aku pijat ya, mau nggak?”
tanya rian.
“boleh kalau kamu nggak capek..”
“untuk kamu nggak ada istilah capek yo, apapun aku lakukan..”
rian beranjak mengambil body lotion. Ia membuka bajuku lalu mengoleskan lotion merata disekujur punggungku. Tangannya bergerak searah melakukan pijatan yang konstan, melemaskan otot dan urat uratku yang kaku. Nyaman sekali rasanya. Aku betul betul rileks sekarang. Lama juga rian mengurutku.
“kamu udah capek yan?”
tanyaku.
“belum yo, santai aja, aku suka kok melakukan ini, kamu nggak usah kuatir, kalo capek juga aku bisa berhenti ntar..”
jawab rian sementara tangannya meremas bahuku.
Aku terpejam karena nyaman. Sambil memijat, rian mengajakku ngobrol, banyak yang kami bahas, dia bahkan bercerita tentang papanya yang sekarang sakit keras, dirawat dirumah sakit di bangka. Sebetulnya ia mau pulang, tapi belum memungkinkan karena masih banyak tugas kuliah yang harus di kerjakan. Aku prihatin mendengar ceritanya. Pantas saja rian tak punya rokok, pasti persedian uangnya lagi tipis jadi ia harus berhemat.
“yan, kamu kalau butuh sesuatu jangan segan segan ngomong, kamu tau sendiri kan, kita itu bukan orang asing, jadi apapun yang menjadi masalahmu, itu menjadi masalahku juga..”
aku mencari kata yang tepat agar rian tak merasa tersinggung.
“iya yo makasih, aku tau kamu baik, aku nggak apa apa kok yo, tenang aja, semua masih normal aja, cuma aku sedikit kuatir mengenai papa, jantungnya mengalami pembengkakan, beliau harus di opname, kasihan mama pasti kebingungan.”
curhat rian sambil terus memijat aku.
Aku berbalik, kemudian duduk menghadap rian.
“yan, kamu betul betul menganggap aku pacar kamu kan?”
aku bertanya walaupun sudah tau jawabannya.
“kenapa kamu menanyakan itu?”
rian heran.
“kalau aku kekasih kamu, aku ingin kamu membuang ego kamu, aku tau kamu sedang ada masalah keuangan, izinkan aku untuk menunjukkan keperdulian pada orang yang aku cintai..”
aku berusaha membujuk agar rian mau menerima bantuan dariku.

rian terdiam seperti sedang berpikir. Wajahnya berubah sendu, jarang aku melihat ia seperti ini, pastilah beban yang sedang ia tanggung sekarang begitu berat.
“yo.. Terimakasih untuk tawaranmu, aku akui memang aku lagi kesulitan, keuanganku saat ini betul betul parah, sudah satu bulan lebih aku tak menerima kiriman dari mama, begitu banyak kebutuhan, adikku yang bungsu baru mau masuk kuliah butuh banyak dana, belum lagi perawatan papa, itu butuh banyak dana, aku ingin mencari pekerjaan disini…”
jawab rian sedih.
“terserah kamu yan, kalau memang ada pekerjaan silahkan kamu kerja, tapi itu belum pasti kan, kalau kamu diterima ya sukur, tapi walaupun kamu kerja, pastilah gajinya baru dibayar setelah satu bulan, nah selama menunggu itu, kamu mau makan apa?”
tanyaku simpati.
“tenang aja yo, tuhan menciptakan manusia dilengkapi dengan otot dan otak, mengandalkan keduanya mustahil kelaparan.”
jawab rian diplomatis.
“iya sih yan.. Tapi izinkan aku membantumu walaupun tak seberapa, aku ingin meringankan beban kamu, andai kamu tak terima, anggap saja ini pinjaman. Kalau kamu sudah ada uang baru kamu bayar, gimana?”
aku berusaha membujuk rian.
Ia diam lagi, kemudian mengangguk.
“aku pinjam yo.. Makasih ya..”
berat sekali kelihatannya rian menjawab.
Aku mengangguk tersenyum padanya.
“tenang aja sayang, nggak usah dibesar besarkan, aku ikhlas kok, aku justeru sedih kalau kamu nggak mau memakai uangku seolah kamu anti kepadaku.”
“iya yo.. Aku tau..”
“besok aku ke atm ngambil uang..”
ujarku.
“iya yo, nggak apa apa..”
rian berhenti mengurutku. Kemudian aku berbaring, rian ikut berbaring disampingku.
Rian menyenderkan pipinya di dadaku. Tangannya menggenggam tanganku.
“rio, andai kamu bisa membaca pikiranku, membuka isi hatiku, kamu akan mengerti berapa besar rasa cintaku padamu..”
desah rian menarik nafas panjang. Aku tersenyum, membelai pipi rian, menelusuri setiap lekuk wajahnya. Bibirnya, hidungnya yang mancung, alisnya yang tumbuh begitu tebal dan rapi, matanya tajam dengan bola mata yang bening dan teduh. Aku senang kalau rian lagi tenang seperti ini, seperti kembali rian yang aku kenal dulu. Walaupun sekarang kami telah sama sama dewasa. Yang berubah pada rian hanyalah rambutnya yang sekarang di potong ala ferry salim, model tintin.. Memang model ini lagi trendy. Tubuh rian lebih terbentuk dan tegap. Jambang yang tumbuh diantara kuping dan pipinya itu ikal tebal hingga perbatasan tulang rahang. Sebetulnya aku beruntung dicintai rian, begitu banyak cewek kampus yang naksir sama dia, tapi ia tak mengacuhkan sama sekali. Ia bersikap cuek, itu malah membuat sebagian besar yang tergila gila pada rian menjadi penasaran. Tapi rian tetap setia padaku. Ia tak mau berpacaran dengan yang lain, walaupun aku tak melarang ia punya pacar cewek. Bagi rian kesetiaan adalah nomor satu, pantang baginya untuk melanggar, dan diapun berharap aku bisa sepertinya. Menjaga kepercayaan yang ia berikan. Tak pernah menduakannya. Apalagi selingkuh.
Aku tak keberatan untuk setia, aku bisa melakukannya. Tapi terkadang rian suka cemburu buta, kalau ia melihat aku jalan sama seseorang terlalu akrab, ia bakalan marah besar, mengamuk bahkan tak segan memukulku. Bukan hanya aku yang ia pukul. Ia akan mencari gara gara untuk melampiaskan marahnya pada orang yang membuat ia cemburu. Makanya aku selalu berhati hati agar temanku jangan sampai terkena pukulan rian.
“rio kamu sudah tidur?”
bisik rian pelan tepat di kupingku.
Aku menggeleng sambil terpejam. Rian mencium bibirku lembut setelah itu ia tidur berbantalkan lenganku.
Subuh aku terbangun, jam di dinding menunjukkan setengah empat. Rian masih terlelap. Aku merubah posisi karena tanganku mulai pegal di tindih kepala rian. Aku menarik bantal, mengganti posisi tanganku dengan bantal. Rian mengeliat sebentar lalu tertidur lagi. Aku pandangi wajahnya lama lama. Aku betul betul mencintai rian lebih dari siapapun. Aku tak ingin kehilangannya. Aku yakin nantinya rian akan menyadari perasaanku ini, ia mau merubah sikapnya yang terkadang susah aku tebak. Aku ingin rian selalu seperti ini.

“yo bangun, sarapan dulu..”
rian membangunkanku, ia mengoyang bahuku pelan. Aku mengeliat malas dan membuka mata, sinar matahari yang menerobos lewat jendela menyilaukan hingga aku menyipit karena mataku terasa pedih.
“jam berapa sayang?”
tanyaku pada rian yang sedang duduk disampingku sambil ku duduk menyibakkan selimut.
“jam delapan yank… Cuci muka dulu sana, habis itu sarapan, aku udah belikan bubur ayam..”
rian merapikan selimut dan melipatnya.
Aku beranjak ke kamar mandi mencuci muka. Keluar dari kamar mandi aku lihat rian sedang merapikan kasur, ia menepuk bantal dan menyusunnya bertumpuk disisi atas.
“sarapan yuk.. Kamu pasti udah lapar..”
rian duduk dilantai yang dialasi karpet plastik. Ia membuka karet bungkusan bubur ayam lalu menuang ke mangkuk. Aku duduk disampingnya.
“wah.. Enak banget aroma buburnya yank, beli dimana?”
“beli sama bapak tulang bubur yang tiap pagi lewat depan rumah, ayo dimakan nanti keburu dingin.”
ujar rian memberikan mangkok itu padaku.
“makasih sayang..”
aku tersenyum pada rian dan mengambil mangkok berisi bubur ayam hangat dan kerupuk.
“kamu tidur nyenyak banget yank, emangnya mimpi apa tadi?”
tanya rian sambil menyendokkan bubur lalu memakannya.
“mimpi apa ya?.. Kayaknya aku mimpi tentang kamu deh yank, kita berdua keliling candi borobudur, rasanya bagai nyata..”
aku mengingat ingat mimpiku semalam.
“kapan ya kita bisa ke jogja sama sama.. Pengen liburan sama kamu, pasti menyenangkan sekali, sekalian berbulan madu..”
ujar rian tersenyum. Kemudian ia mengulurkan sendok berisi bubur ke mulutku. Aku bergeser mendekat lalu memakannya.
“kamu maunya kapan, aku bisa ngajak kamu ke manapun yang kamu suka..”
aku menyendokkan bubur lalu menyuapi rian.
“yo kamu tau nggak, saat saat seperti ini yang paling buat aku bahagia, andaikan aku bisa menikahi kamu yo, kapan ya itu bisa terjadi?”
tanya rian sambil terpekur. Aku mengangkat gelas berisi air putih lalu menyorongkan ke mulut rian. Ia meminumnya sedikit. Kemudian mendorongnya pelan, aku menarik gelas itu dan meminum isinya hingga tertinggal setengah.
“sabar rian, kita jalani hubungan kita ini dengan optimis, kalau kita yakin dan tetap setia, walaupun tanpa ikatan pernikahan, pasti akan bertahan lama.”
jawabku sambil menyuapi rian lagi.
“iya yo, tapi aku takut kamu berpaling, kamu kan banyak penggemar..”
imbuh rian sambil menelan bubur.
“saling percaya itu yang paling penting sayang.. Aku tak terniat sedikitpun untuk menduakan kamu, bagiku cintamu sudah melebihi apapun..”
kata kataku terputus karena rian menempelkan sendok berisi bubur ke bibirku.
“aku harap begitu, kalau sampai ada yang berani mengganggumu atau kamu selingkuh, aku tak akan pernah memaafkan, nyawapun aku pertaruhkan..”
tikam rian tajam. Aku minum lagi karena kerongkonganku rasanya tercekat.
“jangan ngomong begitu yan, aku takut..”
“kalau kamu setia tak perlu takut.. Kalau kamu takut artinya di otak kamu ada terpikir untuk selingkuh.”
ujar rian menatapku tajam.
“sudahlah yan, berhentilah bersikap seolah olah aku ini tukang selingkuh..”
“soalnya kamu sudah pernah selingkuh..”
ungkit rian.
“itu kan dulu, sekarang nggak lagi, kan udah ada kamu..”
aku mencium bibir rian agar ia diam.
“kalau merayu paling pintar.. Dasar…!”
rian memencet hidungku dengan gemas. Aku tertawa kecil.
“mandi sana! Bau tau…!”
rian ikut tertawa.
“oke aku mandi dulu, mau ikut nggak?”
candaku sambil berdiri dan ke kamar mandi.
“dengan senang hati!”
rian tertawa dan menyusulku masuk ke kamar mandi. Aku dan rian mandi bersama sama, saling menyabuni tubuh, rian menggosok sekujur tubuhku dengan spons berbusa. Kami mandi telanjang saling menyirami dan berpelukan. Ia menggelitik pinggangku, aku mengusap wajahnya dengan busa sabun. Kami bercinta dalam kamar mandi.

seharian aku bermalas malasan di kost rian, bercanda dan ngobrol hingga menjelang sore, setelah itu aku pulang.
Baru saja aku sampai dirumah, kak faisal langsung menghampiriku, seperti orang stress wajahnya.
“dek, tolong kakak mau bicara, masalah ini hanya adek yang tau, kakak bingung harus ngapain..!”
kak faisal menarik tanganku dan menyeretku ke kamarnya.
“itu urusan kakak, aku tak mau ikut campur, nikahi amalia kalau kakak memang lelaki..”
jawabku malas, aku tak mau memikirkan masalah ini, kak faisal tak boleh pengecut seperti itu. Kalau sudah ada masalah baru menyesal.
“adek ini gimana sih, nggak perduli sama kakak sedikitpun..”
kak faisal cemberut.
“lalu kakak mau aku ngapain?”
tantangku.
“dek, tau nggak dimana dukun beranak yang bisa gugurin kandungan?”
tanya kak faisal murung.
“dukun beranak? Nggak tau.. Aku belum pernah beranak!”
ujarku sewot.
“adek, kakak serius, tolong dek, pikiranku kacau, nggak tau harus gimana… Benar benar buntu..!”
ratap kak faisal. Aku menghenyakkan pantat diatas tempat tidur. Bete sekali rasanya melihat kak faisal, bukannya bertanggung jawab, malah mau cuci tangan dari masalah, mau untungnya sendiri, amalia juga sebagai perempuan tak bisa menjaga diri, setelah kejadian begini baru dia sadar bagaimanapun juga ia tetaplah seorang korban. Tak akan bisa ngapa ngapain, mama kalau tau masalah ini aku yakin akan berang, kebaikan mama selama ini telah mereka nodai dengan mengecewakan mama, kak faisal masih kuliah, andai ia mau menikah aku sangsi mama akan mengizinkan, paling juga reaksi mama tak beda jauh dengan kak faisal, aku yakin mama akan menyuruh kak faisal mengajak amalia menggugurkan kandungan setelah itu mama akan melarang hubungan mereka. Aku kenal sekali dengan mama. Dan kak faisal tak mungkin tak mengetahui itu. Makanya ia panik.

“kakak mau cari nanas muda, kata rizal ia pernah kasih ke ceweknya waktu hamil dan berhasil..”
ujar kak faisal mantap.
“kalau nggak berhasil gimana kak?”
aku tak yakin.
“coba cara lain, pokoknya adek jaga agar jangan sampai keceplosan ngomong sama siapapun, kakak lagi berusaha tak membiarkan semua menjadi parah..”
“terserah kakak kalau memang itu sudah menjadi keputusan kakak.
Timpalku datar, aku hanya bisa berharap semua berjalan lancar, kalau memang harus begitu. Semoga lain kali kak faisal mau memakai otaknya.
Pintu kamar diketuk terdengar suara bik tin.
“bang faisal, ada amalia..”
seru bik tin.
Kak faisal langsung pucat.
“aduh dek. Gimana ini.. Kenapa sih amalia harus kesini..”
kak faisal panik. Aku berusaha menenangkan kak faisal.
“kak, temui aja, kakak nggak boleh menghindar, ia kan pacar kakak, kenapa kakak harus takut, aku yakin amalia tak akan gembar gembor, dia juga pasti sedang panik sama kayak kakak.”
“tapi dek, kakak belum siap, dari kemarin ia bikin kakak gerah, ia selalu saja menuntut kakak untuk bertanggung jawab. Kakak pusing..”
keluh kak faisal, sementara itu bik tin masih terus mengetuk pintu kamar.
“iya bik.. Tunggu sebentar..!”
teriak kak faisal.
“keluarlah sekarang kak, temui amalia, bicarakan baik baik, katakan apa yang kakak inginkan. Aku yakin kalau memang amalia mencintai kakak, ia akan mengerti..”
hiburku.
“iya dek..”
kak faisal membuka pintu dengan gontai berjalan keluar dari kamar menemui amalia. Aku mengikuti kak faisal menyusulnya.
Amalia sedang duduk diruang tamu, kelihatannya ia begitu gelisah. Ia memainkan kuku jari tangannya. Wajah amalia tak ceria seperti biasanya.
“ada apa mel?”
tanya kak faisal sambil menghampiri amalia lalu duduk disamping amalia.
“aku mau bicara sal..”
amalia menatap kak faisal, kentara sekali ia menahan tangis.
“lebih baik kita bicara diluar, ayo mel..”
ajak kak faisal. Amalia berdiri. Baru saja mereka mau keluar dari ruang tamu, mama masuk, rupanya mama sudah pulang dari kerja.
“eh ada amalia, sudah lama ya?”
tanya mama tersenyum.
“barusan tante..”
jawab amalia.
“kalian mau kemana?”
“mau jalan jalan ma..”
kak faisal yang menjawab.
“kok buru buru, memangnya mau jalan kemana?”
mama heran.
“mau kerumah dosen amalia ma”
kak faisal berbohong.
“oh begitu.. Hati hati dijalan”
mama mengangguk.
“kami jalan dulu tante..”
amalia pamit.

udah seminggu lebih kak faisal tak pulang kerumah, entah dimana dia, di telpon hp nya tak aktif, kalau saja kak faisal sedang tak ada masalah mungkin aku tak akan sekuatir ini, yang aku takutkan kak faisal tak berpikir panjang malah lari. Aku tak sanggup membayangkan kalau kak faisal sampai lari lagi dari rumah. Dan kedua duanya karena masalah amalia. Dulu dia lari karena mama tak menyetujui hubungan mereka, sekarang ia lari karena amalia hamil.
Apakah kak faisal lari bersama amalia, kalau memang begitu kok keluarganya tak ada ribut ribut, paling tidak ibunya mencari amalia kesini.
Aku tak bisa menunggu aku harus cari tau.
.
“apa…! Faisal sudah seminggu lebih tak pulang?”
jerit amalia panik. Saat aku berada dirumahnya menanyakan tentang kak faisal.
“iya mel, aku kira kamu tau kemana kak faisal pergi..”
“demi allah rio, aku benar benar tak tau.. Aduh gimana ini.. Jangan jangan…”
amalia hampir menangis.
“jangan jangan.. Apa mel?”
tanyaku bingung.
“jangan jangan ia mau lari dari tanggung jawab..”
amalia langsung menutup mulutnya dengan refleks seolah menyesal telah keceplosan.
“sudah lah mel, aku udah tau semua.. Kak faisal udah cerita.”
ujarku ketus.
“kamu.. Sudah.. Tau?”
amalia terbelalak.
“iya.. Kak faisal sudah mengatakan semuanya.. Aku kecewa sama kamu mel..”
kataku sinis.
“maaf yo, aku tak mampu menolak keinginan faisal, dia yang memaksa aku melakukannya.. Dia bilang kalau terjadi apa apa dia mau menikahiku dan bertanggung jawab..”
desis amalia lirih.
“kak faisal bilang apa sama kamu waktu tau kamu hamil?”
“ia katakan mau menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan sama mama kamu..”
ujar amalia terisak.
“dia tak akan bilang sama mama mel, dia bilang sama aku dia mau gugurkan kandunganmu..”
aku katakan apa adanya. Amalia ternganga memandangku.
“apaaa… Faisal bilang gitu…?”
amalia seolah tak percaya.
“iya.. Kak faisal bilang dia sudah berunding sama kamu tentang masalah untuk menggugur kan kandunganmu itu..”
“tidak yo, aku bersumpah faisal tak sedikitpun pernah menyinggung tentang itu.. Kemarin waktu terakhir aku bertemu dia, ia mengajak aku bicara, kami membahas akan kawin lari andaikan keluargamu menentang pernikahan kami.. Itu yang faisal katakan..”
penjelasan amalia membuat kepalaku semakin sakit, keterangan amalia dan kak faisal berbeda jauh. Aku jadi bingung harus percaya yang mana. Masa kak faisal berbohong padaku. Kenapa dia lakukan itu? Kalau memang dia mau menikah dengan amalia, aku akan berusaha bicara baik baik sama mama. Andai mama tak setuju, aku akan memberikan pengertian pada mama kalau anak kandung mama adalah aku, dan itu yang paling penting. Kak faisal bisa menikah dengan siapa saja itu tak ada pengaruhnya karena faisal tak ada hubungan darah dengan mama. Jadi anaknya kak faisal bukan cucu kandung mama. Mungkin kalau aku menjelaskan begitu mama bisa terima walaupun tak sepenuhnya.
“yo tolong kamu cari faisal, aku tak sanggup kalau sampai dia lari dari tanggung jawab..!”
desak amalia makin panik.
“aku usahakan mel, kalaupun kak faisal tak ditemukan, kamu terpaksa menggugurkan saja kandunganmu itu mumpung belum terlambat.. Dan satu pesanku. Jadilah perempuan yang punya harga diri!”
aku berlalu meninggalkan amalia yang masih bengong karena kata kataku tadi.
Sampai dirumah pikiranku rasanya betul betul kalut. Hanya rian yang bisa aku andalkan untuk bercerita. Mungkin dia bisa mencarikan jalan keluar yang terbaik untuk membantu kak faisal.
Tapi reaksi rian betul betul membuat aku kaget.
“salah mereka sendiri yo, buat apa kamu harus ikutan pusing, mereka kan sudah besar, sudah lebih dewasa dari kamu, ya harusnya mereka yang menanggungnya. Sudahlah yo untuk apa mengurusi orang lain..”
ujar rian tak perduli.
“faisal itu kakakku yan, bagaimanapun juga aku tak bisa tak memikirkan masalah ini, semua menyangkut keluargaku. Aku tak bisa tenang tenang saja..”
“iya aku tau, tapi apa yang bisa kamu lakukan?”
cecar rian ingin tau.
“entahlah aku bingung..”
“kakakmu itu reputasinya cukup buruk yo, kamu aja yang nggak tau..”
“maksudmu?”
aku menatap rian tersinggung.
“siapa tak tau sama faisal, playboy yo. Banyak pacar…”
timpal rian.
“kamu kok menuduh begitu?”
aku tak terima.
“aku kenal beberapa lonte yang akan membuka matamu siapa kakakmu itu..”
ucap rian membuat ku kaget.

aku jadi bingung, darimana rian tau, rian kenal dengan lonte darimana? Selama ini ia tak pernah bilang.
“jangan curiga dulu sayang, aku memang mengenal beberapa teman kampus yang nyambi jualan diri, dan beberapa diantaranya pernah sama kak faisal. Beberapa teman tau kok, cuma aku nggak enak kasih tau kamu…”
rian tak enak hati dengan tatapanku.
“ya udah aku nggak mau tau itu.. Yang penting sekarang kak faisal ada dimana, kamu mau bantu aku nyari nggak?”
ujarku tak sabar.
“oke oke.. Kita cari faisal sekarang!”
rian meraih jaket digantungan.
.
Sudah berjam jam aku dan rian berkeliling kerumah teman temannya serta ke tempat yang memungkinkan untuk kak faisal sembunyi tapi nihil. Akhirnya kami pulang tanpa ada hasil.
“heran kemana ya faisal kok udah seminggu lebih nggak pulang?”
gerutu mama sambil menyuapi wenny.
“iya ma, nggak tau kemana ya kak faisal, udah dicariin kemana mana tapi nggak ketemu, di telpon juga nggak aktif ma..”
“dirumah temannya udah kamu coba cari?”
mama menurunkan wenny, lalu mengambil gelas dan memberikan wenny minum.
“udah ma, tapi nggak ada yang tau…”
sesalku.
“aduh kemana lagi anak satu itu, sering sekali begini, apa nggak tau kalau orangtua kuatir..”
mama mengeluh.
“sudahlah ma, kak faisal kan sudah dewasa.. Dia bisa jaga diri.”
aku menghibur mama.
“ya.. Semoga dia tak kenapa napa, mama kuatir sekali, perasaan mama tak enak, semalam mama bermimpi buruk.”
“mimpi apa ma?”
“mama mimpi faisal masuk sebuah lubang dan dia minta tolong sama mama untuk membebaskannya. Mimpi itu terasa bagai nyata.. Mama jadi kepikiran sama faisal yo..”
suara mama terdengar agak ketakutan.
“ma sudahlah kak faisal tak kenapa kenapa kok, mungkin dia lagi ingin menenangkan pikiran saja makanya ia tak pulang, bisa jadi kan dia menginap diluar kota”
aku memberikan kemungkinan.
“semoga sayang..”
mama mencoba tenang.
Tak urung mendengar cerita mama tadi, aku menjadi kuatir, benarkah kak faisal tak apa apa, tapi kenapa tak ada kabar, semoga saja tak ada apa apa dengan kak faisal.
.
Setelah dua minggu kak faisal belum juga ada kabar, seisi rumah mulai panik, mama mencoba menghubungi siapa saja yang kenal dengan kak faisal, tante laras kembali datang, om sebastian dan isterinya tante sukma, dan juga beberapa kerabat kerabat papa dan mama. Ramai sekali suasana dirumah.
“emangnya sebelum kak faisal pergi, ia tak mengatakan mau kemana yo?”
tanya odie penasaran.
“nggak die, kak faisal nggak mengatakan apa apa, bahkan ia pergi pun waktu itu sama amalia…”
“yo, ini sudah beberapa kali ia seperti ini, apa ia ada masalah dirumah?”
selidik odie curiga.
Aku terdiam, aku bingung harus menjawab apa, memang kak faisal lagi ada masalah, masalah yang sangat besar sekali. Tapi aku sudah berjanji sama kak faisal, aku tak akan mengatakan apa apa.
“nggak die, nggak ada masalah apa apa.. Mungkin kak faisal lagi kemana dan nggak mau diganggu.”
aku terpaksa berbohong. Odie sepertinya percaya dengan penjelasanku.
Aku mengajak odie bergabung dengan para kerabat.
“bener kak mega nggak ada masalah?”
“nggak dek laras, nggak ada masalah apa apa… Malah sebelum dia pergi, malamnya kami masih sempat kerumah amalia untuk selamatan karena sudah menjadi sarjana.”
mama menjelaskan.
“kalau begitu kemana ya dia..?”
tante laras jadi bingung.
“apa kita harus menunggu kabar darinya atau langsung mencari saja?”
tanya tante sukma. Aku menghindari memandang tante sukma, soalnya aku merasa tak enak bila ingat suaminya dulu adalah mantan pacarku. Om sebastian berkali kali mencuri pandang padaku, tapi aku pura pura tak perduli.
“gini aja, aku akan bikin laporan di kantorku, nanti teman temanku akan membantu untuk mencari faisal..”
usul om sebastian.
Semua melihat ke om sebastian.
“itu lebih baik dek, tolong kamu usahakan cari faisal, jangan sampai berlarut larut masalah ini, aneh juga kalau ia tak bisa dihubungi selama ini.”
timpal papa.
“dan kita juga harus bantu mencari juga..”
imbuh tante laras.
“rio dan odie akan berkeliling kerumah teman temannya untuk mencari informasi siapa teman kak faisal yang ada diluar kota yang mungkin ia datangi.”
aku menambahkan.
“iya yo, ajak odie, kalian usahakan cari keterangan dari teman temannya..”
dukung tante laras.
“assalamualaikum…”
terdengar suara dari pintu ruang tamu.
Serempak semua melihat. Ternyata amalia dan ibunya. Amalia sedang menangis. Aku terkejut, jantungku tiba tiba berdebar keras. Apakah maksud kedatangan amalia dan ibunya, mengapa amalia menangis dan ibunya terlihat begitu marah dari raut wajahnya yang cemberut.

“ada apa amalia?”
mama berdiri menghampiri amalia dan ibunya.
“mana faisal!”
tanya ibunya amalia dengan marah.
“faisal belum pulang… Ada apa bu?”
tanya mama kebingungan dengan sikap ibunya amalia.
“tak usah bohong, katakan dimana anak nyonya itu,.. Anak kurang ajar!”
semprot ibu amalia dengan nada tinggi.
Mama terpana keheranan. Dengan deg degan aku hampiri mereka.
“kak faisal memang tak ada bu, udah dua minggu ini dia tak pulang..”
aku membantu mama menjelaskan.
“anak setan itu coba coba melarikan diri ya… Saya tak terima!”
ibu amalia semakin marah.
“loh kenapa ini, ada apa bu, ayo masuk dulu…”
papa yang juga terlihat bingung langsung menyuruh amalia dan ibunya masuk.
Walaupun terlihat berat, tapi ibunya amalia menarik amalia dengan kasar masuk ke dalam rumah.
“duduk dulu bu tenang dulu, katakan ada apa masalahnya?”
papa menyuruh amalia dan ibunya duduk.
“maaf pak harlan bukan bermaksud tak sopan, saya cuma ingin meminta faisal bertanggung jawab, jangan pengecut seperti ini….”
tuntut ibu amalia tak sabar.
“ini kenapa sih, datang datang langsung marah marah?”
timpal tante laras heran, ia langsung duduk disamping mama.
“ibu tenang dulu, ceritakan dulu duduk persoalan sebenarnya, kenapa ibu mengatakan anak saya macam macam, memangnya apa yang telah dia perbuat?”
wajah mama pucat pasi seolah takut mendengar jawaban yang akan keluar dari ibu amalia.
Tiba tiba ibunya dengan kasar menarik amalia dengan satu sentakkan hingga amalia berdiri dengan terpaksa.
“ngomong!.. Cepat katakan pada keluarga terhormat ini apa yang telah faisal lakukan!”
ujar ibu amalia dengan berapi api.
Amalia menangis terisak isak menangkup kedua tangannya menutupi wajah.
“ayo ngomong!.. Anak kurang ajar!”
maki ibunya tak sabar dan menghenyakkan tubuh amalia kasar.
Amalia semakin keras terisak, aku diam gemetar menunggu amalia mengakui perbuatan kak faisal yang bagaikan bom waktu yang akan mengejutkan seisi rumah ini. Diam diam aku berdoa.

“saya.. Saya hamil..”
akhirnya keluar juga pengakuan dari amalia. Sesaat hening tak ada suara. Mama ternganga tak percaya. Begitupun dengan papa, tante laras, om beno, om sebastian, tante sukma, odie, dan yang lain lain. Lututku semakin lemas. Hanya isakan amalia yang terdengar sengau mengisi jeda yang sebentar lagi pasti segera berakhir.
“amalia kamu hamil?”
desis mama seolah tak yakin.
“kamu hamil?”
timpal papa heran.
“apa kamu bilang?”
sela tante laras.
“kamu hamil?”
ekspresi papa sulit untuk aku gambarkan.
“amalia kamu hamil, kok bisa?”
ujar om sebastian.
Hanya tante sukma yang tak berkomentar, ia hanya terdiam menatap amalia mencari kebenaran yang tergambar dimata amalia atas pengakuannya yang baru saja ia lontarkan.
“kalian dengar kan.. Amalia hamil! Anakku hamil.. Dan itu gara gara si faisal setan itu!”
maki ibu amalia kesal.
“tunggu tunggu… Faisal menghamili amalia, itu tak mungkin!”
teriak mama tak terima.
“tak mungkin dari mana,.. Nyonya mau memungkiri kenyataannya.. Kalau anak nyonya tak menghamili anak saya emangnya anak saya maryam yang bisa hamil tanpa suami.. Kalian pikir dong!”
jerit ibu amalia berang. Mama memegang dadanya, wajah mama betul betul shock, sepertinya mama belum bisa mencerna semua ini.
“ibu kita bicarakan semua dengan tenang, apa ibu yakin amalia memang hamil?”
tanya papa berusaha menetralisir suasana.
“memangnya saya goblok pak harlan, walaupun kami orang miskin, saya tau orang yang hamil atau tidak!”
ibu amalia semakin marah, bukannya menjadi lunak.
Papa terduduk lemas begitu juga dengan mama. Wajah tante laras memerah entah karena marah atau terkejut aku tak bisa menafsirkannya. Tumben tante laras tak mengatakan apa apa.
“pokoknya saya meminta pertanggung jawaban dari anak kalian faisal!.. Dia tak bisa seenaknya menghamili anak orang lalu main lari begitu saja!”
tuntut ibu amalia, suaranya serak menahan tangisan. Amalia masih berdiri menutup wajahnya tak berani melihat siapapun. Mungkin dia malu sekali.
“amalia.. Benar kamu hamil dan faisal yang menghamili kamu?”
om sebastian bertanya lagi untuk meyakinkan. Amalia tak menjawab cuma mengangguk.
“jangan cuma menangis terus mel..!”
bentak ibunya tanpa disangka sangka langsung merenggut tangan amalia lalu menampar amalia dengan keras. Amalia sampai terhempas terduduk di kursi, rambutnya acak acakan menutupi wajahnya. Ia semakin sesungukan sambil memegang pipinya yang terasa panas.
“faisal. …. Anakku apa yang kamu lakukan nak… Teganya kamu sama mama…”
raung mama histeris, lalu tubuh mama limbung dan mama rebah, untung saja om sebastian sigap menangkap mama hingga mama tak menghantam lantai.
“mamaaaaaa,….!”
terdengar jeritan dari pintu. Serempak kami semua menoleh.
“kak faisal…?”
desisku tak percaya. Sementara kak faisal menghambur berlari menghampiri mama yang merosot dilantai berbaring diatas paha om sebastian.

“mama… Maafin fai ma..”
kak faisal bersimpuh di tubuh mama yang terbaring tak sadarkan diri. Aku tak tau harus ngomong apa, tiba tiba kak faisal ditarik oleh papa dengan kasar, belum sempat aku beranjak menghampiri kak faisal, satu tinju melayang ke muka kak faisal membuat kak faisal terbanting ke lantai dengan hidung bersimbah darah. Tante laras menjerit keras karena terkejut. Om sebastian berdiri dengan refleks menahan papa yang mau memukul kak faisal lagi.
“sabar bang.. Sabar..”
“lepaskan aku dek, anak ini harus dihajar!”
maki papa geram sambil berontak melepaskan diri dari om sebastian, namun sebagai brimob yang terlatih, tenaga om sebastian tak mampu papa tandingi. Tante laras berlutut disamping kak faisal yang sedang berusaha bangun.
“ya Allah faisal… Kenapa kamu bisa begini…”
tante laras membantu kak faisal bangun, sementara itu papa masih berusaha untuk melepaskan diri. Amalia dengan ibunya melihat kejadian itu dengan menutup mulutnya. Mata amalia terbelalak.
“anak tak tau malu..! Cuma bisa bikin susah saja…!”
papa memaki kak faisal. Om sebastian mempererat pegangannya agar papa tak kelepasan memukul kak faisal.
“dari mana saja kamu faisal..?”
tanya om beno yang sedari tadi diam.
“iya fai kamu darimana saja dua minggu kabur bikin kami semua kuatir?”
tante laras memeluk kak faisal penuh kasih sayang.
“maaf tante, faisal butuh menenangkan diri…”
jawab kak faisal tertunduk.
“jadi betul fai kamu sudah menghamili amalia?”
suara tante laras penuh kekecewaan.
Kak faisal terisak mendengar pertanyaan tante laras. Aku membaringkan mama diatas kursi jati panjang. Mama mengeliat sepertinya mulai mendapatkan kembali kesadarannya.
“ma… Mama.. Mama tak apa apa kan ma?”
aku mengusap pipi mama lembut. Bik tin datang membawa segelas air putih, pasti bik tin melihat semua kejadian tadi namun tak berani untuk mendekati karena ini urusan majikan yang ia tak mungkin ada hak untuk ikut.
“ma, diminum dulu ma..”
aku menempelkan mulut gelas ke bibir mama, lalu membantu mama mengangkat kepalanya sedikit agar mama bisa lebih mudah minum.
Papa masih mengamuk, baru saja om sebastian melepaskan papa, langsung papa menerjang kak faisal hingga kak faisal terjerembab. Tante laras berteriak. Mama mendorong gelas ditanganku kuat kuat hingga terjatuh dan pecah, mama bangun dan berteriak melengking mengejutkan semua yang ada diruangan ini.

papa yang baru mau meninju lagi kak faisal, menahan pukulannya yang nyaris bersarang diwajah kak faisal, dengan tangan teracung papa menoleh ke mama. Tante laras mengusap dada sambil menggelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang.
“ma kenapa ma…?”
aku memeluk mama agar mama tak turun, aku takut mama menginjak pecahan gelas.
“bik tin….!”
aku berteriak memanggil bik tin.
Tanpa menunggu lama bik tin datang.
“bersihkan pecahan gelas itu bik.. Jangan sampai terinjak orang orang disini..”
tanpa banyak kata bik tin membersihkan pecahan gelas itu.
“faisal anakku..”
ucap mama dengan mulut gemetaran. “Faisal anakku jangan pergi…”
isak mama pilu.
“ma, kak faisal sudah pulang ma.. Itu kak faisal, mama jangan kuatir lagi ma..”
aku menghibur mama. Tante sukma mendekat dan memeluk mama untuk menenangkan mama.
“kak mega, jangan kuatir, benar kata rio kak, itu faisal sudah pulang..”
tante sukma mengusap usap punggung mama.
“mama..”
kak faisal bersimpuh disisi mama. Airmatanya menggantung dipipi. Darah masih membekas diantara hidung dan kumis tipisnya.
“anakku.. Darimana saja kamu..”
mama bangun memeluk kak faisal.
“maafkan faisal ma.. Faisal mengaku bersalah, faisal memang anak yang tak berguna ma..”
isak kak faisal, bahunya terguncang guncang karena tangisan. Mama memeluk kak faisal erat. Kami semua diam melihat mama dan kak faisal. Tanpa terasa airmataku mengalir. Aku tau batin mama pasti begitu sakit, namun mama tak tau lagi harus bagaimana. Mama sangat menyayangi kak faisal. Kekecewaan mama dikalahkan oleh perasaan sayang. Amalia dan ibunya duduk. Wajah ibu amalia sudah melunak. Mungkin ia merasa ganjaran yang kak faisal dapatkan sudah sepadan.
“faisal, sekarang kita harus bicara tentang masalah kamu dengan amalia..”
tante sukma menepuk pundak kak faisal.
“iya tante…”
jawab kak faisal lemah.
Mama menutup hidungnya dengan saputangan menyusut hidungnya yang mampet karena tangisan tadi.
“bu rusmi, kami atas nama keluarga besar suharlan, meminta maaf atas kejadian yang tak kita sangka sangka ini…”
tante laras membuka pembicaraan. Aku diam menyimak moment ini.
“kami tau, sebagai orangtua, ibu kuatir…”
tante laras melanjutkan. Kemudian menoleh ke papa. Papa memberi isyarat agar tante laras melanjutkan. Semua diam menunggu kata kata tante laras selanjutnya. Amalia terpekur menatap lantai, tak berani menatap siapapun termasuk kak faisal. Mama menyusut hidungnya sesekali masih terisak. Om sebastian menggenggam tangan tante sukma, sementara tante sukma tak berkedip menatap tante laras.
“ini begitu mendadak dan sangat mengejutkan tak hanya bagi bang harlan dan anak isterinya, tapi juga kami selaku saudara kandung bang harlan… Jadi kami minta bu rusmi untuk memberikan keluarga kami waktu berpikir, bagaimanapun juga ini menyangkut masa depan faisal selaku keluarga kami..”
kata kata tante laras begitu lancar dan tenang. Ibu amalia melotot mendengarnya.
“ini juga masalah masa depan amalia anak saya.. Itu menjadi urusan saya juga.. Tak perlu menunggu bunting amalia besar baru kalian mau beri keputusan, anak saya bukan binatang kalau bunting tak masalah mau kawin atau tidak.. Pokoknya saya tak terima.. Secepatnya faisal harus menikahi amalia. Titik!”
tikam ibu amalia berang sambil berdiri dan menunjuk kak faisal.
“faisal… Dia masih muda.. Bagaimana nasibnya kalau menikah cepat..”
mama menangis tersedu.
“bagaimana kalau amalia di kuret saja, mumpung kehamilannya masih dini?”
usul papa tak terduga.

“apa… Maksud pak harlan kandungan amalia digugurkan?”
pekik ibu amalia terkejut.
“saya rasa itu adalah jalan tengah yang terbaik untuk kedua belah pihak…”
tuntas papa tenang.
“tidak bisa… Saya tak akan pernah memberi ijin untuk itu.. Tidak pokoknya tak akan pernah..!”
ibu amalia berdiri histeris, om sebastian tercengang memandang papa seolah tak menyangka papa akan berkata demikian.
“bu rusmi, bukannya kami tak mau bertanggung jawab, tapi mengingat anak saya masih kuliah dan umurnya juga masih muda, kami rasa ia belum siap untuk membina rumah tangga..”
tegas papa.
“kalian seenaknya saja memutuskan begitu, kalian tak memikirkan perasaan kami, tak ada dalam sejarah kami membunuh, apalagi jiwa yang polos tak bersalah… Pokoknya saya tak akan mengijinkan..!”
ibu amalia bersikeras. Aku merenung, aku tak setuju jika harus mengambil keputusan seperti itu, kak faisal yang telah berbuat seharusnya bertanggung jawab.
Semua termenung, wajah tante laras berkerut seolah berpikir keras, om sebastian menggeleng gelengkan kepalanya. Mama terdiam seperti orang melamun.
“bang harlan, apa tak terlalu cepat mengambil keputusan itu bang?”
tante laras meyakinkan papa.
“dek, sebetulnya abang juga berat mengambil keputusan ini, tapi kita sebagai orang tua harus mengambil keputusan terbaik menyangkut masa depan anak kita..”
jawab papa lugas.
Tante laras mendengar penjelasan papa tanpa bicara, ia memandangi amalia yang sedang menunduk, amalia tak bersuara dari tadi, seolah siap menunggu vonis apapun yang nantinya akan dijatuhkan. Kak faisal menatap papa tajam, seolah papa orang asing yang belum ia kenal.
“yo, kayaknya masalah tak bisa diputuskan begini deh.. Kasihan kak faisal..”
bisik odie pelan disampingku.
“iya die, aku juga bingung kenapa papa mengusulkan hal itu..”
balasku ikut berbisik.
Tiba tiba mama berdiri, memandangi satu persatu yang berada disini.
“mama tak setuju kandungannya digugurkan, mereka berdua harus menikah!”
ujar mama datar. Semuanya memandang mama heran, terlebih lagi aku. Tak kusangka mama justeru menyetujui kalau kak faisal harus menikah.
“nah.. Pak harlan sepertinya isteri bapak lebih waras!”
cemooh ibu amalia.
“mama apa sudah memikirkan kata kata mama?”
tanya papa heran.
“sudah pa.. Faisal harus bertanggung jawab, karena ia telah melakukannya, mama tak ada pilihan lain selain menyuruh mereka menikah.. Kasihan bayi itu, bagaimanapun juga itu darah daging faisal, mama tak tega kalau harus dibunuh…”
ujar mama sesekali terisak. Kak faisal menatap mama tanpa berkedip.
“kak mega betul bang harlan..”
timpal om sebastian.
“iya bang, jalan terbaik untuk mereka adalah menikah, bang harlan harus bijaksana..”
imbuh tante laras.
“kalau menurut kalian begitu, papa harus bagaimana lagi, tapi jangan lupa… Yang akan menjalaninya itu faisal, kita harus tanyakan sama faisal bagaimana keinginannya..”
suara papa terdengar begitu letih, mungkin papa betul betul lelah dengan hal ini.
“tak perlu tanyakan apa apa pada faisal, ia tak ada hak untuk memilih, segala konsekuensinya dia harus tanggung.”
cetus mama tegas.
Kak faisal menunduk.
“secepatnya kita harus menikahkan mereka.. Sebelum ini menjadi omongan orang orang..”
tambah tante laras.
“amalia, kamu mau menikah dengan faisal?”
tanya mama kepada amalia yang menunduk. Amalia mengangkat kepalanya perlahan memandang mama ragu, kemudian ia mengangguk.
“baiklah, itu artinya amalia setuju.. Kita akan memutuskan tanggal pernikahan mereka..”
lanjut mama.
Semua diam tak bersuara, diam diam aku sedih memikirkan kak faisal akan segera menikahi amalia, rasanya aku seperti kehilangan teman, kakak satu satunya akan segera mempunyai isteri.
“baik, saya setuju pernikahan mereka secepatnya dilangsungkan… Tak usah menunda nunda lagi..”
tukas ibu amalia. Aku mengerti yang dirasakan ibunya amalia, anak gadisnya hamil diluar nikah itu merupakan pukulan yang teramat berat baginya. Kekuatiran yang ia rasakan membuat ia yang biasanya lembut menjadi tegas dan ketus.
“aku setuju mereka menikah dengan beberapa syarat!”
mama meneruskan kembali perkataannya. Papa memandang mama dengan keingintahuan, demikian juga semua yang ada disini.
“syarat apa bu harlan… Kok menikahkan anak saja harus ada syarat?”
ibu amalia terlihat bingung.
“iya.. Aku setuju dengan syarat, dan ini tak bisa ditawar..!”
ujar mama seolah tak perduli. Kak faisal menatap mama tanpa berkedip, menunggu apa yang mau diajukan mama sebagai persyaratannya.
“apa syaratnya bu harlan.?”
tanya ibu amalia.
“yang pertama, pernikahan itu tidak diadakan dirumah ini…”
mama menyebutkan syarat yang pertama.
Wajah papa dan semua yang ada disini menjadi kaget.
“maksud mama?”
tanya papa seolah kurang mengerti.
“sudah jelas kan pa, mama tak ingin ada pesta dirumah ini, dan mama tak ada toleransi apapun untuk itu..”
ujar mama tegas.
“syarat kedua, tak ada pesta besar besaran, cukup selamatan dan akad nikah saja..”
mama menyebutkan syarat kedua.
Tante laras mendelik melihat mama, namun tatapan tajam mama membuat tante laras terdiam.
“syarat ketiga, mereka berdua tak boleh tinggal dirumah ini setelah menikah, dan akupun tak akan membantu mereka dalam soal keuangan, biarlah mereka berusaha sendiri…”
syarat ketiga yang mama berikan semakin membuat kami semua terkejut.
“syarat ke empat.. Tak perlu saya di libatkan dalam urusan apapun mengenai pernikahan itu.. Dan saya juga tak akan pernah hadir.. Cukup itu saja syaratnya.!”
tuntas mama, tanpa bicara lagi ia meninggalkan kami semua yang masih bengong. Mama membanting pintu kamar.

0 komentar:

Posting Komentar